http://www.indomedia.com/bpost/062007/6/opini/opini1.htm
Dana Kampanye Selain itu, proses penerimaan dana kampanye hanya diketahui oleh pasangan calon dan tim kampanye. Oleh: Hairansyah SH MH Anggota KPU Kalsel Hingar bingar politik di Tanah Air saat ini yang berkaitan dengan aliran dana DKP, menjadi bola liar dan panas yang menohok banyak elit politik untuk saling lempar dan kelit. Terutama menyangkut dana kampanye Pilpres 2004 lalu. Adalah sebuah keniscayaan, dalam sebuah proses kegiatan apa pun namanya selalu memerlukan uang sebagai alat yang sangat signifikan. Hal ini diperlukan untuk dapat menguasai energi dan sumberdaya yang ada. Masalahnya adalah dalam konteks politik. Aliran dana kampanye yang berasal dari berbagai sumber, bisa menimbulkan ketimpangan sumberdaya dan berpengaruh pada kebijakan publik yang mungkin akan dihasilkan dari proses pemilihan itu sendiri. Di AS misalnya. Negara yang dianggap demokrasinya lebih maju, skandal dana kampanye masih sering terjadi seperti kasus sumbangan konglomerat Indonesia dan watergate. Dalam hal pilkada misalnya, yang sejak awal didesain untuk mengurangi terjadinya money politic pada tingkat parlemen, ternyata tidak hanya problem tersebut yang sulit dihilangkan. Justru, meningkatkan adanya kebutuhan biaya politik yang tidak sedikit. Mulai dari menyiapkan kendaraan politik, membiayai tim kampanye, membayar iklan, mencetak brosur, membuat baliho dll semuanya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Menjadi pertanyaan, mengapa dana kampanye tersebut harus diatur dan dibatasi. Jawabannya, ini merupakan proses politik yang menyangkut kekuasaan politik dan berujung pada kebijakan publik. Dominasi atau pengaruh yang berlebihan terhadap calon oleh segelintir orang atau 'kepentingan tertentu' yang terlalu besar, dipandang dapat mengganggu kebijakan publik, mengalihkan sumber daya publik, mengancam integritas dari pemilu dan dianggap meremehkan demokrasi. Secara umum, tujuan pengaturan dana kampanye itu sendiri antara lain mencegah korupsi dan menghindari pengaruh dari 'kepentingan khusus'; menciptakan keadilan dan keseimbangan di dalam sumberdaya keuangan dari calon; mendorong persaingan sehat antarcalon; mendorong keterbukaan dan keterjangkauan informasi keuangan dana kampanye pasangan calon oleh publik. Secara khusus bertujuan mendorong penghargaan dan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan dan pasangan calon itu sendiri. Secara normatif, pelaksanaan dana kampanye pilkada misalnya, diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 83, 84 dan 85) dan PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pasal 65, 66, 67, 68 dan 69). Pengaturan itu meliputi sumberdana kampanye, adanya kewajiban setiap pasang calon memiliki rekening khusus dana kampanye yang didaftarkan kepada KPUD, batasan jumlah sumbangan yang diperbolehkan baik perseorangan maupun badan hukum swasta, kewajiban untuk diumumkan setelah diaudit dan beberapa larangan serta sanksi pidana yang akan diberikan bilamana terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan penerimaan dan penggunaan dana kampanye dimaksud. Masalahnya adalah dalam pelaksanaan mekanisme audit. Dana kampanye yang diberikan kepada KPUD, hanya audit yang cenderung bersifat administratif dan sangat tergantung pada laporan yang diberikan tim kampanye. Bahkan tidak ada satu sanksi pidana maupun administratif yang berdampak terhadap proses pemilihan, bilamana ada pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan penerimaan dan penggunaan dana kampanyenya. Padahal, melalui laporan itulah akan dapat ditelusuri adanya pelanggaran atau tidak yang berdampak terhadap proses pemilihan yang berlangusng. Tentu dengan segala daya dan upaya, tim kampanye akan memberikan laporan dana kampanye yang terbaik dan bisa dipertanggungjawabkan secara administratif sesuai UU. Audit yang dilakukan sesuai prosedur yang disepakati dan dalam aturan normatifnya lebih bersifat administratif, bukan audit investigatif. Selain itu, proses penerimaan dana kampanye hanya diketahui oleh pasangan calon dan tim kampanye. Maka, proses pemasukan sangat mungkin bisa diatur terlebih dahulu agar sesuai aturan yang ada. Selain sanksi pidana dan denda, UU dan PP tersebut mengatur sanksi pembatalan sebagai calon apabila dari hasil audit ditemukan pelanggaran berupa menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga swadaya asing dan warga negara asing, penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya serta menerima dana dari pemerintah, pemerintah daearah, BUMN dan BUMD (Pasal 68 PP No 6/2005). Namun sekali lagi, ini berpulang pada sejauhmana setiap tim kampanye pasangan calon mau melaporkan secara jujur dan apa adanya setiap sumbangan yang mereka terima. Hanya dari laporan inilah, audit yang dilakukan akuntan publik. Penerimaan dana kampanye umumnya tidak hanya melalui rekening khusus yang tersedia, juga memungkinkan melalui penyerahan secara tunai maupun dalam bentuk cek atau barang sehingga penelusuran dana yang masuk sulit dilakukan. KPU harus diberikan kewenangan melalui akuntan publik yang independen untuk melakukan audit investigatif, atas laporan dana kampanye yang ada. Perlu pula diperbandingkan antara laporan harta kekayaan yang disampaikan pasangan calon dengan sumbangan dana kampanye yang berasal dari calon sendiri, apakah realistis atau tidak. Tim kampanye calon juga hanya yang didaftarkan resmi ke KPU, tim sukses atau apa pun namanya harus dianggap ilegal sehingga saling tuding dan mencari kambing hitam serta penyiasatan UU melalui tim di luar tim kampanye bisa dihindari. Dengan perbaikan proses audit tersebut, menurut saya, bisa menghindari fitnah politik serta kejujuran kandidat akan lebih mudah diukur dan diuji melalui sistem audit yang lebih akuntabel dan transparan. Masalahnya, hukum yang mengatur hal itu adalah produk politik dan dibuat politisi di parlemen yang sudah pasti memiliki dan melindungi kepentingan politiknya. Dengan kondisi tersebut, mungkinkah produk politik yang dihasilkannya akan lebih berpihak kepada kepentingan akuntabilitas dan transparansi yang menjadi bagian dari demokrasi substansial. Atau, hanya menjadi aturan mati serta syarat demokrasi dan menjadikan demokrasi prosedural? Semoga tidak. e-mail: [Non-text portions of this message have been removed]