================================= Seri : "Membangun Keluarga Indonesia" ================================= [EQ] CHRISYE : SEBUAH MEMOAR MUSIKAL [Naga Legendaris INDONESIA] Oleh : Alberthiene Endah Bermimpilah, sebab harapan akan memberi hidup Berkaryalah, sebab seni akan memberi makna [Naga belajar . . . sampai menutup mata] 09 The Power of Frank Sinatra Dulu banyak yang bilang saya ini anak pendiam. Pendiam sering diidentikan dengan dingin, nggak punya passion, nggak kreatif. Pendiam, barangkali iya. bahwa rongga jiwa saya diisi dengan gairah meletup-letup, siapa yang tahu. Saya yakin, di dunia ini banyak sekali karya-karya atau dobrakan besar yang dilakukan oleh orang-orang yang secara fisik tampak tidak mendobrak. Anak-anak yang terlihat pasif, belum tentu tidak dialiri ambisi yang aktif di kepalanya. Hanya kadang lingkungan tidak menyadari. Saya lupa, usia berapa saya sudah merasakan gairah itu. Gairah yang muncul gara-gara musik! Ya, musik! Yang pasti saya masih duduk di sekolah dasar saat itu. Dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, Papi berusaha menabung untuk membeli seperangkat player piringan hitam yang cukup lengkap. Dia memiliki salon yang besar dan turn table di sebelahnya. Sistem pengeras suaranya canggih, sehingga bunyi musik yang keluar benar-benar bening. Selera Papi dalam menikmati musik pun lumayan. Koleksinya mulai dan Frank Sinatra, Bing Crosby, Nat King Cole, Dean Martin, dan banyak lagi. Papi memutarnya pagi-pagi sebelum semua berangkat keluar rumah, dan sore serta malam hari. Praktis saya dibangunkan suara lembut Frank Sinatra hampir tiap pagi. Sambil menggeliat bangun, wajah saya diarahkan ke langit-langit. Bibir saya pelan-pelan menggunamkan syair lagu Frank Sinatra. Tentu bahasa Inggris saya yang kocar-kacir membuat bibir saya lebih banyak melantunkan bahasa antah berantah ketimbang kata-kata yang punya makna. Ini masih belum cukup. Mata saya terpejam lagi, mengkhayalkan sayalah sang penyanyi itu. Menyanyi di atas panggung di depan ribuan penonton. Khayalan macam itu mampu membuat saya terlambat mandi, dan terbirit-birit ke sekolah! Dan itu terjadi hampir tiap hari. Dari sekadar penggemar pasif, akhirnya saya tak tahan untuk tidak nyemplung menjelajahi koleksi Papi. Saya mulai memilah-milah piringan hitam yang saya suka. Dari Joris, saya belajar bagaimana menyalakan player. Keasyikan saya pada musik membuat satu perubahan besar di diri saya. Dari Chrisye anak jahil yang suka melempari kereta api dengan batu, menjadi Chrisye yang bisa dibuat terhanyut oleh lagu. Pemandangan yang bisa terlihat setelah itu, saya merem-melek dengerin lagu, sementara Joris tekun belajar tak jauh dari saya. Mami dan Papi tentu saja senang dengan kegemaran baru saya (kelak mereka menyadari bahwa kesukaan saya pada musik akan menjadi masalah besar saat saya memutuskannya menjadi profesi). Papi memborong lagi banyak piringan hitam. Saya makin bergairah. Sebenarnya, saat itu cukup aneh, anak seusia saya sudah berteriak-teriak menyanyikan lagu-lagu Nat King Cole. Tapi itulah yang terjadi. Saya tak bernafsu mendendangkan lagu-lagu bocah yang terdengar kekanak-kanakan. Saya menemukan gairah yang menggelora pada syair dan melodi yang indah dan suara bintang dunia di piringan hitam Papi. Rumah saya makin menjadi surga yang menyenangkan ketika Papi dan Mami mulai suka bergaul dan punya waktu untuk sesekali datang ke pesta dansa. Saat itu, belum musim dugem atau nongkrong di kafe. Ya, mana ada kafe gaul waktu itu? Yang sering digelar adalah acara kumpul-kumpul dan pesta dansa yang diadakan bergiliran di rumah-rumah. Kebanyakan digelar di rumah-rumah keluarga Belanda. Begitu semangatnya Papi dan Mami untuk terlibat dalam pesta dansa, sampai keduanya mendaftarkan diri ke HM Damsyik Dans School. HM Damsyik saat itu dipandang sebagai jagoan dansa paling beken. Banyak selebriti dan socialite zaman itu berguru ke sekolahnya demi bisa dibilang up to date karena jago melantai. Beberapa kali dalam seminggu, Papi dan Mami kursus di sana. Di mana mereka praktik? Kalau bukan di pesta-pesta ya di rumah sendiri, inilah saat yang paling saya tunggu-tunggu. Tiap sore, setelah melepas lelah sehabis kerja, Papi dan Mami berdansa di rumah. Kursi-kursi dipinggirkan arena dansa. Saya dan Joris yang jadi DJ-nya. Kami bergantian memutarkan piringan hitam dan memilihkan lagu sesuai request dua sejoli itu. Manis sekali gambaran kenangan itu. Kami cekikikan melihat kemesraan Papi-Mami. Saat itu, naluri saya sudah cukup tajam memilihkan lagu-lagu yang enak untuk dansa waltz dan chacha yang disukai mereka. Sensasi musikal makin terjadi seiring bertambahnya usia. Menginjak remaja, saya sekolah di PSKD, juga Jalan Diponegoro. Papi mulai sering mengajak kami jalan-jalan. Barangkali, pekerjaannya sudah lebih kendur, sehingga beliau punya banyak waktu untuk menyenangkan keluarga. Lokasi pelesir yang sering kami datangi saat itu, padang rumput yang indah di Riung Gunung, Puncak. Papi sudah membeli mobil Chevrolet. Ketika itu lokasinya masih benar-benar alam yang murni. Belum banyak vila, apalagi warung-warung. Keindahannya jangan ditanya. Bukit yang hijau sempurna, pohon-pohon pinus yang mendamaikan, padang rumput indah, langit biru dengan hawa yang benar-benar sejuk. Kami membawa tikar dan bantal-bantal kecil. Mami tak pernah absen membawa keranjang rotannya yang benisi banyak makanan. Gambaran indah keluarga harmonis ini menjadi album tercantik sejarah hidup saya. Rasanya ini pulalah yang kelak membentuk saya jadi pria yang sangat rumahan dan sangat mencintai keluarga. Tapi tiada saat yang lebih menyenangkan selain ajakan Papi makan-makan restoran Sindang Laut, di kawasan pantai dekat Cilincing. Kawasan itu sekang jadi area milik Pentamina. Dulu, tempat itu merupakan area yang sangat cantik. Pantainya indah, hawanya enak. Di pinggiran pantai berjejer resto-resto seafood. Untuk mencapai tempat itu, kami harus melewati dulu kawasan Pademangan yang menjadi area pembuangan sampah dan peternakan babi. Dan sampai di Tanjung Priok, kami jalan kaki sebentar melewati perkampungan nelayan ya sederhana. Restoran Sindang Laut menjadi pilihan favorit Papi, selain karen hidangannya yang lezat, juga kerena hiburannya yang memikat. Resto milik seorang pria asal Cirebon benama Haji Kamid itu selalu menghadirkan musik Hawaii. Saking enaknya lagu-lagu yang mereka mainkan, biarpun makanan sudah tandas, kami betah berjam-jam ngepos di situ sampai musik habis. Diam-diam, sesuatu mulai berkelebat di benak saya. Ternyata musik bukan hanya indah didengarkan. Tapi juga asyik untuk dimainkan! Melihat group band Hawaiian bermain dengan penuh gairah, benak saya menyelusup ke gempita yang mereka ciptakan dan berusaha merasakan nikmatnya memetik gitar, memencet tuts organ, dan menggebuk drum. Improvisasi sang penyanyi seperti magnet menarik-narik segenap perasaan saya. Dahsyat! Khayalan saya menyala-nyala. Ketika mobil Chevrolet Papi bergulir menjauhi tempat itu, Joris dan Vicky sibuk berceloteh. Tapi, seluruh otak saya sudah dihipnotis oleh kekuatan luar biasa. Musik! Musik! Musik! Itu sanggup membuat bibir saya bungkam dan mata saya terpejam sepanjang jalan pulang. Saya berkhayal jadi pemusik. Malam, saat belajar, Papi seperti biasa melantunkan satu doktrin yang sangat rutin. Hayo, belajar yang bener, biar jadi insinyur! Dalam hati saya membatin. Apa iya saya akan jadi insinyur? Oke, belajar ini sangat penting buat masa depan saya. Sekolah juga wajib. Tapi, jadi insinyur? Frank Sinatra menawarkan mimpi yang jauh lebih indah! Dalam diri saya gelombang bergulung membabi buta. Dan Jiwa saya adalah perahu yang pasrah dan percaya kemana gelombang itu membawa . . . [bersambung . . . ]
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3 --------------------------------- Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today! [Non-text portions of this message have been removed]