Rabu, 20 Juni 2007

      TAJUK RENCANA
      Ceriyati, Potret Buram TKW Kita
      Drama pelarian Ceriyati, tenaga kerja wanita (TKW) asal Kedungbokor, 
Larangan, Brebes dari apartemen majikannya di Kuala Lumpur, Malaysia adalah 
potret buram yang merupakan wajah dominan para pembantu rumah tangga kita di 
luar negeri. Betapa mengenaskannya. Perempuan 34 tahun itu menggelantung pada 
untaian kain untuk turun dari lantai 15 Samarind Kondominium, Sentul Timur, 
Kuala Lumpur. Ketika sampai di lantai 12, dia bisa ditolong. Dia mencoba 
melarikan diri karena tidak tahan mengalami berbagai deraan fisik dan psikis - 
termasuk jatah makan hanya sekali sehari - dari majikannya.

      Shemelin - begitu dia biasa dipanggil di tempat kerjanya - baru lima 
bulan lalu bekerja di Malaysia. Dan, seperti kisah mereka yang mengadu nasib di 
negeri orang, tekanan ekonomi merupakan dorongan utama. Keterbatasan peluang 
kerja di negeri sendiri, ditambah iming-iming bayaran jauh dari bayangan gaji 
pekerjaan yang sama di Tanah Air, banyak merangsang para perempuan memilih 
menempuh risiko. Kita katakan menempuh risiko, karena selama ini di balik kisah 
sukses banyak TKW kita, tidak sedikit pula derita yang memberi gambaran buruk 
tentang belum adanya perlindungan memadai bagi mereka.

      Bukankah sudah terlalu sering terungkap ceritera tentang penganiayaan 
yang dialami para TKW dari majikan mereka? Tekanan fisik-psikis itu bisa berupa 
sikap, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Banyaknya TKW yang 
tidak jelas nasib keberadaannya, yang pulang dengan kondisi tubuh rusak, atau 
menjadi mayat menggambarkan betapa besar risiko keselamatan jiwa yang harus 
dihadapi para perempuan pengadu nasib itu. Realitas tersebut sekaligus 
menggambarkan masih buruknya manajemen pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, 
dengan berbagai persoalan (risiko) dari hulu sampai hilir.

      Selama ini, jargon perlindungan para TKI belum benar-benar menyentuh ke 
tingkat realitas yang dirasakan, setidak-tidaknya dalam manajemen kontrol. 
Pernyataan, kecaman, atau tindakan yang dilakukan pasca-suatu kejadian lebih 
bersifat politis ketimbang menjadi bagian dari alur perbaikan penyiapan dan 
pelayanan bagi mereka. Alih-alih manajemen kontrol, bahkan mereka yang 
berangkat bekerja ke luar negeri karena tekanan ekonomi itu malah menghadapi 
berbagai aksi "pemelorotan" sejak menjelang keberangkatan hingga ketika kembali 
ke Tanah Air. Dan, adakah tindakan serius untuk me-nyelesaikan semua itu?

      Sering dicontohkan Filipina yang juga menghadapi problem penyediaan 
lapangan kerja berbanding jumlah penduduknya. Negeri itu dinilai telah 
mempunyai sistem penyiapan skill dan perhatian yang betul-betul "memanusiakan" 
tenaga kerjanya. Posisi sebagai pahlawan devisa bukan hanya menjadi jargon 
politik, tetapi diimplementasikan dalam berbagai langkah nyata perlindungan. 
Kita sadari, kepergian jutaan warga negara Indonesia menjadi PRT juga 
menggambarkan kenyataan belum tersedianya lapangan kerja yang memadai, sehingga 
yang diharapkan sebenarnya adalah bobot perlindungan yang nyata.

      Kita tidak mungkin mencegah mereka yang mencoba mendulang uang ke negeri 
seberang selama tidak mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja. Masalahnya, 
setelah berbagai kisah penyelamatan dan perjuangan memeroleh hak-hak yang 
seharusnya melekat dari pekerjaan mereka, bagaimana pemerintah menciptakan 
sistem pemanusiaan TKI. Lebih penting lagi menjalankan sistem itu dengan 
manajemen kontrol dan langkah hukum yang serius. Political will perlindungan 
juga harus bisa dirasakan lewat perang melawan "penjahat" yang mengerjai TKI 
menjelang keberangkatan hingga kepulangannya

     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke