http://www.indomedia.com/bpost/062007/20/opini/opini1.htm
Relevansi Kesejahteraan Hakim dengan Putusan Pengadilan Dengan demikian, dalam waktu beberapa tahun saja semua lembaga peradilan di Indonesia dapat memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku yang superlengkap. Oleh: Adi Sartono SH MH Pemerhati masalah hukum Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas telah menyerahkan surat usulan penaikan gaji dan tunjangan bagi hakim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan usulan penaikan gaji itu, agar hakim di Indonesia bisa lebih profesional dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya untuk mewujudkan keadilan. Salah satu item dari daftar usulan penaikan gaji dan tunjangan itu adalah pengadaan buku agar hakim memiliki dana yang cukup untuk membeli buku hukum, sehingga pengetahuan dan wawasan mereka dapat mengikuti perkembangan hukum di masyarakat. Maksud baik ketua KY untuk meningkatkan kesejahteraan hakim dalam segi finansial, memang pantas menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh Presiden. Bukankah segala upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi warga Indonesia baik hakim maupun bukan hakim, harus kita sambut positif. Namun persoalannya menjadi tidak relevan, apabila usulan penaikan gaji dan tunjangan hakim di Indonesia dikaitkan dengan profesionalisme seorang hakim dalam memutuskan setiap perkara yang selalu berlandaskan 'Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa'. Persoalan kesejahteraan sebenarnya tidak memiliki parameter yang jelas, karena kondisi sejahtera seseorang sangat tergantung pada sikap hidup orang itu sendiri. Kondisi sejahtera bersifat sangat relatif bagi setiap orang, sedangkan tuntutan profesionalisme seorang hakim dalam memutuskan setiap perkara di pengadilan bersifat mutlak dan tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun dan apa pun. Adalah sangat tidak pada tempatnya, kalau dibuat sebuah tolak ukur seolah-olah kondisi profesionalisme seorang hakim adalah berbanding lurus dengan gaji dan tunjangan yang diterimanya. Saya yakin, saat ini di Indonesia masih banyak hakim yang memiliki komitmen dan integritas yang tinggi terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang hakim. Mereka akan merasa sangat risih pada alasan usulan penaikan gaji dan tunjangan tersebut, jika dihubungkan dengan profesionalismenya sebagai seorang hakim. UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 1 menegaskan, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Dari penjelasan pasal itu dapat dipetik makna, arti 'merdeka' lebih ditekankan kepada arti bebas dari intervensi fisik atau nyata dari pihak lain yang dapat mempengaruhi objektivitas putusan hakim. Kalau kita bandingkan dengan makna independensi seorang hakim di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika. Negara tersebut menganut sistem mono karir bagi seorang lawyer. Pertama kali, seorang lawyer harus berkarir sebagai advokat (pengacara) kemudian menjadi jaksa. Terakhir kalau memenuhi syarat tertentu dapat menjadi seorang hakim. Jadi hakim di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, adalah mereka yang telah matang baik mental maupun usia (di atas 50 tahun) serta mapan dari segi finansial, karena mereka mengumpulkan uang selama menjadi advokat. Jadi, merdeka (independent) bagi hakim di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon adalah dalam arti yang seluasnya. Yaitu, lepas dari intervesi pihak lain serta bebas dari ikatan kepentingan finansial (finance freedom) dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim. Barangkali kondisi independent seperti ini juga yang diharapkan ketua KY, agar hakim di Indonesia dapat lebih profesional dengan cara menaikkan gaji dan tunjangan mereka. Menurut pengalaman saya selama puluhan tahun di dunia korporasi, metode yang umum diterapkan dan terbukti sangat efektif untuk meningkatkan kinerja seseorang adalah sistem reward and punishment. Artinya, seseorang dituntut lebih dulu berprestasi baru diberi penghargaan (reward) yang dapat berupa penaikan gaji dan jabatan baru serta fasilitas dan extra income lainnya. Sebaliknya, ada sanksi bagi yang tidak berprestasi atau yang melanggar regulasi korporasi. Dengan demikian, pekerja akan selalu berusaha meningkatkan kinerja mereka dan akan sangat menghargai income yang mereka terima sebagai bentuk dari jerih payah mereka sendiri dalam bekerja. Selanjutnya bagaimana jika metode tersebut di balik. Sebelum seseorang meningkatkan kinerjanya, gaji dan tunjangannya dinaikkan. Dengan kata lain, seseorang baru akan meningkatkan kinerjanya jika ada penaikan gaji dan tunjangan. Ini merupakan pola yang ditempuh ketua KY untuk meningkatkan kenerja hakim di Indonesia. Menurut saya, ini adalah satu pola kerja yang kurang mendidik yang justru akan menimbulkan permasalahan baru. Ibarat lingkaran setan yang tidak kunjung selesai. Maksud ketua KY adalah baik dan pantas kita dukung. Hanya sayang, metode yang diterapkan kurang tepat. Mestinya sebelum mengajukan review penaikan gaji dan tunjangan untuk hakim, persoalan intern lembaga peradilan harus dibenahi. Dengan demikian, hakim yang merupakan unsur dominan di dalam lembaga tersebut dapat meningkatkan kinerja mereka dan secara simultan juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di Indonesia. Maka, penaikan gaji dan tunjangan merupakan reward bagi hakim sehubungan dengan unjuk kerja mereka yang baik, dan bukan merupakan pemberian yang bersifat gratis semata. Poin penting lainnya sehubungan usulan penaikan gaji dan tunjangan hakim, adalah tunjangan khusus untuk membeli buku hukum. Mestinya, item ini tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar usulan penaikan gaji dan tunjangan. Sebab, pengadaan segala fasilitas untuk pengembangan SDM tidak seharusnya dibebankan kepada hakim secara perorangan. Lembaga peradilan seharusnya yang menyediakan segala fasilitas untuk pengembangan SDM hakim, karena hakim bukan layaknya profesional korporasi yang bersifat independen dan dapat pindah kerja setiap saat ke tempat lain yang berani membayarnya lebih tinggi. Tetapi, hakim akan terikat pada lembaga peradilan sampai mereka pensiun. Seandainya tunjangan pembelian buku tetap diberikan dan demi efisiensi biaya, mestinya uang tunjangan itu dikelola langsung oleh lembaga peradilan itu sendiri. Bayangkan, satu hakim akan mendapat jatah Rp 500.000 per bulan. Jika ada 10 hakim di sebuah lembaga peradilan, maka dana yang diekluarkan sebesar Rp 5 juta per bulan dan satu tahun Rp 60 juta. Seandainya harga rata-rata buku hukum Rp 50.000 per judul, maka dana tersebut cukup untuk membeli 1.200 judul buku setahun. Dengan demikian, dalam waktu beberapa tahun saja semua lembaga peradilan di Indonesia dapat memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku yang superlengkap. [Non-text portions of this message have been removed]