http://batampos.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24125&Itemid=75

      Rabu, 20 Juni 2007  


      Masih Adakah Kedaulatan di Kepri? 

      Oleh: Hery Setiono*)

      Pasca ditandantanganinya Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defense 
Cooperation Agreement (DCA) antara Pemerintah RI dan Singapura tanggal 27 April 
2007 di Istana Tampak Siring, Bali yang diduga banyak kalangan sebagai imbal 
dagang kesediaan Singapura menandatangani Perjanjian Ekstradisi atau 
Extradition Treaty (ET), telah membuat cemas masyarakat Provinsi Kepulauan 
Riau. Kesan diam-diam dan menutup-nutupi sesuatu oleh pemerintah telah 
mengundang berbagai penafsiran dari politisi tingkat tinggi sampai politisi 
kedai kopi. Beragam kecaman dan aksi protes menentang diberlakukannya DCA 
semakin menguat di berbagai daerah. Pemerintah seakan tidak peduli dan keukeuh 
dengan pendapatnya. Ya, merasa paling pintar dan mau menang sendiri memang 
sudah menjadi karakter para petinggi negara ini. Pendapat orang daerah tidaklah 
dibutuhkan dan tidak perlu dipikirkan, apalagi dipertimbangkan. Toh, masalah 
pertahanan adalah menjadi urusan dan kewenangan penuh Pemerintah Pusat, bukan 
urusan rakyat. 


      Pemerintah tetap akan menerapkan perjanjian tersebut dan menuangkannya 
dalam bentuk aturan pelaksanaan atau Implementing Arrangement (IA) tanpa 
mempedulikan protes dan kecaman dari pihak lain. Apapun yang pemerintah 
kerjakan adalah demi kepentingan negara. Ingat ya, kepentingan negara!  
Emangnya, negara pemerintah dengan negara kita beda ya? Koq, tega-teganya 
menetapkan negeri tercinta Kepulauan Riau yang merupakan bagian dari negara 
dijadikan wilayah latihan militer. Dengan dalih meningkatkan profesionalisme 
TNI, pemerintah rela mengorbankan sebagian wilayahnya untuk dijadikan ajang 
tembak-tembakan negara tetangga tercinta Singapura. Sebagai balasan, Tuan Besar 
Singapura akan mengijinkan TNI mempelajari teknologi alat utama sistem 
pertahanan (alutsista) Singapura yang katanya lebih modern dan lebih maju 30 
tahun dari teknologi militer kita.


      Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa DCA bermanfaat 
untuk stabilitas keamanan di kawasan ASEAN. Kerjasama bilateral bidang 
pertahanan di kawasan ASEAN bukanlah hal yang baru. Kerjasama sebelumnya adalah 
di bidang latihan militer bersama, pengumpulan informasi intelijen, memperkuat 
kontak militer untuk transparansi dan menghilangkan kesan saling curiga, 
ataupun melawan musuh bersama di daerah perbatasan seperti penyelundupan, 
pembajakan kapal, dan drugtrafficking. Pendapat senada juga disampaikan Perdana 
Menteri Singapura Lee Hsien Loong bahwa DCA memudahkan kekuatan militer kedua 
negara untuk bekerja sama dalam menangkal setiap ancaman.

      Ancaman dari siapa, wak? 
      Wajar, jika Singapura merasa terancam, karena kita semua tahu, negara 
kecil yang sok bernyali besar itu memang memiliki hubungan militer yang erat 
dengan dua negara yang paling dimusuhi di planet ini, yaitu Amerika Serikat dan 
Israel yang memiliki teknologi militer tercanggih di dunia. Hubungan militer 
itu bertambah erat setelah Amerika Serikat keluar dari pangkalan militer di 
Filpina dan menandatangani kesepakatan dengan Singapura yang memungkinkan 
armada militer dan pesawat AS menggunakan fasilitas militer di Singapura untuk 
perbaikan, pengisian logistik, dan pengisian bahan bakar.


      Kekhawatiran Singapura yang berlebihan terhadap ancaman dari luar 
menyebabkan negara yang berpenduduk sekitar 4 juta itu memiliki anggaran 
terbesar dan memiliki teknologi tercanggih di kawasan ASEAN. Singapura sejak 
tahun 1970 telah mengalokasikan 6 % dari GDP-nya untuk anggaran militer. Untuk 
tahun 1998, belanja militernya naik dari 6,1 miliar dolar Singapura menjadi 7,3 
miliar dolar Singapura dan memiliki lebih dari 200 pesawat tempur modern. 
Sedangkan Filipina, anggaran militernya mengalami penurunan dari 1,5 miliar 
dolar AS pada tahun 1996 menjadi  1,2 miliar dolar AS pada tahun 1998. Thailand 
pada tahun 1997 memiliki anggaran untuk militer 3,2 miliar dolar AS turun di 
tahun 1999 menjadi 1,8 miliar dolar AS. Malaysia pada tahun 1998 memiliki 
anggaran militer 3,4 miliar dolar AS turun menjadi 2,1 miliar dolar AS dan 
memiliki 95 pesawat tempur modern di antaranya MIG-25 dan F/4 18D Hornet. 
Bandingkan dengan anggaran militer negara kita yang memiliki wilayah paling 
luas di kawasan ASEAN, hanya memiliki anggaran militer dari 4,8 miliar dolar AS 
turun menjadi 1,7 miliar dolar AS, itu pun 60 persen nya untuk memenuhi 
kebutuhan prajuritnya yang memang tingkat kesejahteraannya masih memprihatinkan!


      Masyarakat Kepulauan Riau patut khawatir dan sangat mengharapkan agar 
perjanjian DCA yang berlaku selama 25 tahun dan baru bisa ditinjau ulang 
setelah 13 tahun serta 6 tahun berikutnya, bukan hanya sekedar dipikirkan 
kembali, tapi juga harus dibatalkan. Kurangnya informasi dan kesan tertutup 
dari pemerintah sejak penyusunan draft hingga ditandatanganinya perjanjian 
tersebut, telah membuat banyak pihak curiga dengan kebijakan pemerintah ini. 
Wajar, jika kita sebagai warga negara di negeri yang ditawarkan pemerintah 
untuk dijadikan sasaran latihan militer tentara Singapura menjadi bingung dan 
bertanya-tanya, ada apa dengan negara kita? 


      Pemerintah Pusat tidak pernah melibatkan Pemerintah Daerah dan DPRD 
sebagai pihak yang langsung bertanggungjawab kepada masyarakat di daerah untuk 
dimintai pendapat tentang kebijakan ini. Bahkan, Gubernur Kepri Ismeth Abdullah 
mengaku terkejut dengan isi perjanjian yang sangat beresiko bagi negeri yang 
sedang dipimpinnya, dan secara tegas meminta klarifikasi kepada pemerintah. 
Betapa sayangnya, negara yang menerapkan sistem demokrasi dan mulai belajar 
cara berdemokrasi yang baik tidak menghargai pendapat daerahnya dan hanya 
mementingkan pendapat sepihak.


      Penetapan wilayah Kepulauan Riau sebagai wilayah latihan militer bagi 
tentara Singapura menimbulkan keraguan kita terhadap kedaulatan di negeri ini. 
Perlahan-lahan kita mulai merobek segel pengaman negara kita sendiri, seperti 
merobek segel pengaman pada kemasan botol air mineral yang didalamnya terdapat 
tulisan do not accept if seal or cap is broken, sebagai penjaga kemurniaan dan 
keaslian air di dalamnya dan pembeda antara yang baru dan yang bekas. 


      Perjanjian serupa pernah kita lakukan dengan Singapura pada periode 
1995-2003 dengan penetapan Military Training Area (MTA). Pembangunan Pusat 
Latihan Tempur di Baturaja, Sumatera Selatan dan Air Weapon Range (AWR) di 
Siabu, Kampar Riau sebagian besar memang didanai pemerintah Singapura, namun 
pemerintah kita yang harus bertanggungjawab atas biaya perawatan yang sangat 
besar jumlahnya. Pihak Singapura juga lebih dominan dalam penggunaan sarana 
latihan tempur udara tersebut dikarenakan memang didukung oleh anggaran militer 
yang besar, sedangkan militer kita hanya lebih sering jadi penonton. Dengan 
alasan keterbatasan anggaran, militer kita hanya bisa menyaksikan berbagai 
manuver dan atraksi pesawat tempur modern milik Singapura dengan terkagum-kagum 
dan sesekali bertepuk tangan. Sementara di atas angkasa milik republik ini, 
dengan congkak para pilot pesawat tempur Singapura unjuk keahlian dan kekuatan 
tempur seakan-akan merayakan kemenangan besar mereka atas negeri kita. Kita 
belum menyadari, betapa besar kerugian yang kita derita akibat kerjasama 
tersebut. Kerjasama militer tersebut baru kita hentikan pada tahun 2003 karena 
Singapura melanggar kedaulatan negara kita dengan memasuki wilayah di luar 
batas perjanjian. Singapura juga secara diam-diam melibatkan AS dan Australia 
dalam latihan militernya tanpa pemberitahuan kepada pemerintah kita. 


      Kini, adakah jaminan, bahwa pihak Singapura  tidak memanfaatkan kembali 
situasi ini untuk mengambil keuntungan lain dari sekedar mendapat wilayah untuk 
latihan militer? Apakah Singapura tidak ada niat untuk secara perlahan 
mengincar sumber-sumber kekayaan gas Blok Natuna D-Alpha yang diperkirakan 
menyimpan 46 TCF (Triliun Cubic Feet) gas dan  cadangan gas yang mencapai 54,2 
TCF atau 28,8% dari total cadangan gas nasional? Kedaulatan negara adalah 
sebuah harga mati. Kedaulatan bukan hanya tanggungjawab pemerintah semata, 
termasuk tanggungjawab dan hak kita sebagai warga negara. Jika pemerintah 
kurang peduli dengan makna kedaulatan, menjadi tanggung jawab kitalah 
kedaulatan dijunjung tinggi. Kita wajib mengingatkan pemerintah agar tidak 
main-main dengan kedaulatan di negeri ini! Raja alim disembah, raja lalim 
disanggah!


      Selama ini kita sudah cukup bersabar dengan segala bentuk 
kesewenang-wenangan dan segala bentuk arogansi pemerintah pusat. Sangat ironis, 
negeri yang memiliki kekayaan yang melimpah namun masih banyak kita melihat 
ketertinggalan daerah dan kawasan yang terisolir. Pembangunan infrastruktur, 
gedung-gedung sekolah, sarana umum masih terganjal oleh minimnya anggaran. 
Wilayah yang didominasi oleh lautan, namun belum mampu memberikan kesejahteraan 
bagi nelayan. Kekayaan ikan hasil laut lebih banyak dinikmati oleh nelayan 
asing yang didukung alat tangkap ikan yang canggih. Masih lemahnya pengawasan 
aparat sebagai penjaga wilayah perbatasan akibat keterbatasan sarana dan sumber 
daya manusia mengakibatkan perampokan besar-besaran hasil kekayaan laut di 
negeri Kepri sulit diatasi. Pemerintah pusat kurang menyadari betapa pentingnya 
posisi negeri ini di kawasan perbatasan. Kondisi ini diperparah pula oleh 
kebiasaan beberapa oknum aparat yang terbiasa makan suap dan bertindak laksana 
pagar makan tanaman. 


      Pada saat pemerintah daerah di negeri ini sedang giat-giatnya mulai 
membangun daerah dan tengah berupaya meyakinkan negara lain untuk berinvestasi 
demi peningkatan kesejahteraan masyarakat kepri, di sisi lain pemerintah pusat 
justru mengajak negara lain untuk bersama-sama menjajah negeri Kepri. Kita 
sebagai warga negara yang (disuruh) taat hanya bisa menarik nafas dalam-dalam 
dan mengurut dada, beginikah Tuan memperlakukan kami? Dimanakah makna 
kemerdekaan di sini? Atau, masih adakah kedaulatan di negeri kepri? Entahlah... 
Kang Ebiet hanya bisa sarankan agar kita bertanya saja pada rumput yang 
bergoyang.... ***


      *)Hery Setiono, Humas Setda Kabupaten Karimun.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to