http://www.gatra.com/artikel.php?id=105496


Raja-raja Sawit Berburu Laba


Bisnis keluarga Sudono Salim belum mati. Setelah mengenyam laba gede di 
industri hilir, Salim ingin merambah lagi industri hulu. Tiga perusahaannya 
memiliki 85.500 hektare kebun sawit di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan 
Kalimantan Tengah.

Kembalinya Grup Salim ke ladang sawit seiring dengan melesatnya harga CPO 
dunia. Dalam waktu setahun, harga CPO di pasaran internasional melonjak dari 
US$ 450 per ton pada pertengahan 2006 menjadi US$ 726 per ton pada Mei tahun 
ini. Dengan lonjakan harga ini, kocek Grup Salim pun kian menggembung, lantaran 
sebagian besar CPO asal Indonesia dipasarkan di luar negeri.

Tak pelak, gelar baru "raja sawit" kini disandang Anthony Salim. Dari sisi 
kepemilikan lahan, pada saat ini Grup Salim melesat di urutan pertama. Namun 
Fransiscus Welirang (Franky), Vice President Director PT Indofood Sukses Makmur 
Tbk, membantah bahwa Salim kini memiliki kebun sawit terluas di Indonesia. 
"Salim cuma punya 35.000 hektare kebun sawit," ungkapnya.

Franky menunjuk kelompok usaha lain, yakni Raja Garuda Mas milik konglomerat 
Sukanto Tanoto, sebagai pengoleksi lahan sawit terbesar. Grup Sinar Mas juga 
dikatakan memiliki lahan sawit hingga 350.000 hektare lebih. Sedangkan kebun 
sawit milik PT Astra Agro ditaksir mencapai 200.000 hektare.

Tiga kelompok usaha yang disebut Franky itu memang termasuk raja-raja sawit 
yang kini berjaya. Di samping itu, turut bermain pula keluarga Sampoerna, Grup 
Bakrie, dan Tunas Baru Lampung. Segelintir perusahaan pengolah sawit itu 
menguasai seperenam dari total luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 
4,1 juta hektare.

Kondisi tersebut mendongkrak harga produk hilir berbahan baku CPO, terutama 
minyak goreng. Meski begitu, pengusaha sawit di Indonesia makin gencar 
membanjiri pasar CPO dunia.

Dengan angka produksi sebesar itu, Indonesia bakal menjadi pemasok terbesar CPO 
di dunia. Pangsa pasar minyak sawit mentah Indonesia diprediksi mencapai 44,4%, 
mengalahkan Malaysia yang diperkirakan menguasai 41,2% pangsa pasar, atau 
memproduksi 16 juta ton CPO. Jika digabung, Indonesia dan Malaysia menguasai 
85% pasar CPO dunia dari total produksi tahun ini yang diproyeksikan tumbuh 
4,1% menjadi 38,7 juta ton.

Sayang, produksi CPO yang melimpah tidak membuat rakyat sejahtera. Sebaliknya, 
harga minyak goreng yang menjadi turunan produk CPO makin mengimpit fakir 
miskin. Di beberapa tempat, harga eceran minyak goreng sudah menembus batas 
psikologis Rp 10.000 per kilogram, dari harga normal Rp 6.500 per kilogram.

Anggota Komisi VI DPR-RI, Aria Bima, mencurigai adanya praktek oligopoli yang 
mengarah ke kartel oleh produsen CPO kelas kakap. Ia terang-terangan menyebut 
lima perusahaan top kelapa sawit dari hulu ke hilir. Mereka yang dituding 
antara lain London Sumatera dan Indofood, Sinar Mas, Bakrie Sumatera 
Plantation, dan Minamas. "Ada kongkalikong pemain kartel dan pembuat 
kebijakan," ungkap Aria Bima usai rapat dengar pendapat di DPR, Senin lalu.

Sebelumnya, dugaan oligopoli yang mengarah ke kartel juga dilontarkan Ketua 
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syamsul Maarif. Namun Syamsul belum bersedia 
menyebut nama perusahaan yang disinyalir melakukan persekongkolan tidak sehat 
itu. "Kami masih melakukan pemeriksaan," ujar Syamsul berkelit.

Nah, untuk mengurai gejala oligopoli, pemerintah sudah menyiapkan jurus baru. 
Menteri Pertanian Anton Apriyantono sepakat, tidak boleh lagi ada monopoli 
penguasaan lahan oleh segelintir orang. Karena itu, pemerintah akan membatasi 
kepemilikan lahan sawit. "Satu perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari 
100.000 hektare lahan," kata Anton.

Jurus itu sekaligus memacu perkembangan kebun rakyat. Pada saat ini, menurut 
Anton, petani kelapa sawit kekurangan dana untuk meningkatkan produktivitas.

Heru Pamuji, Anthony, dan Mukhlison S. Widodo
[Laporan Utama, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 21 Juni 2007] 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke