http://www.tribun-timur.com/view.php?id=46059&jenis=Opini

                  Selasa, 26-06-2007  

                 
                  Gerakan Anti Korupsi
                    
                  Oleh: Ahkam Jayadi, Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN 
Alauddin Makassar 

                  Stop korupsi. Itulah tulisan dan ucapan yang senantiasa 
disosialisasikan setiap saat tanpa henti karena korupsi bukan lagi sebuah 
tindak pidana biasa.
                    
                  Korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary 
crime). Tingkat korupsi di Indonesia (Nuri Huda, 2006) sudah sangat 
mengkhawatirkan dan menjadi penyakit kronis. Beberapa gambaran yang menunjukkan 
tingkat korupsi di Indonesia yang begitu parah; 

                  Pertama, survei the Political and Economic Risk Consultancy 
Ltd (PERC) Januari-Februari 2005, Indonesia menduduki peringkat pertama 
terkorup di Asia. 

                  Kedua, kebocoran dana pembangunan mencapai 50 persen dan 
pungutan tidak resmi mencapai 30 persen biaya produksi. 

                  Ketiga, rendahnya pertumbuhan ekonomi (5,1 persen), indeks 
kualitas SDM dan tingginya angka kemiskinan (16,6 persen) dan pengangguran (9,7 
persen). 

                  Keempat, utang pemerintah meningkat drastis menjadi sekitar 
70 miliar dolar AS pada 2004, membengkak hingga antara aset pemerintah dengan 
utang defisit Rp 555 triliun. 

                  Kelima, laporan BPK 1999-2004 menjelaskan penyelewengan uang 
negara terjadi Rp 166,5 triliun, yang Rp 144 triliun adalah pelanggaran BLBI. 

                  Temuan KPK 
                  Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 
nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Lebih lanjut, 
KPK menyatakan, pelaku korupsi yang paling banyak adalah anggota legeslatif, 
yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, 
pimpro 10 persen, parpol tiga persen, dan kepolisian dua persen. Temuan KPK 
tersebut tak jauh berbeda dengan yang dirilis Mendagri, yang menyebut ada 
sekitar 1.110 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi tujuh 
gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD 
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 

                  Untuk memberantas korupsi tersebut harus ada tindakan terpadu 
dari semua elemen bangsa secara sinergis. Tindakan hukum terhadap pelakunya 
tidak saatnya lagi ada pilih kasih atau tebang pilih, bahkan terhadap presiden 
sekalipun bila korupsi atau menyalahgunakan jabatan haruslah diproses secara 
hukum apatah lagi bila hanya tingkat menteri, gubernur, bupati atau anggota 
DPR/DPRD. 
                  Persoalan korupsi adalah persoalan manusia. Korupsi terjadi 
oleh karena kita yang menciptakannya (manusia). Bila korupsi kita yang 
menciptakannya, maka sangat tidak masuk akal bila kita tidak dapat 
menghilangkan korupsi tersebut. 
                  Dengan kata lain hilang atau tidaknya korupsi adalah 
persoalan kemauan. Apakah kita secara serius atau setengah hati atau sama 
sekali memang kita tidak inginkan korupsi itu hilang dari bumi negara hukum 
Pancasila (Indonesia). 

                  Betapa sikap setengah hati tersebut sangat nyata terpampang 
di hadapan mata kita dalam penanganan korupsi di DPRD Provinsi Sulawesi 
Selatan. Ekonomi biaya tinggi (hight cost) dalam pembentukan perusahaan serta 
penanganan berbagai proyek baik di dalam lingkup pemerintahan maupun swasta, 
termasuk dalam kegiatan ekspor dan impor sebagaimana data di atas. 

                  Perbaiki Sistem 
                  Sebenarnya tumbuh suburnya korupsi di negara ini terjadi oleh 
karena korupsi menjadi salah satu jalan pintas untuk memperkaya diri dan 
keluarga. Di samping pengaruh kebiasaan. Kebiasaan yang sejak pra penjajahan 
hingga di alam pembangunan dengan mentalitas menerabas. 

                  Meskipun aspek kerakusan sebagai manusia juga memiliki andil 
yang tidak kecil. Maraknya korupsi serta belum maksimalnya tindakan aparat 
hukum serta dukungan masyarakat terhadap pelaku seharusnya tidak membuat kita 
pesimis akan tetapi justru harus lebih bersemangat untuk menghapus korupsi 
sampai ke akar-akarnya. 
                  Pada tataran ini, yang harus kita semarakkan tentu saja bukan 
hanya tindakan pinalti akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah tindakan 
preventif. Bukankah kita semua sering membanggakan diri sebagai orang Indonesia 
(orang timur) yang memiliki adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi harkat 
dan martabat. 
                  Bila kita berbicara tentang korupsi dari sudut pandang hukum, 
maka ada beberapa hal yang harus kita tata dengan baik yaitu: sistem peraturan 
perundang-undangannya, sistem perlindungan hukumnya, serta sistem penegakan 
secara sesungguhnya di dalam praktik. Kita jangan terkecoh dengan proses akhir 
peradilan korupsi yang seringkali membebaskan pelakunya. Secara sosiologis 
bebasnya seorang koruptor tidaklah berarti sang koruptor secara sesungguhnya 
tidak bersalah. 

                  Meskipun seorang koruptor benar-benar secara sesungguhnya 
melakukan korupsi, akan tetapi bisa bebas di pengadilan karena bukti-bukti 
tidak cukup oleh karena sebagian bukti yang memberatkan telah dimusnahkan. 
Demikian juga tidak cermatnya jaksa penuntut umum dalam memberikan dakwaan. 
Serta kehebatan sang penasehat hukum dalam membela klienya. Pada tataran inilah 
kita seringkali dapat menyaksikan bagaimana "rasa keadilan masyarakat" 
tergadaikan. 

                  Pada aspek peraturan perundang-undangan, sebenarnya kita 
telah cukup memiliki berbagai peraturan yang dapat difungsikan untuk mencegah 
atau menghukum pelaku korupsi. Mulai dari peraturan perundang-undangan dibidang 
kepegawaian (sumpah jabatan), UU perbankkan, UU pengelolaan keuangan negara, UU 
penyediaan jasa dan barang, KUHPidana hingga undang-undang tindak pidana 
korupsi (UU No 3 Tahun 1971 yang kemudian diubah dengan UU No 31 Tahun 1999 dan 
terakhir dengan UU No 20 Tahun 2001). 

                  Tentu saja pertanyaan yang kemudian muncul, bahwa jika benar 
kita telah memiliki banyak peraturan yang dapat digunakan untuk mencegah atau 
menghukum para pelaku korupsi, kenapa hingga sekarang korupsi tersebut masih 
selalu terjadi dan ironisnya sangat kurang sekali pelaku korupsi yang dijatuhi 
hukuman. 
                  Bahkan sekarang banyak melibatkan orang-orang yang berstatus 
sebagai ahli hukum. Dan kalaupun ada yang dihukum, maka pasti hukumannya sangat 
tidak sepadan dengan besarnya uang yang dikorupsi. 

                  Fakta yang penulis temukan: dalam suatu tindak pidana korupsi 
Rp 100 miliaran lebih dalam kasus pabean di Jakarta, hukumannya hanya dua tahun 
delapan bulan. Sementara ada teman penulis dalam korupsi KUT di Maros yang 
hanya sekitar Rp 900 juta mendapat hukuman empat tahun lima bulan bahkan 
putusan banding menambah menjadi enam tahun. 

                  Bukankah bentuk hukuman seperti ini justru membuat orang 
semakin berani dan semua ingin korupsi, apalagi bila uang negara miliaran 
rupiah yang dikorupsi sehingga harus dikembalikan sebagai bagian dari vonis 
tidak perlu dikembalikan dalam arti cukup diganti dengan hukuman penjara satu 
bulan hingga dua bulan yang nantinya juga akan dicabut melalui pemberian 
remisi. 

                  Betapa memilukan uang negara miliaran rupiah yang dikorupsi 
bila tidak mampu dikembalikan maka cukup diganti dengan hukuman satu hingga dua 
bulan. 
                  Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja dapat beragam. 
Pertama, Peraturan tersebut tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Kedua, 
aparat penegak hukum kita memang setengah hati dalam menindak para pelaku 
korupsi. Ketiga aparat penegak hukum kita yang ternyata sapu kotor. Keempat, 
mungkin pemerintah juga setengah hati dalam menindak para pelaku koropsi. Dan 
kelima ada konspirasi untuk bersama-sama menikmati uang haram hasil korupsi 
tersebut. (***) 
           
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke