Refleksi: Kenapa baru sekarang baru mengatakan bukan tanggung jawab JI?

http://www.gatra.com/artikel.php?id=105624

Abu Rusydan:
Aksi Teror Bukan Tanggung Jawab JI

Pemerhati gerakan Islam, Umar Abduh, menyebut Jamaah Islamiyah (JI) kini pecah 
jadi tiga faksi. Salah satunya faksi ideologis dengan figur sentral Abu 
Rusydan. Sisanya faksi moderat dengan tokoh Abu Bakar Ba`asyir, dan faksi 
teroris dengan pentolan Hambali. Faksi Rusydan dinilai konsisten dengan visi 
awal Abdullah Sungkar.

Zarkasih dan Abu Dujanah yang ditangkap pekan lalu, menurut Umar Abduh, 
termasuk faksinya Rusydan. Mereka tidak sepakat dengan aksi pemboman di 
sembarang tempat atas nama jihad. Dilihat rekam jejaknya, Abu Rusydan alias 
Thoriquddin alias Hamzah ini terbilang otoritatif untuk menjelaskan Jamaah 
Islamiyah (JI) luar dalam.

Ia tercatat sebagai angkatan ke-2 peserta pelatihan di Akademi Militer 
Mujahidin Afghanistan di Sadda, Pakistan. Seangkatan dengan Mukhlas, terpidana 
bom Bali I dan Mustafa, Ketua Mantiqi III JI sebelum Nasir Abas (angkatan ke-5).

Pada April 2002, pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 47 tahun silam itu, 
disebut-sebut diangkat sebagai Pelaksana Harian Tugas Amir JI. Dua tahun 
kemudian, April 2004, ia ditangkap polisi. Pengadilan memvonis 3 tahun 6 bulan 
karena dianggap melindungi Mukhlas, pelaku bom Bali I. Kini sudah bebas. 
Biasanya Rusydan tidak mau gamblang bicara soal JI. Ia cermat memainkan kalimat 
untuk berkelit.

Tapi kali ini, ia bicara lebih blak-blakan soal seluk-beluk JI, pola 
kepemimpinannya, serta potensi teror dari kalangan JI pasca penangkapan Abu 
Dujana dan Zarkasih. Berikut petikan perbincangannya dengan Asrori S. Karni 
dari Gatra, Selasa lalu.

Penangkapan Zarkasih, selaku Amir Darurat JI, mengungkapkan bahwa JI terus 
melakukan regenerasi kepemimpinan. Tanggapan Anda?
Kalau mau melihat sosok JI yang sesungguhnya, harus dilepaskan dulu dari isu 
terorisme. Bila masih dikaitkan dengan terorisme, selalu imajiner. JI yang 
tidak terkait dengan seluruh aksi terorisme itu hanya efektif dari 1993 sampai 
1999, di bawah kepemimpinan Ustadz Abdullah Sungkar, sampai wafat.

Setelah 1999, secara struktural, JI tidak wujud. Karena tidak pernah diangkat 
Amir pengganti Ustadz Sungkar, yang sesuai Syariat Islam dan ketentuan PUPJI 
(Pedoman Umum Perjuangan JI). Syariat Islam tidak pernah mengenal istilah "Amir 
Darurat" dan "Pelaksana Tugas Harian Amir". PUPJI juga tidak mengatur itu.

Bukankah pengganti Sungkar adalah Ba`asyir?
Setelah 1999, memang ada upaya beberapa anasir JI untuk mengangkat Ustadz 
Ba`asyir sebagai amir. Tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan yang sesuai 
PUPJI dan syariat Islam. Jadi kalau Ustadz Ba`asyir menyatakan bukan Amir JI, 
itu betul. Sejak 1999, secara institusional, JI sudah tidak wujud. Tidak ada 
lagi lembaga JI. Yang ada anasir JI. Termasuk Ustadz Ba`asyir, saya, dan 
Hambali, itu anasir JI. Tidak ada kesepakatan dalam sebuah institusi.

Mengapa JI tak bisa wujud pasca wafatnya Sungkar? Apa kesulitan mencari sosok 
sekaliber Sungkar?
Antara lain itu. Sebab lain, tujuan dasar JI yang dikembangkan Ustadz Sungkar 
mulai tidak dipahami anasir JI. Salah satu pertimbangan yang penting dipahami, 
pada 1 Januari 1993, ketika kami memisahkan diri dari NII (Negara Islam 
Indonesia), alasan paling mendasar adalah bahwa kami ingin berpikir kongkrit. 
Kalau kita berangkat dari "Negara Islam Indonesia", maka syaratnya sudah tidak 
terpenuhi lagi. Maka kami mencoba kembali kepada al-Jamaah al-Islamiyah, 
masyarakat Islami.

Artinya, menanggalkan cita-cita negara Islam?
Cita-cita negara Islam tidak hilang. Yang hilang adalah starting point berpikir 
bahwa kita masih punya "negara Islam". Kalau waktu di NII kan kita masih 
menganut negara Islam. Dengan memisahkan diri dari NII, maka JI berpikir bahwa 
titik awal, starting point kita sekarang dari jamaah.

Orientasi perjuangan beralih dari negara ke masyarakat?
Ya betul. Titik perhatiannya pada dua bidang: pendidikan dan dakwah. Adapan 
agenda yang lain-lain masih kita lihat dulu, bagaimana penerimaan masyarakat 
terhadap dakwah kita.

Tapi tahun 2001 Nasir Abas mengaku dilantik sebagai Ketua Mantiqi III oleh 
Ba`asyir. Berarti, organisasi JI masih beroperasi?
Setelah Ustadz Sungkar wafat, ada beberapa pihak yang mencoba mengangkat Ustadz 
Ba`asyir sebagai amir. Tapi tidak merupakan kesepakatan bulat seluruh anasir 
yang ada.

Ketidaksepakatan itu karena faktor kapabilitas pribadi Ba`asyir atau gara-gara 
Ba`asyir bikin Majelis Mujahidin?
Ustadz Sungkar wafat Oktober 1999. Saat itu, perpecahan anasir JI sudah muncul. 
Ustadz Ba`asyir jadi Amir MMI baru sepuluh bulan kemudian, 7 Agustus 2000. 
Jadi, ada atau tidak ada MMI tidak berpengaruh terhadap pecahnya 
personil-personil dalam JI. Tapi MMI itu semacam mendorong sajalah perpecahan 
dalam JI.

Ke depan, apakah JI Anda harapan bisa kembali efektif, seperti sebelum 1999?
Kalau secara pribadi, saya berharap begitu. Cuma kenyataannya berbeda. JI itu 
bisa wujud karena tiga hal utama. Pertama, adanya kaitan pemikiran dasar, 
kedua, adanya kaitan sejarah, dan ketiga, adanya kaitan struktural, berupa 
institusi yang efektif.

Sejak 1999, syarat terakhir, yakni kaitan struktural ini tak ada. Maka yang ada 
hanyalah anasir JI, yang hanya punya kaitan historis dan kaitan pemikiran dasar 
saja.

Di tengah struktur yang Anda sebut tidak efektif, muncul pemboman yang aktornya 
tokoh JI, seperti Hambali dan Mukhlas. Apa ini penyimpangan dari visi awal JI?
Pemikiran yang dikembangkan JI pada tahun 1993 sampai 1999 sudah jelas, yaitu 
pemikiran jihad. Bahwa jihad itu bagian syariat Islam. Cuma ketika 
mengoperasikan jihad di Indoneisa, semestinya ada keputusan yang dibuat lembaga 
kepemimpinan yang efektif. Tapi karena sejak 1999 tidak ada kepemimpinan yang 
efektif, maka JI secara kelembagaan tidak bertanggung jawab terhadap seluruh 
aksi teror sejak Oktober 1999. Meskipun pelakunya mengaku orang JI. Mereka 
memang memiliki kaitan sejarah dan pemikiran dasar dengan JI. Tapi secara 
struktural, tidak ada kaitan lagi.

Bagaimana kebijakan JI dalam penanganan kasus Poso?
Zarkasih dan Abu Dujana mengaku mengendalikan pasokan senjata ke Poso. Kasus 
Poso ini meledak sejak 1998, periode yang Anda sebut JI masih efektif.

Rangkaian kerusahan Poso dimulai 1998, ketika JI secara istitusional masih 
wujud dan efektif. Kemudian diputuskan, kami wajib membantu kaum muslimin di 
Poso. Tahun 1998 kami mengirim beberapa perintis untuk melihat keadaan. Secara 
keamanan, ternyata aparat keamanan sudah cukup bisa meredam. Yang belum, 
bagaimana memulihkan moral kaum muslimin di sana sehingga kegiatan keagamaan 
dan sosial bisa terwujud lagi.

Awal ketika kami ke Poso tahun 1999, khutbah Jumat saja nggak bisa 
dilaksanakan. Maka kami datang, dan kami rintis. Akhirnya beberapa kelompok 
yang lain datang, hingga akhirnya membuat persoalan yang tidak bisa terkendali. 
Sampai 1999, program JI hanya sebatas itu. Kemudian bekembang sampai kini, saya 
juga tanyakan hal itu pada Saudara Nasir Abas (mantan Ketua Mantiqi III yang 
antara lain membawahi Poso). Di awal program, kami tidak bermaksud melakukan 
kekerasan, apalagi sampai melawan pemerintah.

Pengiriman bantuan senjata ke Poso bisa Anda benarkan?
Kita kesulitannya begini Mas, kalau ditanya khusus kasus Poso, dalam pandangan 
ajaran Islam, Al-Qur`an surat Al-Anfal ayat 60 menyatakan, bahwa mempersiapkan 
kekuatan menghadapi orang kafir itu wajib. Kekuatan apa yang dipersiapkan? 
Tergantung apa yang disiapkan orang kafir. Kalau orang kafir di Poso, kaum 
merah mempersiapkan bahan peledak dan persenjataan. Itu fakta yang tidak bisa 
disangkal.

Kita melihat sendiri di sana bagimana orang non-muslim yang membantai kaum 
muslimin mempunyai bahan peledak. Untuk memenuhi ajaran Al Quran, kita mencoba 
mengimbangi. Cuma persoalannya, kami mau melaksanakan ajaran Islam, tapi oleh 
pemerintah kami dianggap sebagai ancaman. Ini perlu dijembatani. Saya insya 
Allah, bila diperlukan, bisa menjembatani atau memfasilitasi hubungan antara 
para ulama yang setuju jihad dengan cara ini dengan umaro` (pemerintah).

Bagaimana potensi teror pasca penangkapan Zarkasih alias Nuaim dan Dujana?
Dengan tertangkapnya Dujana dan Nuaim, berdasarkan apa yang saya pahami dari 
anasir JI, sebenarnya anasisr JI sudah tidak punya kemampuan lagi melakukan 
aksi. Noor Din Top, selama ini saya pahami sebagai pelaku lapangan. Dia tidak 
bisa menyediakan logistik dan personil sendiri. Dia selalu mencomot anasir JI.

Pasca operasi dia tidak mampu menyelamatkan diri, biasanya mamanfaatkan anasir 
JI untuk berlindung. Dengan ditangkapnya beberapa ikhwan ini, kemampuan 
operasional mereka sudah nggak ada lagi. Kecuali ada kelompok lain di luar JI 
yang memberi fasilitas. Tapi saya tidak menutup kemungkinan adanya hal yang 
saya tidak ketahui di dalam anasir JI yang mungkin melakukan itu.

Maksudnya?
Ada persoalan berikutnya. Ada indikasi masalah terorisme ini bisa jadi juga 
"proyek". Kalau anasir JI sudah tidak punya kekuatan lagi, kemudian ada pihak 
tertentu yang masih menganggap isu terorisme ini sebagai proyek masih layak 
jual, mereka bisa mewujudkan proyek itu kemudian mengambil personil dari anasir 
JI.

Sekarang banyak sekali anasir JI yang bisa digalang oleh aparat keamanan, 
seperti Nasir Abas cs. Saya khawatir, di saat kekuatan anasir JI sudah habis 
dan tak mampu lagi melakukan tindakan, lalu masih ada anggapan bahwa proyek 
terorisme laku dijual, maka mereka akan memfitnah JI lagi. Itu mungkin saja 
terjadi, tapi saya berharap tidak terjadi.

Kami yang menekui JI antara 1993 sampai 1999 tak yakin bahwa anasir JI yang 
melakukan aksi itu berdiri sendiri. Kami bisa mengukurlah bagaimana kemampuan 
kami. Mungkin ada pihak lain yang mendorong mereka melakukan kegiatan, padahal 
yang didorong belum siap, atau memang ada maksud membuat kekacauan.

Apa contoh aksi di luar ukuran kemampuan itu?
Contohnya bom Bali I. Kami semua terhenyak. Bukan hanya efek ledakannya, tapi 
pilihan tempatnya, itu di luar pemikiran dasar yang selama ini kami berikan. 
Sepertinya ada yang mendorong anasir JI melakukan pelanggaran batas yang 
ditetapkan, yang selama ini kita berikan. Sasaran sipil itu hanya boleh 
diserang bila berbaur dengan militer. Bali I itu murni sasaran sipil, itu 
sangat mengagetkan. Hal itu di luar pemahaman syariat yang sudah kami pahami 
bersama

Tapi bukankah di Bali I ada Mukhlas, yang dikenal ahli fikih, kan semestinya 
bisa mengingatkan batasan itu?
Jawaban mudahnya, faktanya memang begitu. Mereka ini pernah belajar keahlian 
mengebom, kemudian mereka dituntut oleh syariat, bila mereka tidak pergunakan 
keahlian itu sampai luntur, mereka dianggap bermaksiat kepada Allah. Maka 
mereka terdorong untuk mengamalkan ilmu yang mereka pahami. Itu hal yang baik, 
tapi sekaligus titik lemah untuk bisa dieksploitasi oleh pihak tertentu.

Apakah di komunitas Anda ada mekanisme atau upaya untuk saling menyadarkan dan 
mengingatkan?
Nasehat kita berikan selalu. Pihak yang kita hubungi, bukan yang DPO, di 
antaranya yang dalam penjara, kita nasehati.

Ada progress penyadaran?
Karena frekwensi hubungan tidak sering, berubah atau tidak, tak bisa kita lihat 
hari ini, karena mereka tak bisa melakukan apapun juga. Yang hari ini melakukan 
aksi kan mereka yang DPO.

Apakah Anda akan menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru?
Kita inginnya kembali pada akar, pada awal ketika JI mulai diadakan, tapi 
sulit. Banyak yang hanya tahu tengahnya, tapi tak tahu awalnya. Namun kaitan 
sejarah dan pemikiran dasar dengan JI nggak akan pernah mati sampai kiamat. 
Karena proses pendidikan kader-kader Ustadz Abdullah Sungkar ini sudah sangat 
lama. Sampai kapan pun orang akan mengingat. Sampai kapan pun orang akan 
bilang, kami pewaris JI. Sebagaimana sampai sekarang masih ada orang yang 
bilang, kami pewaris NII, DI (Darul Islam), dan TII (Tentara Islam Indonesia). 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke