http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/26/0901.htm


Komersialisasi Pendidikan
Oleh SOEROSO DASAR 

KOMERSIALISASI pendidikan sudah bukan bahaya melainkan kenyataan, yang lebih 
mencolok dalam gejala yang disebut "pajak atas kebodohan". Cukup banyak 
perguruan tinggi yang uang pangkalnya berbanding lurus dengan ketidakpintaran 
(kebodohan) calon mahasiswanya. Makin besar angka peringkatnya, semakin bodoh 
dan semakin besar pula uang pangkal yang harus dikeluarkan. 

Dari pada tidak diterima (karena memang tidak mampu menempuh seleksi masuk 
perguruan tinggi), ia dibujuk dengan uang pangkal yang tinggi, tentu saja 
jumlahnya jutaan rupiah. Jadi, ia didenda berat karena ada kekurangan yang 
melekat padanya. Yang pasti, kegugurannya masuk seleksi perguruan tinggi secara 
normal, di siasati dengan berbagai cara. Saat ini, populer dengan sebutan 
program jalur. 

Banyak orang dibujuk membayar tinggi untuk menebus kegagalannya. Kalau 
realitasnya demikian, manusiawikah tindakan seperti itu? Begitu tulis J. Drost 
S.J. pada majalah Prisma dengan judul "Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan". 
Kegalauan Drost yang muncul tahun 90 itu, seperti luka yang tidak 
sembuh-sembuh. Rekomendasinya adalah perguruan tinggi baru bisa berperan 
apabila unsur paling dasar kehidupan akademik, harus membawa serta nilai. 
Karena, nilai berarti ada harganya. Sesuatu yang dihargai, sering membuat 
pengorbanan. Kehidupan manusia tanpa nilai, bukan kehidupan insani. Karena, 
nilai menentukan mutu dan martabat hidup. 

Diskusi "Kualitas Pendidikan Indonesia, Dilihat dari Perspektif Hukum dan 
Sosial Kemasyarakatan" ("PR", 12 Mei 2007), kembali menguak masalah 
komersialisasi pendidikan. Diskusi yang dilakukan di salah satu ruangan di 
Unpad itu, salah seorang pembicara mempertanyakan bagaimana kaum duafa mampu 
memperoleh pendidikan tinggi, apabila biaya pendidikan semakin mahal. Dengan 
berbagai jalur, perguruan tinggi mampu menyerap dana segar dari masyarakat. 

Pledoi (pembelaan) yang dikedepankan oleh perguruan tinggi, tentu saja sudah 
dapat ditebak yakni subsidi silang. Dana segar dengan jalur tertentu yang 
disedot oleh perguruan tinggi diinvestasikan kembali, dengan harapan mahasiswa 
dari keluarga duafa yang masuk pada jalur yang lain dapat menikmati fasilitas 
tersebut. Kondisi ini, dipicu oleh dana untuk dunia pendidikan yang dikucurkan 
pemerintah sangat terbatas. Pemerintah belum mampu melaksanakan amanat yang 
tertuang pada UUD 45 pasal 7 ayat 4. Tetapi, di antara ketidakmampuan 
pemerintah itu, decak kagum kita sampaikan kepada Pemkot Tangerang yang telah 
mengucurkan dana pendidikan sebesar 42% dari APBD pada tahun 2005 dan 31% pada 
tahun 2006.

Dari persentase itu pun di luar gaji guru. Sungguh suatu kebijakan yang luar 
biasa. Mungkin kegalauan para pengamat pendidikan dan sosial adalah, benarkah 
subsidi silang dari dana segar itu dilaksanakan secara benar. Jangan-jangan 
sebagian dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak mempunyai 
signifikan terhadap kualitas pendidikan. Kekhawatiran itu wajar-wajar saja 
karena dana yang diserap relatif sangat berarti. Di salah satu universitas 
negeri saja, untuk Fakultas Kedokteran biaya pengembangan pendidikan mencapai 
Rp 175 juta, Fakultas Ekonomi Rp 40 juta, FKG Rp 40 juta, Farmasi Rp 35 juta, 
belum lagi fakultas lainnya. Kalau dijumlahkan semuanya akan muncul juga angka 
yang fantastis. Tetapi, penulis tetap berprasangka baik (khusnuzon) kepada para 
pengelolanya. Seperti wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya: bergaullah dengan 
orang-orang berilmu, karena Allah menghidupkan hati mereka melalui cahaya 
hikmah. 

Pendidikan yang selama ini cenderung hanya bertakhta pada otak manusia dan 
kurang mengiraukan aspek keadilan serta nilai-nilai Ilahi, telah membuat 
sepertiga planet bumi menjadi orang kaya, sedangkan sisanya (dua pertiga) 
adalah penduduk miskin. Bahkan, Indonesia pada saat sekarang ini dengan 
kriteria Bank Dunia penduduk miskinnya lebih dari seratus juta orang. 

Konon, semuanya ini adalah produk-produk orang yang mengenyam pendidikan 
tinggi, karena di pundak merekalah strategi pembangunan, kebijakan, dan 
keputusan diletakkan. Gaya pendidikan yang cenderung hanya mengembangkan otak 
kiri tanpa memperdulikan pengembangan otak kanan, juga telah menghasilkan 
generasi kronis dan terjadinya split personality". Tidak ada keseimbangan 
antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, sehingga 
tidak ada integrasi antara otak dan hati. Negeri ini yang lebih menekankan 
nilai akademik, kurang memberikan bobot kepada masalah kecerdasan emosi yang 
mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, 
ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip-prinsip kepercayaan, 
penguasaan diri, atau sinergi, telah membentuk manusia Indonesia seperti yang 
kita saksikan saat ini. 

Satu kualitas sumber daya manusia yang patut dipertanyakan. Manusia yang buta 
hati, dengan krisis moral yang tajam. Pada sisi lain pendidikan yang sarat 
dengan nilai-nilai religius tidak di pahami atau dimaknai secara mendalam, 
tetapi lebih pada tataran dan pendekatan simbol-simbol dan acara ritual. 
Fenomena ini dengan telanjang kita saksikan bagaimana pemisahan antara 
kehidupan dunia dan akhirat.

Investasi yang besar di dunia pendidikan (human investment), yang dilakukan 
apabila keluar dari roh pendidikan itu sendiri alangkah celakanya. Karena, 
manusia yang dibangun bukan manusia yang berempati terhadap proses pembangunan 
yang sedang terjadi, tetapi serigala-serigala ganas dan buas yang tidak pernah 
puas untuk menindas manusia lainnya. Apabila niat suci subsidi silang dengan 
membidik dua segmen calon mahasiswa dan mampu meramu proses pendidikan yang 
bermoral, yang mempunyai hati nurani, yang bermutu, maka pembukaan jalur 
tertentu dengan menyedot dana segar dari masyarakat tidaklah terlalu keliru. 
Apalagi jalur tersebut dilakukan juga dengan cara proses seleksi yang jujur. 

Inilah salah satu terobosan untuk terus mengupayakan agar pendidikan di negeri 
ini semakin bermutu dan mampu berbicara pada ranah internasional. Orang-orang 
berilmu itu dan manusia-manusia yang telah memutuskan pilihan hidupnya di dunia 
pendidikan agaknya perlu membaca apa yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim Al 
Jaujiyyah, dalam bukunya Taman-taman Orang Jatuh Cinta: Orang berilmu ibarat 
tanah yang siap diinjak oleh orang yang baik dan buruk, atau seperti hujan yang 
turun membasahi kepada orang yang suka dan tidak suka. Orang berilmu tidak 
layak disebut sebagai orang berilmu, kecuali bila ia dianugerahi kerajaan, ia 
tidak akan berpaling dari Allah. Orang berilmu adalah orang yang lemah lembut 
di hadapan Allah, tetapi tegar di hadapan selain Allah. Sedangkan Dzun an-Nun 
al Mishri mengatakan: Segala sesuatu mempunyai kesudahan atau akhir dan 
kesudahan orang berilmu tatkala ia berhenti berzikir kepada Allah. 

Dalam Megatrends 2000 Jhon Naisbitt dan Patricia Abburdene mencatat bagaimana 
peran-peran orang berilmu, orang-orang jebolan pendidikan tinggi memberikan 
konstribusi terhadap proses pembangunan. Jhon Naisbitt tetap memberikan 
dukungan penuh terhadap dinamika pendidikan, yang memberikan keseimbangan 
antara kedua otak yang ada sehingga prinsip-prinsip demikian lebih egaliter dan 
menghargai arti kehidupan. Karena diyakini bahwa kehidupan yang dijalani dengan 
warna spiritualisasi, akan menuai keberhasilan dan kebahagiaan. 

Oleh karena itu, kita tidak perlu terkejut ketika kita menemukan banyak 
orang-orang yang suci, sufi, mistikus, bukan hanya di tempat-tempat ibadah 
orang Islam, Nasrani, Buddha. Tetapi mereka bertebaran di berbagai fakultas 
yang ada di perguruan tinggi. Manusia-manusia seperti inilah yang mampu 
menggerakkan dinamika perguruan tinggi secara jujur, arif, serta terhormat dan 
bermutu, sehingga cita-cita kehadiran perguruan tinggi di negeri ini 
benar-benar bermakna bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung. 

Jangan sampai perguruan tinggi menyimpang dari the idea of on university. 
Karena, seorang mujahid adalah yang haus dan dahaga untuk mencicipi ilmu, maka 
setiap insan sadar bahwa Rasulullah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut 
ilmu. ***

Penulis, peneliti senior PPK-PPSDM Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to