http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=291732

Rabu, 27 Juni 2007,

Mendidik atau Merusak?
Oleh M. Syamsul Maarif 



Dua tersangka teroris di bawah umur, yaitu Nur Fauzan, 19, dan Isa Ansori, 16, 
Jumat sore mungkin akan dilepas dari tahanan. Berita ini menjadi makanan hangat 
media massa minggu-minggu ini. Mereka adalah teroris kecil yang terkecoh 
doktrin yang dianggap baik, tapi merugikan banyak pihak dengan dalih agama dan 
kuasa Tuhan untuk menghukum setiap yang mereka anggap salah dan tidak sesuai 
dengan ajaran mereka.

Diskursus tentang agama memang tidak pernah habis dan tidak ada matinya untuk 
dibahas. Yang perlu kita cermati, makna pluralisme dalam beragama cenderung 
membuat lubang kematian dan samudera perpisahan (disintegrasi) yang membuat 
jarak jauh antarpemeluk agama.

Pertanyaan yang sulit kita jawab dan mau tidak mau kita jawab ialah sebenarnya 
untuk apa kita beragama? Apakah sekadar simbol yang diharapkan mampu meredam 
permusuhan di antara orang-orang yang berbeda keyakinan atau sebagai 
embel-embel legalitas kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh-Nya dan sebagai 
arbitrase dalam setiap persoalan manusia lainnya?

Tentunya, kita butuh memutar otak dan kembali berkaca jauh pada sejarah untuk 
menjawab semua itu. Sebab, secara tidak langsung, diakui atau tidak, terlepas 
dari eksistensi kita beragama untuk menghayati dan menjalankan apa yang 
dianggap baik, agama telah memberikan doktrin-doktrin permusuhan serta 
perpecahan terhadap pemeluk agama lain (antar) maupun sesama saudara seagama 
(intern) yang berbeda pemikiran. 

Pada dasarnya, agama bagi setiap orang adalah kebutuhan. Namun, agama bukanlah 
kebutuhan yang bersifat fungsional, yang hanya bila kita membutuhkan, agama 
harus ada dan harus melekat pada diri. Melainkan, agama itu bersifat kebutuhan 
yang eksistensial.

Agama bukan titel, bukanlah aksesori sebagai penghias nama seseorang untuk 
menegaskan status sosial atau pelengkap KTP semata. Namun, agama itu mendarah 
daging, menyatu, dan selalu terbawa ke mana dan di mana serta dalam kondisi apa 
pun seseorang. 

Seorang dosen, misalnya, hanya menjadi seorang dosen ketika dia mengajar dan 
berinteraksi keilmuan dengan mahasiswa. Karena itu, menjadi dosen adalah 
sesuatu yang bersifat fungsional. 

Hal itu berbeda dengan seorang muslim (misalnya). Selama dia meyakini dan 
menghayati keislamannya, dia akan tetap mengada sebagai muslim, kapan pun dan 
di mana pun berada. Muslim bukanlah status yang punya kategori fungsional, 
melainkan eksistensial.

Maka tak heran, akhir-akhir ini sering terjadi kekerasan dan kejahatan dengan 
mengatasnamakan agama sebagai alat legalisasi dan pembenar dalam setiap 
tindakan mereka. Contoh yang dekat dengan mata kita sehari-hari adalah 
pengeboman, terorisme, pembunuhan, bahkan perang dengan membawa bendera agama. 
Tindakan biadab itu menjadi legal dan sah. Sebab, sumber tindakan-tindakan 
tersebut adakalanya berasal dari penafsiran teks-teks keagamaan. 

Dalam kasus seperti itu, agama yang sebenarnya merupakan jalan keselamatan yang 
ditawarkan Tuhan menjadi sesuatu yang hambar untuk diaplikasikan. 

Ambivalensi Agama 

Wajah agama yang oleh Dhaniel Dhakidae disebut sebagai the Janus-faced image of 
religion alias wajah agama yang selalu retak kembali muncul di benak kita. 
Sebuah wajah penuh cinta kasih yang juga menawarkan wajah beraura kebengisan. 

Tidak ada tradisi pemikiran dan pergulatan manusia selain agama, yang merekam 
nilai-nilai dan cita-cita tentang keadilan, perdamaian, cinta kasih, sakralitas 
kehidupan, dan kemanusiaan universal. Tetapi, serentak dengan itu, tidak ada 
pula dokumen peradaban manusia yang tidak merekam kepicikan, pembunuhan, dendam 
kesumat, kekejian, bahkan pemusnahan kehidupan yang dilakukan oleh dan atas 
nama agama (TA, edisi 13, 2002). 

Kekerasan dan Yang Suci seperti yang diingatkan studi klasik Rene Girard (1972) 
bagaikan dua sisi keping logam yang sama. Agama adalah pengejawantahan yang 
paling konkret dan penuh. 

Fenomena sangat mencengangkan bagi kita. Di satu sisi, kehadiran agama 
merupakan alat pemersatu bagi umat manusia (integrative factor). Akan tetapi, 
di sisi wajah yang lain, agama merupakan faktor pemecah (disintegrative factor) 
yang secara tidak langsung (terlepas pengakuan tidak atau iya) lahir dan 
berkembang dari agama itu sendiri. 

Tetapi, agama juga berpotensi melahirkan intoleransi (konflik), baik disebabkan 
ajaran agama itu sendiri maupun karena faktor eksternal. Misalnya, sengaja 
dilakukan pihak-pihak tertentu.

Dalam konteks itu, saya menganggap teroris di bawah umur merupakan kesalahan 
didikan, bukan seratus persen kesalahan mereka sehingga tidak selayaknya 
dihukum. Justru secara psikologi, mereka butuh pendampingan. Jadi, 
penyelesaiannya adalah memutus mata rantai ajaran yang mengeksploitasi remaja, 
bahkan anak di bawah umur sebagai senjata baru aksi-aksi terorisme. 


M. Syamsul Maarif, santri pada Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke