=================================
  Seri : "Membangun Keluarga Indonesia"  
  =================================
  [EQ]
   
   
   
  CHRISYE : SEBUAH MEMOAR MUSIKAL
  [Naga Legendaris INDONESIA]
  Oleh : Alberthiene Endah
   
   
  Bermimpilah,
  sebab harapan akan memberi hidup
   
  Berkaryalah,
  sebab seni akan memberi makna
   
  [Naga belajar . . . sampai menutup mata]
   
   
   
  17. New York... Saya Datang!
   
  Beban pikiran saya rupanya sampai ke telinga Papi. Ia menghampiri saya.
  “Benar kamu ingin ke New York?” Saya mengangguk takut. “Kuliah?”
  “Saya nggak punya minat di situ, Pi.
  “Masa depan kamu?”
  “Musik”
  Papi memandang saya tajam. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, ia berlalu. Perang 
dingin terjadi antara saya dan Papi. Situasi yang sungguh tak enak. (Belakangan 
saya menyadari bahwa memang begitulah rasa yang dialami banyak seniman musik 
dan film yang muncul di zaman itu. Sebagian besar tak bisa menghindari 
bentrokan dalam keluarga akibat pilihan yang tak direstui).
   
  Tapi, entah kenapa, suatu siang Papi masuk ke kamar saya.
  “Chris, kalau kamu mantap, berangkatlah.”
  Saya tak percaya. “Papi mengizinkan saya?”
  Ia mengangguk. Saya peluk Papi.
   
  Saya tahu pasti, itu keputusan yang tidak mudah bagi Papi. Sebuah transisi 
yang begitu berat bagi orangtua. Saya paham, Papi melakukan satu manuver maha 
dahsyat dalam cara berpikirnya tentang masa depan saya. Bayangkan, dari 
orangtua yang menjejalkan harapan sejak saya masih kecil sampai kuliah, 
mendadak Papi harus dihadapkan pada realitas bahwa anaknya lebih memilih jadi 
pemusik.
   
  Untuk beberapa hari, tak ada suara-suara yang membunyikan cetusan tentang 
sekolah, pendidikan, kelulusan, dan sejenisnya. Mami bilang, Papi belakangan 
banyak diskusi dengan beberapa temannya. Entah untuk keperluan apa. Barangkali 
kasus diri saya menjadi topik utama yang dibawa Papi. Kasihan, sebetulnya. Tapi 
rasa bersalah saya yang begitu besar, kelak jadi pemompa semangat saya untuk 
terus dan terus menumbuhkan komitmen dalam menjalani karier musikal.
   
  Itu masa transisi yang sangat penting dalam sejarah karier saya. Reli-reli 
emosi antara saya dan Papi, pada akhirnya seperti sebuah pertarungan “elegan” 
tentang prinsip. Dasarnya Papi orang moderat yang tahu persis bahwa “menekan 
adalah intimidasi’. Dan dasarnya saya adalah anak “bengal” yang tahu bahwa 
menurut mutlak pada sesuatu yang tak saya suka adalah bom waktu. Kami 
tarik-ulur terus hingga akhirnya Papi benar-benar memeluk saya dan menyatakan 
izin tulusnya agar saya berangkat! Saya berjingkrak-jingkrak waktu itu!
   
  Pontjo berseri-seri waktu saya mengabarkan siap berangkat. “Emang nggak afdol 
kalau nggak ada lu, Chris!” ujarnya tertawa.
   
  Setelah itu kesibukan yang luar biasa mewarnai rumah saya. Maklumlah, ini 
perjalanan pertama kali saya ke luar negeri. Amerika pula. Getar yang terasa 
melebihi segala rasa senang yang pernah saya alami sepanjang hidup saat itu. 
Mami mempersiapkan baju-baju dan perbekalan. Rencana setahun di Amerika membuat 
saya seperti mengangkut seluruh isi kamar.
  Dan perjalanan mendebarkan itu terjadilah….
   
  Pontjo mengantar saya sampai ke New York tahun 1973. Dalam pesawat, saya 
terus-menerus bengong seperti orang bodoh. Sekujur tubuh saya dialiri rasa 
nervous, girang, dan waswas sekaligus!
   
  Gila! New York! Mau ngeband pula!
   
   
  _____
   
  Saya tahu pasti, itu keputusan yang tidak mudah bagi Papi. Sebuah transisi 
yang begitu berat bagi orangtua. Saya paham, Papi melakukan satu manuver maha 
dahsyat dalam cara berpikirnya tentang masa depan saya.
   
  _____
   
   
  [bersambung]


    
  SONETA INDONESIA <www.soneta.org>

  Retno Kintoko Hp. 0818-942644
  Aminta Plaza Lt. 10
  Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
  Ph. 62 21-7511402-3 
   


       
---------------------------------
Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke