http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/02/0901.htm


Tujuh Yayasan Soeharto
Oleh H. ROSIHAN ANWAR 
KEJAKSAAN Agung akan menggugat mantan Presiden Soeharto secara perdata ke 
pengadilan, sebelum tanggal 27 Juli 2007, berkaitan dengan masalah Yayasan 
Supersemar yang didirikan 1974.

Saya lalu ingat biografi "Soeharto" yang baru terbit ditulis dalam bahasa 
Inggris oleh Retnowati Abdulgani-Knapp yang "menyelidiki debat sekitar yayasan 
yang didirikan tatkala Soeharto berkuasa dan hubungannya dengan 
konglomerat-konglomerat Indonesia dan keluarganya".

Ada tujuh yayasan. Yayasan Supersemar didirikan 16 Mei 1974 untuk memberikan 
beasiswa kepada mahasiswa yang pintar dari keluarga yang tidak berada. Yayasan 
Trikora membantu para janda prajurit yang gugur dalam operasi di Irian Barat. 
Yayasan Dharmais dibentuk 8 Agustus 1975 membantu rumah yatim piatu, kaum 
invalid. Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila didirikan 17 Februari 1982 
membangun masjid-masjid. Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab) memberi kredit 
kepada usaha kecil dan menengah. Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan 
membantu korban bencana alam. Yayasan Dana Sejahtera Diri (Damandiri) didirikan 
15 Januari 1996 bertujuan mengurangi jumlah orang miskin.

Retnowati putri almarhum Dr. Roeslan Abdulgani jelas sekali memaparkan tentang 
ketujuh yayasan tadi dengan sikap dan tujuan membela Soeharto, menunjukkan 
bahwa yayasan-yayasan itu telah banyak berjasa memberikan bantuan kepada 
berbagai pelapisan masyarakat, menandaskan bahwa tidak benar Soeharto secara 
pribadi melakukan korupsi di situ, mengimbau agar orang-orang yang pernah 
memperoleh manfaat dan keuntungan dari bantuan yayasan, misalnya begitu banyak 
mahasiswa yang disantuni oleh Yayasan Supersemar, setelah kini mereka "menjadi 
orang" dan berhasil dalam karier mereka supaya tampil buka suara melakukan 
pembelaan terhadap Soeharto. Retnowati tidak menyembunyikan sikap 
apologetisnya. Sesungguhnya raison d'etre alias alasan keberadaan biografi yang 
ditulisnya itu adalah "in defense of Soeharto", membela Soeharto, sesuatu yang 
merupakan hak baik Retnowati.

Berbagai informasi disampaikan kepada kita. Dana-dana yang dikumpulkan dari 
donasi (sumbangan) yang diberikan oleh para pengusaha atau yang dipotong dari 
gaji pegawai negeri menurut persentase tertentu oleh Soeharto disimpan di 
berbagai bank sebagai deposito. Yayasan menggunakan suku bunga atau rente dari 
deposito itu untuk mengoperasionalkan yayasan-yayasan sedangkan jumlah pokok 
tetap utuh. Dana abadi Yayasan Trikora berjumlah Rp 32,5 miliar dan 
didepositokan di tiga bank negara. Menurut Retnowati, dana yayasan itu masih 
ada di bank.

"The Chinese conglomerates"

Apakah Kejaksaan Agung mampu melacak dana-dana atau harta kekayaan ketujuh 
yayasan tersebut, berapa jumlahnya, dan dapatkah dikembalikan ke dalam kas 
negara, hal itu masih merupakan pertanyaan besar? Lagi pula ada sementara 
dana-dana itu yang telah dipergunakan untuk "keperluan bisnis" anak-anak 
Soeharto, misalnya Tommy Soeharto dengan projek mobil nasionalnya Timor, apakah 
ini dapat dibuktikan, dan bila terbukti bisakah uang yang telah nyeleweng itu 
"diselamatkan"? Hal yang sangat diragukan. Saya amati Soeharto semenjak 
menjabat sebagai Panglima Diponegoro di Jawa Tengah pada pertengahan tahun 
1950-an memang punya hobi bekerja secara "non-budgeter" dan dengan itu 
menghindari akuntabilitas kepada birokrasi. Pada masa itu dia sudah mendirikan 
yayasan-yayasan, menjalin kerja sama dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa 
seperti Lim Sieo Liong yang tinggal di Kudus dan Mohammad "Bob" Hasan yang 
kelak jadi The Chinese conglomerates. Retnowati Abdulgani menulis keterangan 
Presiden Soeharto "bahwa yayasan digunakan sebagai sebuah cara menghindari 
bureaucratic red tape" (hal. 235) dan bahwa "Presiden Soeharto, seorang 
pragmatis, telah menerima fakta adapun potensi di dalam golongan minoritas 
Tionghoa bersifat lebih tinggi daripada dalam golongan mayoritas pribumi" (hal. 
231).

Tak dapat disangkal bahwa selama bertahun-tahun bekerja secara "non-budgeter" 
menerima donasi-donasi bagi yayasan-yayasannya, Soeharto telah berhasil 
mengumpulkan harta kekayaan yang luar biasa banyaknya yang tiada seorang pun 
tahu persis berapa jumlahnya. Namun, Retnowati memberikan informasi kepada kita 
dengan mengutip keterangan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew dalam bukunya From 
Third World to First, The Singapore Story 1965-2000. Lee Kuan Yew menulis 
"Harta kekayaan yang dimiliki Soeharto dan keluarganya telah diinvestasikan di 
Indonesia. Wartawan Amerika yang telah melaporkan dalam majalah Forbes bahwa 
keluarga Soeharto mempunyai aset 42 miliar dolar AS mengatakan kepada saya di 
New York bulan Oktober 1998 bahwa sebagian besar dari kekayaan itu berada di 
Indonesia. Setelah krisis moneter di Indonesia, dia (wartawan) memperkirakan 
bahwa kekayaan itu bernilai hanya 4 miliar dolar AS," ujar Lee Kuan Yew.

Pada kulit buku "Soeharto" tertera sebuah kutipan dari percakapan Retnowati 
dengan Richard Webb, diplomat Inggris yang bertugas di Indonesia (1998-2001) 
yang berkata "Jika bukan lantaran Pak Soeharto, Indonesia tidak akan berada di 
mana dia dewasa ini atau memiliki prasarana yang dipunyainya. Menyedihkan, 
adalah keserakahan anak-anaknya yang memicu kejatuhannya, tapi dia telah 
meninggalkan sebuah warisan hebat bagi Indonesia dan rakyatnya." Itu kata 
diplomat Inggris. Itu dikutip oleh Retnowati Abdulgani. Saya pikir mari kita 
nantikan kerja Kejaksaan Agung yang hendak menggugat Soeharto secara perdata di 
pengadilan.*** 

Penulis, wartawan senior Indonesia


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to