=================================
  Seri : "Membangun Keluarga Indonesia"  
  =================================
  [EQ]
   
   
   
  CHRISYE : SEBUAH MEMOAR MUSIKAL
  [Naga Legendaris INDONESIA]
  Oleh : Alberthiene Endah
   
   
  Bermimpilah,
  sebab harapan akan memberi hidup
   
  Berkaryalah,
  sebab seni akan memberi makna
   
  [Naga belajar . . . sampai menutup mata]
   
   
   
  20. Vicky pergi...
   
  Masa kontrak manggung di restoran Ramayana, New York masih berjalan sekitar 
setahun lagi. Tahun 1974 saya berangkat lagi. Kali ini, pasukan yang ikut 
beruban lagi. Ada Abadi Soesman, Dimas Wahab, Ronny Makasutji, dan Broery 
Marantika. Nama grup yang dipakai bukan lagi Gipsy, tapi The Pro’s.
   
  Kehidupan yang sama terulang lagi. Kali ini mentalitas sebagai penyanyi 
restoran sudah terbangun, sehingga saya tidak lagi memanjakan ego yang berontak 
karena tidak menjadi diri sendiri. Tapi, sekaligus juga permainan saya berjalan 
tanpa jiwa sama sekali. Datar saja. Itulah masa-masa akhir ketika saya 
benar-benar berjanji pada diri sendiri: setelah ini saya harus menyanyi sebagai 
Chrisye!
   
  Kesabaran saya terus bertahan sampai waktu masa kontrak kami hampir 1 tahun. 
Di penghujung masa kerja, pada pertengahan tahun 1975, saya mendapat telepon 
mengejutkan dari Jakarta. Sesuatu yang terbilang sangat jarang terjadi karena 
mahalnya biaya telepon. Firasat saya mulai terasa tak enak ketika saya 
dipanggil lantaran Joris menelepon.
   
  Ketika gagang telepon sudah di telinga saya, suara Joris terdengar serak dan 
patah-patah. “Chris... jangan sedih. . .. Vicky meninggal. . . “ katanya.
   
  Saya syok. Benar-benar syok! Saya minta Joris mengulang lagi kalimatnya. 
tubuh saya gemetar mendengar kabar itu sekali lagi.
  “Bagaimana bisa?” saya masih belum bisa menerima.
  “Sakit di perutnya makin parah.”
  “Saya pulang sekarang, Jo!” cetus saya di sela perasaan yang sudah dikuasai 
emosi.
  “Nggak usah... karena siang ini juga akan dimakamkan. Kamu selesaikan saja,. 
dulu pekerjaanmu...”
   
  Masa kontrak tinggal beberapa minggu lagi. Saya berpikir ulang. Ya, kalau toh 
saya pulang, saya sudah tidak bisa melihat jenazah Vicky. Telepon disudahi 
dalam kondisi emosi yang sangat jatuh. Benar-benar sulit diterima. ini kabar 
yang sangat memukul. Pikiran saya mengingat-ingat, apa gelagat yang terbaca 
dari Vicky waktu saya pulang. Dia memang sedang tidak sehat. Saat itu, sempat 
ada dugaan, kecelakaan motor yang pernah dialami Vicky beberapa tahun 
sebelumnya menimbulkan luka dalam di perut. Tapi tak ada tanda-tanda sedikit 
pun bahwa sakitnya mengarah pada kematian.
   
  Saya sudah tidak bisa lagi bekerja dengan semangat. Dimas, Abadi, semua 
menghibur saya. Tapi tak ada satu pun yang berani menyemangati saya untuk tetap 
bekerja dengan spirit penuh. Semua tahu, luka batin saya tak akan mungkinkan 
saya bermain selincah biasanya. Satu-satunya saran mereka, “Chris, bertahanlah. 
Kita segera pulang. . .”
   
  Itu masa-masa paling menyedihkan selama saya bekerja di musik. Saya mencabik 
bas, bernyanyi, pura-pura bergembira. Sementara hati saya benar-benar terkoyak 
emosi. Pikiran saya bercabang dua. Antara memikirkan performa dan terus 
membayangkan Vicky. Apa yang terjadi pada diri kami selama puluhan tahun 
seperti kembali hadir dan berputar. Saat kami masih kecil, sama-sama melempari 
kereta api, nonton balap motor di Teuku Umar, tidur sama-sama. Vicky masih 
terlalu muda. Baru 23 tahun usia dia.
   
  Kembali ke Jakarta pikiran saya sudah tidak bisa lagi beranjak dari Vicky. Di 
dalam pesawat, ketika saya benar-benar dalam kondisi sendiri dan tak memikirkan 
apa-apa lagi selain Vicky, saya merasakan sebuah kehilangan yang amat besar 
Saya tidak merasa perlu menutupi tangis saya. Sepanjang Amerika Jakarta saya 
tak berhenti-henti menangis.
   
  Walau Joris, Papi, dan Mami bolak-balik menghibur saya bahwa Vicky meninggal 
dengan tenang dan tersenyum, rasa sedih saya tidak mudah terobati. Ditemani 
Joris, saya berjongkok lama sekali di makam Vicky di Pemakaman. Selama di sisi 
makamnya, saya teringat, banyak sekali harapan Vicky yang pernah tercetus dari 
bibirnya. Jadi ahli mesin, pakar otomotif, macam-macam. Dia sendiri pasti tak 
menyangka, cita-citanya terhenti oleh kematian. Pada satu titik saya menyadari, 
manusia tidak kuasa mempertahankan apa pun kalau Tuhan sudah berkehendak.
   
  Sisa tahun 1975 yang berat buat saya. Kesedihan yang mendalam membuat saya 
banyak diam di kamar, dan jarang berinteraksi dengan musik. Masa kerja yang 
cukup melelahkan di New York mungkin juga membuat saya enggan terlalu heboh 
memikin Gipsy Band. Lagi pula, saat itu kami sedang dililit perasaan yang sama. 
Jenuh! Tidak ada lagi tantangan yang membangkitkan semangat. Pontjo sudah sibuk 
dengan urusan bisnisnya. Abadi cs sibuk dengan bandnya. Saat itu di Indonesia 
sudah marak dengan tumbuhnya band-band baru yang menawarkan musik pop. Ada The 
Mercy’s, Panbers, Koes Bersaudara masih meraja, dan Bimbo.
   
  Berkali-kali Mami menyarankan saya untuk main musik lagi daripada merenung 
terus-menerus di kamar. Tapi, diam saya saat itu benar-benar tak bisa diusik. 
Sampai saat ini, saya masih mengingat masa-masa itu sebagai masa kontemplasi 
terlama dalam hidup saya. Berbagai pertanyaan berkecamuk, kenapa harus Vicky 
yang diambil, kenapa harus semuda itu ia pergi, kenapa dan kenapa? Dan semua 
pertanyaan itu selalu ditutup dengan rasa bersalah yang amat besar. Kenapa saya 
tidak ada di sisi Vicky saat dia melepaskan napas terakhirnya.
   
  Untungnya, semangat bermusik tak sepenuhnya hilang. Pelan-pelan saya bisa 
memperbaiki suasana hati. Saya mulai keluar rumah lagi. Dan saya dengar suara 
musik yang sangat memikat. Begitu berbeda. Lagi-lagi, bunyi itu muncul dari 
rumah keluarga Nasution!
   
  __________
   
  Ada kalanya kita berkarya untuk uang, 
  Ada saatnya karya dibuat untuk memberi makanan bagi jiwa.
   
  ___________
   
  Menciptakan lirik, mencoba membuat notasi,
  menyenandungkan melodi ciptaan saya.
  Dalam kesendirian itu, sesuatu yang ajaib terjadi.
  Yang biasanya saya menyamakan cengkok suara seperti penyayi asli 
  lagu yang saya nyanyikan, kali ini saya terkesima dengan suara asli saya.
   
  ___________
   
   
  [bersambung   ]


    
  SONETA INDONESIA <www.soneta.org>

  Retno Kintoko Hp. 0818-942644
  Aminta Plaza Lt. 10
  Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
  Ph. 62 21-7511402-3 
   


       
---------------------------------
Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, 
photos & more. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to