http://www.sinarharapan.co.id/berita/0707/09/opi01.html


Gus Dur, Bung Tomo, Kartosuwiryo
Oleh
Himawan Soetanto

Saya agak terlambat membaca suratkabar harian Seputar Indonesia (Sindo) edisi 
18 Juni 2007 yang memuat kolom Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjudul 
"Pelestarian Kenyataan Sejarah". Saya mencari Sindo edisi itu setelah beberapa 
orang teman memberitahukan dan menanyakan apa komentar saya atas kolom yang 
isinya terdapat kenyataan sejarah yang keliru. 

Di sini saya tidak mengomentari pesan yang ingin disampaikan oleh "Guru Bangsa" 
dan mantan Presiden RI melalui kolomnya itu tentang perlakuan adil yang harus 
diberikan bagi semua warga negara dan kepada daerah daerah provinsi. Saya 
menjunjung harapan beliau untuk membangun sikap saling mempercayai satu sama 
lain dan mewariskannya bagi anak cucu kita. Saya mendukung pernyataan beliau 
bahwa "kearifan sejarah" adalah bagian dari pertumbuhan sebuah bangsa, dan kita 
perlu bicara dengan santai dan terbuka atas jalannya sejarah. 

Yang ingin saya komentari di sini adalah apa yang beliau percayai sebagai 
kenyataan sejarah bahwa Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) 
dibentuk oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno pada 1947. 
Gus Dur mengatakan bahwa pembentukan itu digerakkan oleh gairah untuk 
mempertahankan RI. "Kearifan sejarah" Gus Dur tentang DI/TII ini pernah pula 
ditulisnya di sebuah koran lain beberapa waktu yang lalu, dan sanggahan 
terhadapnya juga telah ditulis oleh seorang sejarawan. 

Bagi saya pribadi, isu ini juga bukan hal baru, karena ketika menjadi Panglima 
Siliwangi, saya harus meluruskan pernyataan Bung Tomo (tokoh perjuangan RI yang 
pernah menjadi salah satu anggota pucuk pimpinan TNI) yang meyakini bahwa 
"proklamasi negara Islam Indonesia Kartosuwiryo" itu bukan bersumber pada suatu 
ideologi, tetapi hanya karena adanya salah paham dan sengketa senjata antara 
sesama bangsa. Negara Islam itu, menurut Bung Tomo, hanya merupakan alat 
berkelahi semata-mata.

Dalam Himbauan yang diterbitkan oleh Bung Tomo pada 7 September 1977, yang 
ditujukan ke Jenderal Panggabean dan Laksamana Sudomo, dan juga dipublikasikan 
di media massa itu, disebutkan bahwa kedatangan kembali pasukan Siliwangi ke 
Jawa Barat setelah Clash II merupakan intervensi terhadap mission SM 
Kartosuwiryo dalam menghadapi Belanda. 

Mission tersebut, menurut Bung Tomo, diterima SMK langsung dari Jenderal 
Sudirman untuk melindungi kaum republikein. Bung Tomo mengatakan konflik 
Siliwangi dan DI/TII itu disebabkan oleh salah paham dan kurangnya komunikasi 
intensif.


Cita-cita NII Sejak Semula
Terhadap kolom Gus Dur di Sindo 18 Juni itu pertama yang harus dikoreksi adalah 
bahwa Persetujuan Renville (ditandatangani 17 Januari 1948) bukan dilakukan 
oleh Sutan Syahrir, melainkan oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Juga 
tentang Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (selanjutnya disingkat SMK) sebagai 
asisten militer dari Pangsar Sudirman saya ragukan. 
Ayah saya adalah Mayjen TNI R Muhammad Mangoendiprodjo yang menjabat anggota 
kabinet Pangsar (1946-1948). Daripadanya saya tidak pernah dengar bahwa tokoh 
itu duduk di markas besar AP. 

SMK ketika itu dikenal sebagai anggota parlemen (Komite Nasional Indonesia 
Pusat) dan merangkap komisaris Masyumi Jawa Barat. Ia memang penentang keras 
perundingan Linggajati (25 Maret 1947) dan Renville. Selebihnya, tanggapan saya 
ini kira-kira akan sama seperti yang saya tujukan kepada Bung Tomo tertanggal 9 
November 1977 tersebut. 

Kalau benar pembentukan DI/TII itu untuk mempertahankan RI seperti kata Gus Dur 
(atau melindungi kaum republikein seperti kata Bung Tomo), maka jelas SMK 
membangkang mission yang diembannya itu. 
Karena dalam kurun waktu antara Renville, Januari 1948 dan kegagalannya, 
Desember 1948 (Agresi Belanda ke-II), sampai pada KMB dan seterusnya, SMK 
konsisten dengan cita-cita negara Islamnya. Harap diingat, ketika 7 Agustus 
1949 Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan, sebenarnya pemerintah RI 
Yogya telah dipulihkan dan Soekarno-Hatta sudah kembali sebagai Presiden dan 
Wakil Presiden RI. 

Serangkaian konferensi, mulai di Cisayong (10 Februari 1948), Cipeundeuy (2 
Maret 1948), Cijoho (1 Mei 1948), SMK yang dijadikan imam umat Islam Indonesia, 
sudah mengusahakan pembentukan NII, memerintah pengumpulan senjata, membatalkan 
semua perundingan dengan Belanda, membentuk TII yang berintikan laskar 
Hizbullah dan Sabilillah. 

Pada 27 Agustus 1948 diresmikan Kanun Azasi (UUD) yang didalamnya dinyatakan 
bahwa NII berbentuk "Jumhuriah". Sehari setelah Belanda melancarkan agresinya 
yang kedua dan langsung menduduki Yogyakarta (19 Desember 1948), SMK 
mengumumkan "jihad fisabilillah" terhadap Belanda. Tapi bersamaan dengan itu 
juga menyatakan pasukan TNI/Siliwangi sebagai pasukan liar yang harus ditumpas.

Berlanjut sampai Belasan Tahun
Konflik antara TNI dan DI/TII bukanlah soal salah paham atau kurang intensifnya 
komunikasi. Ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, mereka menemui 
daerah Priangan sudah menjadi guerrilla invested area DI/TII. Sementara itu, 
Siliwangi harus membangun wilayah perlawanan (wehrkreise) TNI di tempat yang 
sama. 

Sebagai sesama pejuang, Siliwangi berusaha menjalin kerja sama dengan DI/TII, 
perselisihan antarkeduanya ditunda sampai urusan dengan Belanda selesai. 
Kontak-kontak dilakukan oleh utusan divisi. Ada pula oleh utusan brigade atau 
batalyon. 

Namun mendapat jawaban bahwa TNI di Jawa Barat harus di bawah komando TII. 
Mayor TNI Utarya, yang diutus divisi, dibunuh karena menolak mengakui 
kedaulatan DI/TII. Utusan lainnya, Lettu Aang Kunaefi, mendengar langsung 
jawaban SMK bahwa ia "tidak mengenal RI dan TNI, yang dikenal hanya Darul Islam 
dan tentara Belanda".

Setelah pengakuan kedaulatan dan permasalahan Indonesia dengan Belanda selesai, 
TNI memerangi DI/TII yang telah dinyatakan sebagai pemberontak operasi keamanan 
di Jawa Barat. Peperangan ini baru bisa diselesaikan setelah SKM menyerah pada 
4 Juni 1962. Selama 13 tahun pemerintah RI dan TNI harus berhadapan dengan 
DI/TII yang ingin mendirikan NII sebagai pengganti NKRI. 

Kita ingin tidak terjadi lagi intra-state conflict di Indonesia. Kalau ada 
perbenturan ideologi atau kepentingan di antara kita, apakah itu antara pusat 
dan daerah, antargolongan, atau karena ketidakadilan pembagian sumber daya, 
jangan lagi sampai diselesaikan dengan kekerasan senjata. 

Siliwangi sejak semula tidak ingin perbenturan kepentingan di antara anak 
negeri diselesaikan dengan kekerasan. Pendekatan baik-baik dilakukan terhadap 
DI/TII, termasuk ketika melancarkan operasi militernya, yang mengasihi rakyat, 
tidak menyakiti musuh yang tertawan, dan menghormati keluarga pihak lawan. 

Tapi bagaimana pun kita harus arif dan menyadari, bagaimana mungkin DI/TII 
dibentuk oleh Panglima Besar Sudirman dan Presiden Sukarno pada 1947 untuk 
mempertahankan RI dan melindungi kaum republikein. Faktanya, 1947 persetujuan 
Renville belum terjadi, berarti ketika itu Divisi Siliwangi masih di Jawa 
Barat. Faktanya, SMK sudah sejak semula ingin mendirikan NII, menggantikan 
NKRI. 

Penulis adalah purnawirawan Pati TNI, pernah memimpin kesatuan TNI memerangi 
DI/TII di Jawa Barat. Kini sedang menyelesaikan program pasca sarjana (S-3) 
sejarah di UI.
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to