http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=299905&kat_id=16

Jumat, 13 Juli 2007




Sekularisme bukan Solusi 
Oleh : 
M Hilaly Basya
Direktur Eksekutif Center for Moderate Muslim (CMM)


Modernisasi membuat umat Islam hidup dalam dilema, yaitu menjadi warga negara 
yang cenderung berpijak pada modernitas sekuler di satu sisi, dan tuntutan 
keimanan di lain sisi. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kesenjangan antara 
ajaran Islam dan modernitas. 

Hal ini disebabkan ajaran Islam merupakan kombinasi produk dari wahyu dan 
konstruksi pengetahuan beberapa abad lalu. Sedangkan modernitas adalah produk 
akal budi di masa kontemporer. Menurut Robert Audy, konflik terjadi ketika 
masyarakat berusaha menyeimbangkan komitmen keagamaan mereka dengan penalaran 
modern-sekuler (2003).

Pada dasarnya kesenjangan antara Islam dan modernitas terletak pada perbedaan 
parameter dalam mengukur dan menilai manusia dan Tuhannya. Bagi Islam, 
orientasi aktivitas manusia adalah untuk Tuhan. Sehingga kebaikan senantiasa 
dinilai dari seberapa besar kualitas ibadahnya kepada Tuhan. Hal ini mengandung 
pengertian bahwa amal kebaikan itu harus bernuansa penyembahan dan pengagungan 
kepada Tuhan. Pandangan seperti ini dapat ditemukan dalam hampir seluruh aliran 
teologi Islam, terutama Asy'ariyah.

Bahkan dalam pandangan politik pun para ulama menyatakan bahwa negara merupakan 
alat untuk menegakkan hukum Tuhan. Sebuah kitab yang sangat masyhur di kalangan 
Islam tradisionalis (penganut ahlus sunnah wal jama'ah dan mazhab Syafi'i), 
yaitu Al Ahkam As Sulthoniyyah, yang ditulis Imam A Mawardi, hingga ratusan 
tahun telah menjadi pedoman bagi umat Islam dalam membangun sistem politik. 
Mawardi menyatakan bahwa negara diciptakan untuk menopang agama. Karena itu 
bisa disimpulkan bahwa kedaulatan Tuhan berada di atas kedaulatan manusia.

Sangat berbeda
Dapat dibayangkan kesenjangan tersebut ketika dibandingkan dengan sistem 
politik modern, yang lebih menjunjung tinggi kedaulatan manusia ketimbang 
kedaulatan Tuhan. Tidak heran jika di masa awal perjalanan bangsa Indonesia 
terjadi perdebatan yang cukup panjang berkenaan dengan sistem politik 
Indonesia. Hal itu menggambarkan, dalam batas-batas tertentu, Islam di 
Indonesia mengalami kegagapan dalam berhadapan dengan modernitas.

Richard T Antoun, seorang pakar antropologi, dalam penelitiannya di Yordania 
dan beberapa negara Muslim Timur Tengah lainnya menemukan bahwa benturan antara 
agama dan modernitas itu disebabkan oleh kecenderungan modernitas menggeser dan 
menggantikan norma-norma yang sudah mengakar di masyarakat (2003). Salah 
satunya adalah 'efisiensi komersial' yang merepresentasikan nilai-nilai modern 
berhadapan dengan simpati manusiawi, yang merupakan ajaran hablum min an-nas 
dalam agama Islam.

Dalam pengalaman penelitiannya di tahun 1959, Antoun belajar mengaji secara 
intensif dengan seorang ustadz di sebuah desa, namanya Ustadz Lukman. Suatu 
ketika Antoun membuat janji untuk belajar dengan Ustadz Lukman di siang hari. 
Namun pada hari yang sama, tiba-tiba Antoun diajak oleh kepala desa untuk 
berkenalan dengan teman-temannya yang merupakan pejabat kepala desa lainnya. 

Antoun menerima ajakan tersebut dengan syarat siang hari mereka sudah kembali 
karena ia punya janji dengan ustadz Lukman. Namun yang terjadi ternyata di luar 
dugaan. Tuan rumah menyembelihkan kambing untuk mereka. Kepala desa itu meminta 
Antoun untuk menghormati tuan rumah dengan menunggu proses penyiapan dan 
menikmati hidangan masakan tersebut. Ternyata Antoun malah bersikeras untuk 
tetap pulang dan membuat kepala desa dan tuan rumah itu kecewa padanya.

Apa yang dilakukan Antoun merupakan representasi dari nilai-nilai modern, yaitu 
kedisiplinan terhadap waktu. Modernitas mengkondisikan setiap orang untuk 
menaati waktu yang telah tersusun sedemikian rupa, dan itu adalah prinsip 
efisiensi. Di sisi lain, tradisi yang sebagian besar juga berakar pada agama, 
meskipun juga sangat menghargai waktu sebagaimana sering ditafsirkan dari Surat 
Al 'Ashr, lebih menekankan pada hubungan kehangatan pada sesama.

Fenomena serupa ternyata tidak hanya Antoun temukan pada penduduk desa, 
melainkan juga pada masyarakat terpelajar. Seorang dosen yang merupakan 
sahabatnya di American University of Beirut, misalnya, merasa dikecewakan 
ketika ingin bertukar pikiran dengan Antoun. Antoun menolak lantaran hari itu 
agenda kegiatannya sangat padat. Lagi-lagi Antoun merepresentasikan nilai-nilai 
modern yang ia pegang teguh dalam kehidupannya. Bagi Antoun, modernitas semacam 
itu tidak menjadi masalah untuk diterapkan, karena salah satunya disebabkan ia 
lahir dari lingkungan yang berakar pada modernitas. Tetapi bagaimana dengan 
masyarakat lain yang justru hidup dengan nilai-nilai kehangatan relasi sosial 
di atas efisiensi?

Jadi bumerang
Sejatinya kegagapan dalam menghadapi modernitas itu tidak serta merta 
melazimkan untuk meminggirkan agama dalam kehidupan bangsa. Turki adalah salah 
satu contoh negara yang melakukan kekeliruan dalam menghadapi problem tersebut. 
Sekularisme yang diberlakukan Turki, tanpa disadari justru menciptakan kondisi 
yang tidak mendukung bagi modernisasi Turki. Peminggiran agama dari ruang 
politik dan publik bukanlah solusi yang tepat. Menurut Robert D Putnam, Ilmuwan 
politik dari Amerika, prestasi dalam memodernisasi sebuah bangsa sangat 
tergantung pada sumber daya lokal (1993). Dengan kata lain, nilai-nilai tradisi 
yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat harus dilibatkan dalam proses 
modernisasi tersebut. Karena itu, sekularisme justru menjadi bumerang bagi 
modernisasi.

Kita patut bangga, karena sejarah pergulatan umat Islam dengan modernitas di 
Indonesia cukup mengesankan. Bahkan, Indonesia dapat disebut sebagai teladan 
bagi bangsa Muslim lain dalam mendialogkan Islam dan modernitas. Menurut Bassam 
Tibi, Indonesia adalah sebuah tempat yang paling cocok untuk dialog antara 
peradaban Islam dan modern-Barat (2003: 124). Karakteristik Islam yang toleran 
ini, menurut Tibi, dapat menciptakan kondisi yang mendukung untuk kebangkitan 
Islam.


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to