KAMI MEMANG SUDAH BUKAN APA-APA LAGI :Buat saudara saya, para TKI yang menderita.
Karya: Mega Vristian kami memang tidak punya apa-apa lagi kecuali dua kaki dan tangan ini serta kepala yang masih seperti kepala siapa saja tapi jiwa kami masih ingin hidup sebagai manusia maka tak merunduk tidak berjongkok di hadapan kepapaan maka tak pernah kami sesalkan jadi tki -- pekerja rantau di terpa duka kami memang masih bernama indonesia berpaspor republik tapi ketiadaan membuat kami tinggal indonesia kertas ketiadaan menyingkirkan kami dari segala hitungan rencana negeri kami sudah bukan apa-apa lagi sembilan puluh delapan kami diancam kematian digantung entah berapa yang tewas diujung cambuk Tuhan nyawa kami masih saja bukan apa-apa lagi kami memang sudah bukan apa-apa lagi agama dan republik tak lagi mencatat siapapun tak sempat melirik ketiadaan sudah demikian dahsyat menjatuhkan kemanusiaan sudah demikian dahsyat memerosotkan membuat alpa partai-partai sibuk mengatur strategi menang para pejabat terlalu repot mengatur merebut saat maka siapa katakan negeri dan republik ini negeri demokratis maka siapa katakan negeri dan republik ini adil pencinta ham? ketiadaan adalah bangsa, tanahair dan negara kami di mana kami mulai menghitung menghargai diri sepakat bersatu dan bertekad menarung bumi ketika setiakawan tinggal setitik gula di cangkir kopi pagimu keadilan dan harkat seperti kertas usang ke tong dibuang kemudian esoknya diangkut tukang sampah ke pembakaran kami yang memang sudah bukan apa-apa lagi hanya bisa berhitung pada kaki dan tangan sendiri sambil menyerukan dengan sisa suara yang serak: "sebaiknya republik kita coba selamatkan!" "sebaiknya kita jangan menyerah menjadi manusia!" (Hongkong,1 april '200) ----------------- * Serangkai Melati Selaksa Doa Siti Tarwiyah dan Susmiyati, Kami tersentak mendengar kabar kalian meregang nyawa di Arab Saudi di bawah kangkangan serta kekejaman orang-orang berjubah kekuasaan dan kekayaan. Sementara Ruminih binti Surtim Suryani dan Tari binti Tarsim Dasman terkapar di rumah sakit. Duka, haru, marah, berdesak- desak menyesak dada. Kami berduka karena engkau adalah saudara senasib setanah air yang terpaksa berangkat mencari penghidupan di negeri orang, seperti kami di sini. Malang nian nasib kalian. Dirajam kepedihan lahir batin jauh dari tanah air. Saat negeri kita riuh gemuruh menjelang peringatan kemerdekaan, di negeri yang jauh kemerdekaan kalian justru dirampas-tumpas. Kalian melepas kemerdekaan itu dalam kesendirian di hadapan manusia-manusia kejam yang menjelma singa ganas mencabik-cabik mangsa nan lemah. Kami marah, karena pemerintah, selalu saja lambat bergerak dan lemah bereaksi setiap kali warganya menemui aniaya dan ajal di negeri orang. Pemerintah kita seperti tak sepenuh hati membela nasib rakyatnya. Kini, apa yang dilakukan pemerintah? Jasad kalian saja masih terkatung-katung di negeri orang. Padahal, karena ketidakbecusan pemerintah juga, kita terpaksa merantau ke luar negeri. Berbondong-bondong menjadi buruh migran karena di tanah air nyaris tidak ada ruang barang sedikit untuk mengubah nasib. Bagi pemerintah, Siti Tarwiyah binti Slamet Dimyati dan Susmiyati binti Mat Rabu bukanlah warga kelas satu yang keselamatan dan haknya menjadi prioritas. Keduanya cuma pemegang paspor Nomor AB 738697 dan AB 968412. Di mata birokrat yang angkuh, kita cuma data-data, bukan manusia bernyawa berjiwa. Lihatlah, berapa saudara kita yang menemui ajal di negeri orang? Belum lagi tahun 2007 berakhir, sebelum kalian, 114 buruh migran Indonesia menjadi mayat di luar negeri. Semua cuma jadi angka. Kematian warga kelas "sekian" tidak pernah menggerakkan kesadaran pemerintah untuk melihatnya sebagai tragedi dan menjadi cermin perbaikan perhatian agar tragedi tak terulang lagi. Kematian kalian justru mengingatkan kami untuk bangkit, bersatu, dan saling menguatkan. Nasib kalian mengingatkan kami untuk berdiri dengan kaki dan berjuang dengan tangan sendiri, karena pemerintah yang punya kuasa benar-benar jauh dari kita. Kami di sini menundukkan kepala, menghormat sedalam-dalamnya, untuk kalian. Selaksa doa kami panjatkan. Bagi kami, juga keluarga kalian di rumah, kalian adalah pahlawan. Syuhada yang melepas nyawa demi memperjuangkan nasib dan harkat keluarga. Kami rangkai melati bersama cinta dan doa untuk kalian. Kami taburkan di angkasa. Kami, saudara kalian, tidak akan meratap dan menangis. Kami melepas kalian dengan senyum. Karena kami sungguh percaya, kematian yang bersegera menjemput kalian adalah rindu surga untuk menampung para syuhada. Perjuangan dan pengorbanan adalah paspor kalian menuju surga! ( Mega Vristian, BMI HK anggota IMWU)