http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/06/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Ketua MA Merusak Tatanan Hukum [JAKARTA] Ketua Mahakamah Agung (MA) Bagir Manan dinilai telah merusak tatanan hukum yang sudah diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait pendapatnya yang membolehkan penuntut umum mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dalam menegakkan hukum yang adil dan benar. Hal tersebut dikatakan kuasa hukum Pollycarpus Budihari Priyanto, Mohamad Assegaf kepada SP di Jakarta, Rabu (5/9). "Statement Ketua MA tersebut sangat tidak tepat. Dia bukan pengamat hukum. Dia itu Ketua MA yang omongannya dipegang oleh jajaran hakim di bawahnya. Dia sendiri yang melarang para hakim untuk tidak berkomentar atas proses persidangan yang sedang berjalan. Tapi dia sendiri yang melanggarnya," kata Assegaf. Dia mengatakan pernyataan Ketua MA itu juga bertentangan dengan pendapat Humas MA, yakni Djoko Sarwoko, yang mengatakan rencana Kejagung mengajukan PK ke MA terhadap kasus Munir adalah suatu kejanggalan bagi hukum di Indonesia. Demikian juga dengan pendapat sejumlah pakar hukum, seperti Satriyo Mukantarjo dan M Yahya Harahap dan mantan Kapuspenkum Kejagung, I Wayan Pasek Suartha, yang menyatakan tidak ada lagi hak bagi jaksa untuk PK. Upaya PK hanya dapat diberikan kepada terdakwa. Menurut dia, kasus yang menimpa kliennya telah diputus sebelum persidangan digelar. Kliennya punya hak untuk mendapat keadilan dan tidak pernah ada institusi yang jadi korban. Upaya Luar Biasa Sebagaimana diketahui, dalam sambutannya pada Rapat Kerja Nasional MA di Makassar, Senin (3/9), Ketua MA Bagir Manan mengatakan pranata PK diadakan sebagai upaya luar biasa untuk mengoreksi putusan hakim atau majelis hakim yang secara nyata salah atau keliru, baik dalam penerapan hukum atau karena ada fakta baru yang tidak terungkap dalam persidangan, atau karena subjek yang keliru. Salah satu dasar pemeriksaan PK, karena ternyata putusan judex facti atau judex juris didasarkan pada fakta yang kemudian ternyata salah atau keliru atau tidak benar. Putusan semacam itu harus batal atau dapat dibatalkan karena tidak memiliki dasar fakta yang menjadi dasar pertama setiap perkara. Dalam keadaan seperti itu, anjut Bagir, semestinya PK tidak semata-mata sekadar hak terpidana, keluarga, atau ahli waris terpidana. "Menurut pendapat saya, Penuntut Umum wajib mengajukan PK sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dalam menegakkan hukum yang adil dan benar. Tanggung jawab Penuntut Umum tidak semata-mata menuntut untuk menghukum, melainkan harus termasuk menuntut untuk membebaskan dan mengembalikan kehormatan seseorang yang ternyata tidak bersalah walaupun perkara telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan telah dilaksanakan," paparnya. Dia mencontohkan kasus Sengkon di masa lalu yang nyata salah, seharusnya tidak perlu menunggu PK dari yang bersangkutan. Negara bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi, karena itu sudah semestinya Penuntut Umum yang mewakili negara diwajibkan melakukan tindakan mengoreksi kesalahan tersebut. Begitu pula kasus Gorontalo yang sedang dalam penelitian. Apabila ternyata dalam kasus Gorontalo, benar-benar telah terjadi kesalahan atau kekeliruan yang menyebabkan orang yang tidak bersalah dijatuhi dan menjalani pidana, sudah semestinya Penuntut Umum diperbolehkan mengajukan PK sebagai bentuk pertanggungjawaban negara. Demikian pula keadaan sebaliknya. Apabila kemudian ternyata berdasarkan bukti-bukti yang sangat nyata, orang yang dibebaskan ternyata bersalah, adalah bertentangan dengan hukum, kebenaran, dan keadilan, apabila orang yang bersangkutan dibiarkan bebas, semata-mata karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan putusan itu didasarkan pada fakta-fakta yang tidak benar pada saat yang bersangkutan diadili, demi hukum yang benar dan adil, dalam keadaan yang sangat nyata seperti itu, Penuntut Umum harus diperbolehkan mengajukan PK. Menutup kesempatan Penuntut Umum mengajukan PK dapat diartikan sebagai suatu bentuk obstruction of justice dan bertentangan dengan kebenaran dan rasa keadilan. Bagir menambahkan asas "Lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum yang tidak bersalah", tidak boleh diartikan sebagai membiarkan orang yang bersalah tidak perlu memikul tanggung jawab semata-mata pada saat diadili yang bersangkutan bebas atas dasar fakta yang salah atau tidak lengkap. [M-17] Last modified: 6/9/07