Refleksi: Maitnya ruang demokrasi kaum marginal berarti jayalah demokrasi kaum berada nan penguasa! Apa yang harus dikerjakan kaum marginal? Duduk berlipat tangan dan berdoa sambil menikmati kemelaratan dan maut berdendang diujung hidung?
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/07/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY Matinya Ruang Demokrasi Kaum Marginal Oleh Muhammadun AS Sudah 62 Indonesia merayakan alam kemerdekaan, namun selama itu pula kaum marginal selalu ditempatkan dalam posisi serbasalah. Di tengah embusan globalisasi yang penuh atraksi, saat kaum intelektual dan borjuis berpesta dengan kelebihan dan kecerdikannya, kaum marginal akan dianggap tidak kreatif, menjadi beban negara, bahkan hanya menambah stok sampah negara. Ketika kaum elite negara sibuk dengan praktik mengeruk harta kekayaan negara (korupsi, kolusi, dan nepotisme), kaum marginal dianggap tidak kritis karena membiarkan kaum elite bertindak seenaknya "membunuh" masa depan bangsa. Ketika para wali kota merancang tata kota yang indah dan permai, kaum marginal akan diusir dari berbagai tempat publik yang di-"klaim" milik pemerintah. Kaum marginal dianggap bodoh karena tidak mengetahui hukum status tanah kepemilikan negara. Dalam konteks kemerdekaan, ketika mereka berdemonstrasi memprotes kebijakan yang tidak populis, kaum marginal dianggap "bodoh", "tuli", tidak tahu aturan demokrasi. Demikian juga ketika mereka ramai-ramai mengutuk tindak kesewenang-wenangan pemerintah dan pengusaha dengan demonstrasi yang berakhir dengan bentrokan dengan aparat sehingga terjadi korban, kaum marginal kembali menjadi "tertuduh". Fenomena tersebut mengindiksikan kaum marginal selalu menjadi kambing hitam atas berbagai ketimpangan. Kaum marginal hanya dijadikan komoditas politik kaum elite. Ketika memutuskan kebijakan negara, kaum elite akan selalu meletakkan dasar utama kebijakannya hanya demi kemaslahatan orang miskin. Kata-kata kaum miskin akan selalu diulang-ulang di berbagai pernyataan, di sidang, rapat, bincang-bincang di televisi, di koran-koran, atau di berbagai acara publik lainnya. Menariknya kata-kata yang diulang-ulang itu malah di-"baptis" sebagai legitimasi dalam melanggengkan kekuasaan, baik oleh kroninya, bahkan oleh kaum marginal yang menjadi pengkhianat teman sendiri. Dalam posisi demikian, posisi kaum marginal dalam ruang publik terus diminimalisir, dieliminir, bahkan di-"matikan". Jurgen Habermas melihat fenomena ini sebagai kuatnya hegemoni struktural kaum elite. Dalam The Structural Transformation of The Public Sphere (1991), Habermas menjelaskan mayanya ruang publik dikarenakan adanya keseberangan kepentingan kaum borjuis, intelektual, dan publik itu sendiri. Ketiga kepentingan itu saling bertabrakan dan konsekuensinya akan menggunakan segala cara untuk memenangkan ruang publiknya. Kaum borjuis akan menggunakan hegemoni modal dan kapitalnya. Dengan kapital melimpah, mereka menyingkirkan siapa saja yang melawan syahwat kepentingan ekonominya. Mudah kita jumpai berdirinya berbagai mal di kota besar yang secara langsung menggusur pasar-pasar tradisional yang dikuasai kaum miskin (yang marginal). Kaum intelektual akan menggunakan nalar dan analitis kritisnya untuk melanggengkan dirinya sebagai penguasa mutlak dalam intelektualitas ruang publik. Hanya Budak Bagaimana dengan kaum publik sendiri yang banyak dihuni kaum marginal? Sudah tentu, kaum marginal hanya menggunakan nalar tipisnya, sehingga setiap perilaku tidak berguna, bahkan ibarat pagar makan tanaman. Kemenangan kaum borjuis dan intelektual dalam membangun hegemoninya di ruang publik menciptakan noda hitam ruang publik yang akut; yakni terciptanya ruang publik yang sempit, terbatas, dan sektarian. Christopher Lasch dalam The Minimal Self (1984) melihat bentuk minimalisme ruang publik. Dalam minimalisme, menurut Lasch, ruang publik tidak hanya dikooptasi secara politik, namun secara psikologis, sosiologis, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Di dalam kondisi minimalis berlangsung semacam penjajahan pengalaman oleh citra, sehingga minimalisme tidak hanya sebuah respons defensif terhadap bahaya, akan tetapi muncul transformasi sosial yang lebih fundamental. Di dalam kondisi minimalis, diri tidak lagi mengendalikan model kehidupannya, tetapi dikendalikan agen-agen luar yang mengeksploitasi berbagai bentuk kebutuhan, aspirasi, prestise, dan gaya hidupnya. Dengan demikian, kaum marginal sebagai pihak yang terjebak dalam kondisi minimalis hanya dijadikan "budak" kaum borjuis dan intelektual, yang setiap kehidupannya disetir dan dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat dan syahwat kepentingan kaum elite. Sadisnya, syahwat kaum elite yang menang di ruang publik selalu hadir di setiap saat. Selalu saja hadir produk kaum menang yang bahkan lebih kejam dibandingan pendahulunya. Siklus terus berganti, sementara kaum marginal yang selalu menjadi objek tidak pernah mendapatkan pembelaan. Kalaupun ada pembelaan dari lembaga swadaya masyarakat, sifatnya hanya sementara. Kaum marginal bahkan sering dijadikan, lagi-lagi, sebagai proyek besar mengeruk keuntungan dan keberuntungan. Di tengah kondisi demikian, masihkah kaum marginal mempunyai harapan berkiprah di ruang publik? Kalau memang masih ada harapan, bagaimanakah menyelamatkan ruang publik kaum marginal dari pelapukan, pengikisan, atau bahkan kematian? Sulit menjawabnya, karena kondisi setiap elemen bangsa sedang digerogoti budaya serbainstan, budaya materialis-hedonis, dan budaya kapitalistik-hegemonik. Namun demikian, tetap masih ada harapan. Pasti masih ada sebagian masyarakat yang relatif aman dari pengaruh pertarungan kepentingan, yakni ulama -kaum agamawan, pemuka masyarakat, dan mahasiswa. Kaum agamawan beserta tokoh masyarakat harus berani mengambil inisiatif penyelamatan bangsa dengan merangkul berbagai kalangan dari berbagai golongan, khususnya mahasiswa. Kombinasi kaum agamawan-mahasiswa dan sebagian kaum intelektual bersih untuk menyuarakan demokratisasi segala lini ruang publik akan mampu, setidaknya, meminimalisir berbagai penyelewengan dan keangkuhan para kaum elite pemenang. Agamawan-pemuka masyarakat dengan basis umat di bawah akan mampu membangun gerakan masif penyadaran ruang publik secara efektif sehingga memberikan dorongan besar bagi kaum mahasiswa dan intelektual yang bersih melakukan perubahan dan transformasi sosial secara masif pula. Kekuatan ketiga elemen tersebut akan menjadikan ruang publik kaum marginal setara dan sebanding dengan sesama, sehingga dengan kesetaraan tersebut tercipta kondisi masyarakat yang saling menyayangi, mengasihi, dan menolong antarsesama. Penulis adalah peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CeP DeS) Jakarta -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 6/9/07