REFLEKSI: Pencuri yang berani membeberkan barang curiannya di sepanjang jalan adalah bukan semparang pencuri, melainkan mereka yang mempunyai pendukung kuat nan raksasa di kalangan tinggi daerah mau pun di pusat kekuasan. Begitulah kenyataan negara kalau dipemerintah oleh tukang copet bin garong.
TEMPO Edisi. 29/XXXVI/10 - 16 September 2007 Kayu Curian Sepanjang Jalan KEPALA Kepolisian RI Jenderal Sutanto dan Menteri Kehutanan M.S. Kaban seharusnya lebih sering makan siang bersama-seperti pernah me reka lakukan dulu. Sambil bersantap, keduanya diharapkan lebih serius membahas topik lama yang kian urgen: pencurian kayu hutan secara besar-besaran. Ini masalah besar Republik yang pencegahannya menjadi tanggung jawab dua instansi pemerintah itu. Sangat disayangkan, selama ini aparat kepolisian dan kehutanan tidak selalu sejalan mengha dapi bandit-bandit pembalak liar. Dalam kasus Riau, ketika dalam delapan bulan terakhir ini polisi berperang melawan pembalak liar, perbedaan pandangan kedua pejabat tak bisa disembunyikan. Padahal, akibat dari kejahatan terhadap hutan sudah begitu mengerikan. Setiap 12 detik, menurut data Bank Dunia 2002, satu lapangan bola hutan tropis Indonesia lenyap. Saban tahun rimba seluas 40 kali wilayah Jakarta hilang dari peta. Negara rugi Rp 45 triliun per tahun. Indonesia juga menyandang gelar juara pertama "lomba" merusak hutan sedunia, dengan "melenyapkan" dua persen hutan tropisnya setiap tahun. Sangat ironis, dalam dua tahun pertama masa reformasi, yaitu 1998-2000, pembabatan liar mencapai puncaknya. Akibat buruknya bisa datang setiap saat. Banjir, longsor, susutnya air bersih, kerusakan ekologi, lingkungan hi dup, pancaroba cuaca, dan masih banyak lagi. Tapi bandit - bandit hutan sepertinya tidak terusik sedikit pun untuk berhenti menguras hutan. Mereka terlalu rakus dan tak bisa disadarkan dengan alasan beradab seperti pelestarian keanekaragaman hayati atau perlindungan terhadap spesies flora fauna yang langka. Di kepala sang cukong hanya duit dan duit serta duit. Semua alasan dipakai, termasuk yang terdengar agak masuk akal, misalnya rakyat miskin butuh makan dan karena itu rakyat menjarah hutan. Padahal, pernyataan begini hanya kamuflase untuk terus melalap hutan. Rakyat miskin butuh makan, tapi mereka tak punya kebutuhan merebahkan pohon-pohon besar jika tidak disokong penadah kayu curian. Tidak mungkin rakyat kecil mampu membeli alat-alat berat penebang pohon jika tak ada yang memodali me re ka. Rakyat kecil bisa hidup dari hutan yang dikelola baik. Tentu sudah sangat terlambat mengelola hutan dengan baik sekarang ini. Yang perlu dilakukan saat ini hanyalah menahan derasnya arus kepunahan hutan kita. Ini perlu agar sekian generasi yang kelak lahir di negeri ini tidak hanya melihat hutan tropis di buku-buku sejarah, di foto-foto, atau malah di museum. Misi yang begini berat tak bisa jalan jika aparat hukum bergerak meng ikuti pesan "sponsor"-nya. Kepala Polri dan Menteri Kehutanan, juga tim gabungan pena nganan illegal logging-atau entah tim apa lagi nanti-hendaknya menyama kan "gelom bang". Perang melawan pembalak liar ha rus dilakukan untuk menye lamatkan hutan dan lingkungan. Sebab, menyelamatkan hutan dan lingkungan pada dasarnya adalah menyelamatkan kehidupan manusia. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menyelamatkan industri perkayuan. Menteri Perindustrian menga takan, pe nanganan illegal logging yang berkepanjangan di Riau membuat industri pulp and paper merugi hampir Rp 2 triliun. Industri perkayuan, juga pabrik bubur kertas, semesti nya tidak perlu merugi terlalu banyak-sepanjang mereka ha nya mengelola hutan kawasan industri di wilayah kerjanya. Yang bisa merugikan adalah kalau pengelola industri bermain mata dengan penadah kayu curian atau malah memodali pembalak liar. Polisi bisa menyita kayu curian mereka dan kegiatan pabrik bisa tersedot untuk urusan pemeriksaan aparat hukum dan bahkan pengadilan. Ketimbang terus berkutat dalam siklus ketidakpastian, harus ada langkah drastis. Di daerah kritis, misalnya Riau, disarankan semua hak pengusahaan hutan dicabut. Yang boleh dikelola hanyalah hutan tanaman industri. Dengan mencabut hak pengusahaan hutan, tak ada lagi penebang an hutan-baik itu berdasar dokumen resmi maupun "tak resmi". Dengan kebijakan tak ada penebangan, setiap kegiatan menumbangkan pohon adalah perbuatan terlarang. Aparat lebih mudah mengawasinya, apalagi tersedia teknologi pemantauan lewat satelit sekarang ini. Ekonomi rakyat tidak akan terganggu. Bersamaan de ngan pelarangan penebangan hutan, pemerintah perlu cepat-cepat melansir program reboisasi di hutan yang sudah koyak-moyak itu. Lapangan kerja tersedia, rakyat pun bisa hidup dari sistem pertanian "tumpang sari" di wilayah reboisasi. Yang diperlukan hanyalah ketegasan sikap pemerintah dalam menjalankannya. Satu sikap yang sama merupakan modal penting. Kalau sikap tunggal tak ada, para petinggi sibuk berperang kata-kata, sementara penebangan hutan jalan terus. Artinya, bencana mengintai kita semua, tinggal tunggu tanggal mainnya. Jadi, untuk menyelamatkan hutan dan Indonesia, kapan Jenderal Sutanto dan Menteri Kaban makan siang bersama lagi....