GALAMEDIA
SABTU, 15 SEPTEMBER 2007

      Merusak atas Nama Agama  
     
SEHARI menjelang tibanya bulan Ramadan, bulan yang disucikan umat Islam, noda 
terpercik di Kampung Kereteg, Kel. Cigantang, Kec. Mangkubumi, Kota 
Tasikmalaya. Di wilayah yang sering disebut Kota Santri itu, tindak kekerasan 
terjadi. Sebuah tempat ibadah dibakar dan sejumlah rumah dirusak. Warga 
setempat sangat ketakutan.

Pelakunya disebut-sebut sebagai massa tidak dikenal. Karena mereka menggunakan 
penutup muka seperti dalam film-film jagoan ninja. Serangan yang dilakukan 
hampir tengah malam tersebut begitu cepat dan terarah. Dalam waktu singkat 
kerusakan pun terjadi.

Meskipun massa penyerang tidak diketahui, namun menilik sasaran perusakan, kita 
selintas bisa membuat perkiraan-perkiraan. Korban serangan adalah Jemaah 
Wahidiyah. Yaitu sebuah komunitas yang dalam beberapa waktu belakangan ini 
ramai diprotes keberadaannya oleh sebagian masyarakat. Bahkan ada yang 
menyebutnya sebagai aliran sesat. 

Kita tidak hendak menguji atau membahas masalah sesat tidaknya aliran tersebut. 
Kita juga tidak akan berdiskusi mengenai persoalan fikih beserta amalan-amalan 
yang mereka anut. Karena memang bukan tempatnya hal itu dibicarakan di sini. 
Pembicaraan masalah-masalah tersebut membutuhkan kompetensi tersendiri.

Hal yang ingin kita diskusikan di sini adalah kekerasan dan perusakan pada 
sekelompok orang, yang dipicu perbedaan pemahaman agama. Ini bukan kejadian 
yang pertama di wilayah Jawa Barat. Lebih khusus lagi di wilayah Tasikmalaya. 
Dari masa ke masa, insiden seperti ini selalu saja terjadi. 

Barangkali sudah menjadi kebiasaan buruk pada masyarakat kita, gemar menghukum 
orang lain hanya karena perbedaan pendapat. Pada masalah yang menyangkut agama, 
hukuman itu bisa lebih berat lagi. Antara lain berupa sebutan sesat atau kafir. 
Padahal yang menghukum dan dihukum itu sama-sama orang Islam, yang bertuhankan 
Allah SWT. 

Biasanya, pihak yang menjatuhkan hukuman dalam kasus serupa itu, selalu merasa 
dirinya paling benar dibanding siapa pun. Karenanya pula, mereka merasa berhak 
untuk menentukan orang lain itu sesat atau tidak. Seolah-olah penentuan surga 
dan neraka ada dalam genggamannya.

Tidakkah lebih baik jika kita menyikapi perbedaan pandangan dan pemahaman itu 
dengan kepala dingin? Bukan dengan cara memutuskan silaturahmi sesama muslim 
sehingga mereka yang dituduh sesat harus mengungsi ke tempat lain? Bagi pihak 
yang berbeda pendapat dengan pemahaman mayoritas, seolah tidak punya hak hidup 
dengan tenang.

Mungkin kita harus banyak belajar lagi sebagai sebuah masyarakat yang majemuk. 
Bahwa di tengah kaum muslimin pun begitu kaya dengan keragaman pemahaman atas 
agamanya. Tidak mungkin dan tidak ada pihak mana pun yang diberi wewenang untuk 
menyeragamkan pemahaman itu. Maka yang kita butuhkan adalah sikap toleransi 
sesama pemeluk Islam. 

Ada baiknya kita renungkan nasihat yang dikemukakan seorang cendekiawan Islam. 
Dalam beragama, katanya, marilah kita bersepakat dalam hal-hal yang qoth'i 
(jelas dan pasti) dan saling menghormati pada hal-hal yang dzonni (belum jelas 
dan belum pasti).

Kepada pihak kepolisian, diharapkan sungguh-sungguh menyelidiki kasus 
penyerangan dan perusakan ini. Sebab perbuatan itu jelas-jelas tindakan 
kriminal yang harus mendapat ganjaran sesuai aturan hukum. ** 

Kirim email ke