GALAMEDIA SELASA, 11 SEPTEMBER 2007
"Lari" dari Rumah Setelah Orangtua Bercerai (1) Setahun Aku Hidup Sengsara Mencari Ibu BAGAIMANA pedih dan sengsaranya ketika aku "lari" dari rumah dan hidup sebatang kara di daerah orang. Tujuanku hanya mencari keberadaan ibu dan kakakku yang minggat setelah diceraikan bapakku. Lebih lengkapnya simak cerita pilu gadis belasan tahun ini. Kisah ini ditulis oleh Engkos Kosasih (wartawan HU "Galamedia"). JIKA orang melihat penampilanku secara sepintas, mungkin mereka akan menduga aku ini masih gadis. Buktinya banyak ibu rumah tangga dan remaja pria terkecoh dengan penampilanku dan menyebutku masih perawan tingting. Padahal sebutan itu kedengarannya sangat menyakitkan dan tojaiyah dengan kenyataan hi dupku yang sesungguhnya. Orang tidak akan percaya kalau aku ini sudah bukan lagi perawan atau gadis. Bahkan sebenarnya aku mempunyai empat anak. Mungkin aku sedikit pandai merawat tubuhku sehingga terlihat sintal, meski sekarang aku sedang hamil lagi. Aku memang ibu muda karena usiaku saat menikah berusia 17 tahun. Sebenarnya aku dilahirkan dari keluarga yang tingkat ekonominya cukup lu mayan. Ayahku seorang pegawai Telkom dan punya jabatan. Sekarang ia sudah pensiun. Dulu semasa ayahku muda dan masih aktif, hidupku sangat dimanja. Segala kebutuhan hidup terpenuhi. Namun, di balik itu semua memang ada yang kurang dalam hidupku. Ayah dengan ibuku entah gara-gara apa bercerai. Ayah tinggal di Kepulauan Riau dan menikah lagi, sementara ibuku minggat ke Kota Bandung bersama kakak laki-lakiku. Meski aku saat itu banyak uang, namun tidak membuatku bahagia. Rumah bagiku ibarat neraka yang tidak pernah memberikan kenyamanan. Pada usia 16 tahun, aku pun nekat meninggalkan rumah dengan harapan bisa bertemu ibu. Kota yang dituju adalah Kota Bandung. Karena, aku mendapat kabar ibu lari ke Kota Bandung. Setahun lamanya aku tinggal di rumah kos seorang diri, tanpa saudara dan kerabat. Selama itulah aku hidup terlunta-lunta karena tidak bekerja. Un tuk mempertahankan hidup, aku hanya mengandalkan belas kasihan dari teman-teman atau sedikit uang kiriman dari ayahku. Sakit rasanya saat itu, namun aku tetap tegar dan tabah. Dalam keputusasaan, aku tak henti-hentinya mencari keberadaan ibuku. Namun, usahaku selalu gagal. Aku benar-benar frustrasi dan pikiranku sudah tidak jernih lagi. Segala ke inginan dan tindakanku saat itu jadi tidak rasional. Ingin rasanya aku bunuh diri dan menganggap hidup ini sudah tidak berarti lagi. Bahkan, aku menu ding Tuhan itu tidak adil. Padahal ketika itu dalam segala doaku tidak me minta yang lebih. Aku hanya ingin bertemu dengan ibu dan kakakku saja. Ma sya Allah, aku berdosa sudah suuzan. Malaikat penyelamat Dalam ketidakberdayaan, aku sepenuhnya menyerahkan diri kepada Tuhan dan memohon ampun karena aku telah menuduh Tuhan tidak adil dan tidak mau mengabulkan doaku. Rupanya doaku semalaman dengan mengurus air mata penyesalan didengar Tuhan. Keesokan harinya, aku seperti mendapatkan energi lebih. Aku benar-benar bahagia. Padahal sebelumnya, aku belum pernah merasakan perasaan seperti itu. Terima kasih Tuhan, ternyata Engkau telah membukakan mata hatiku yang selama ini buta. Beberapa jam setelah aku bangun tidur, tiba-tiba pintu kamar kosanku ada yang mengetuk sambil memanggil namaku, "El.....El, udah bangun?" Kenapa temanku memanggilku El, sebab nama lengkapku Elsa. Aku pun membukakan pintu, ternyata yang datang Marni, sohib-ku bersama seorang lelaki yang usianya tidak jauh berbeda denganku. Saat itu aku pikir lelaki itu pacarnya Marni. Marni bersama teman lelakinya, aku persilakan masuk. Kami bertiga pun terlibat perbincangan sambil duduk di lantai beralaskan karpet yang sudah dekil dan robek. "O iya El, ini temanku, namanya Rudi. Katanya ia ingin berkenalan denganmu," kata Marni. Mendengar ucapan Marni, aku jadi grogi dan tidak percaya. Masa iya sih ada cowok yang mau berkenalan denganku? Aku sebelumnya tidak pernah mengenal laki-laki. Sebab dalam kamus hidupku, yang aku kenal hanya kesengsaraan dan kesedihan saja. Aku hanya bisa menganggukan kepala saja sambil menunduk ketika Marni ngomong. "Namaku Rudi, temannya Marni," kata pria yang baru aku lihat itu sambil mengajak bersalaman. Aku tetap saja membisu sambil menjabat tangannya. "Marni sudah sering cerita banyak tentang kamu," katanya lagi. Kami akhirnya saling mengenalkan diri masing-masing. Aku seperti memiliki napas kehidupan baru, meski baru mengenal Rudi. Dalam pandanganku, Rudi tipe pria yang bertanggung jawab. Bahkan yang membuat hatiku lega dan berbunga-bunga, Rudi begitu memahami keadaanku apa adanya. Sejak pertemuan pertama, hubunganku dengan Rudi semakin dekat saja. Rudi sering datang ke tempat kosku dengan penuh perhatian. Singkat cerita, Rudi pun ingin menjalin hubungan denganku, tidak lagi sekadar teman. Rudi siap lahir dan batin untuk mendampingi hidupku. Bagiku, niat baik Rudi itu merupakan satu anugerah. Sosok Rudi bagaikan malaikat penyelamat hidupku. (bersambung)**