http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=142816
Selasa, 18 September 2007 SBY Tegur Gubernur Bengkulu Merasa Disuguhi Data Tak Valid Bengkulu,- Raut muka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung berubah begitu mendengar paparan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamudin seputar musibah yang terjadi di provinsinya. Tujuh kali SBY harus menginterupsi paparan gubernur karena data yang ditampilkan dianggap kurang akurat. Rombongan SBY kemarin datang ke Bengkulu untuk meninjau dari dekat lokasi gempa dan perkembangan terakhir penanganan para korban. Presiden yang didampingi Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri mendarat di Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu, sekitar pukul 08.40. Begitu tiba, SBY langsung menuju Posko Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) di halaman Kantor Gubernur Bengkulu. Di sinilah suasana tak enak bermula. Agusrin yang baru tiga hari berada di Bengkulu -setelah pulang dari Amerika Serikat- langsung memberikan paparan kepada SBY mengenai situasi pascagempa 12 September lalu. Menurut Agusrin, gempa berkekuatan 7,9 SR, 12 September lalu, menyebabkan 14 orang meninggal, 12 luka berat, dan 26 luka ringan. ''Kalau dilihat dari jumlah korban, memang sedikit. Sepertinya tidak terlalu dahsyat gempa ini. Tapi kalau dilihat dari kerusakan yang terjadi, memang seperti aneh,'' katanya. Dia mengklaim, minimalnya korban itu disebabkan sosialisasi yang telah jauh-jauh hari dilakukan pihaknya kepada masyarakat tentang cara penyelamatan dari gempa. Kebetulan, kata Agusrin, gempa terjadi sore hari sehingga masyarakat cepat keluar dari rumah. Jumlah rumah yang rusak sangat banyak, mencapai 27.600. Rinciannya, 7.839 rusak total, 6.801 rusak berat, dan 13 ribu rusak ringan. Sekolah yang rusak mencapai 885. Sedangkan kantor yang rusak 300. Dan masih banyak kerusakan lain yang dirinci Agusrin. Inilah interupsi pertama SBY kepada Agusrin. ''Ini data apa, sudah diverifikasi atau belum?'' tanya SBY dengan nada tegas. ''Ini data awal dari bupati,'' jawabnya. Agusrin memaparkan, kerusakan terparah terutama di Mukomuko dan Bengkulu Utara. ''Meski demikian, kerugian belum bisa dikalkulasi,'' jelas ketua DPD I Partai Demokrat Bengkulu itu. Menurut dia, sebagian masyarakat, terutama anak-anak, masih trauma dan tidak mau tinggal di rumah. Ini menyebabkan kebutuhan tenda dan selimut sangat besar. Begitu juga dengan pakaian. Agusrin menyebut, kebutuhan pakaian dan selimut mencapai 83 ribu. Kembali SBY menyela. ''Kalau kebutuhan pakaian 83 ribu, asumsinya pakaian mereka sudah tidak ada lagi. Apakah selimut yang 83 ribu itu dihitung jumlah rumah korban dikalikan sekian penghuninya? Apakah ini jumlahnya atau memang dilihat yang dibutuhkan di lapangan?'' tanya SBY. Agusrin mulai gelagapan. ''Tentu tidak. Kita melihat apa yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Ini sesuai dengan permintaan para bupati. Dan mana yang paling urgen kita lihat untuk disuplai,'' jelasnya. Saat Agusrin menyebut kebutuhan tenda regu untuk sekolah mencapai 6.000 unit lebih, SBY kembali menginterupsi. ''Pengalaman di Aceh, Jogja, kebutuhan tenda regu sekitar 600. Kalau seperti ini datanya tidak valid, susah,'' kata SBY. Kepada presiden, Agusrin yang tampak pucat itu berjanji akan memverifikasi data yang ada. ''Ini hanya data yang sekadar diajukan. Tentu tidak semuanya. Kalau memang berdasar hasil verifikasi tidak mungkin terpenuhi, kami tidak akan memenuhi,'' ujarnya. Agusrin juga mengeluh kesulitan mengidentifikasi dan membagi sembako. Ini karena sejumlah pejabat di tingkat kecamatan dan desa juga ikut mengungsi. ''Di Mukomuko, termasuk bupati dan camat ikut mengungsi karena situasinya sangat menakutkan,'' terangnya. Selain itu, medan yang sangat berat dan sulit terjangkau serta keterbatasan jalan darat yang cukup panjang membuat suplai bantuan terlambat. Tidak Tidur Tujuh Malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua pemimpin, baik di level gubernur hingga kepala desa di Bengkulu, turun ke lapangan. "Saya tidak bisa menerima alasan, justru pada saat genting, pemimpin tidak menjalankan tugas kepemimpinannya," kata SBY dalam sambutannya di Posko Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) di halaman Kantor Gubernur Bengkulu kemarin. Pernyataan SBY tersebut sekaligus menyindir Agusrin yang saat gempa terjadi berada di Amerika Serikat (AS). Gubernur yang dicalonkan PKS itu berada di AS sejak 23 Agustus dan dijadwalkan pulang 25 September. Begitu gempa melanda Bengkulu, Agusrin pulang lebih awal dan tiba di Bengkulu pada 14 September. Selain itu, SBY menyindir Bupati Mentawai Edison Saleleubaja yang sampai saat ini masih berada di Jakarta karena libur awal puasa. Padahal, pada rapat kabinet terbatas di Halim Perdanakusuma 13 September lalu SBY sudah mengimbau semua kepala daerah yang berada di luar kota maupun luar negeri agar segera pulang untuk memimpin kegiatan tanggap darurat. Menurut SBY, semua pemimpin harus berada di lapangan, mengambil risiko, dan memberikan instruksi kepada bawahan. "Kalau pemimpinnya tidak ada, tidak mau ambil risiko, itu bukan pemimpin. Ini sangat mendasar," terang SBY. SBY juga tidak bisa menerima alasan Agusrin tentang terhambatnya distribusi bantuan akibat camat dan kades mengungsi. "Sambil mengungsi tetap bisa berikan perintah. Sambil mengungsi, misalnya ada tsunami, bukan berarti pekerjaan pemimpin tidak dijalankan," kata SBY. "Kalau perlu, jadi pemimpin tujuh malam tidak tidur," sambung SBY. Mengenai kekurangan di berbagai hal, kata SBY, sebenarnya bisa ditoleransi. Negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan sebagainya saat menangani bencana juga menghadapi banyak kesulitan. "Saya mengecek tadi supaya yang memerlukan betul-betul menerima bantuan," ujarnya. SBY menginginkan tidak ada satu pun warga Bengkulu yang butuh bantuan, tetapi tidak mendapatkan. "Tapi, tentu semua ada logikanya, ada datanya, dilakukan pengecekan. Jangan dalam keadaan seperti ini, yang ditulis atau yang dihitung (data) tidak masuk akal. Kita juga harus akuntabel di situ. Sekali lagi, dasar saya pengalaman tiga tahun. Jadi ini penting," tegas SBY. Dia mengatakan, saat gempa di Nabire, juga tidur di tenda dan merasakan gempa. Begitu pula saat tsunami di Aceh dan Nias. "Ini saya lakukan agar keputusan yang saya ambil tepat. Kalau saya saja ada di lapangan, jangan sampai yang lain mengungsi," tandas SBY. (tom)
<<gempBKLU-f.jpg>>