http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/28/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY -------------------------------------------------------------------------------- Mau ke Mana Pendidikan Kita? Oleh Paulus Mujiran Setiap tahun polemik ujian nasional (UN) menyita banyak energi dan perhatian. Persoalan kesejahteraan guru, perbaikan gedung sekolah, pembiayaan pendidikan selalu menyita perhatian banyak pihak ketimbang substansi permasalahan pendidikan sendiri. Pertanyaan yang harus dijawab secara mendasar, mau dibawa ke mana pendidikan kita dewasa ini? Tidak kalah memiriskan, meski di mana-mana ada kebijakan dana bantuan operasional sekolah (BOS), namun pungutan uang sekolah yang makin lama makin mahal menjadi keluhan tidak berujung. Jika dulu sekolah beralasan pungutan dilakukan untuk menutup biaya operasional sekolah, kini ketika sudah ada dana BOS pungutan tetap saja dilakukan dengan dalih buku paket atau ekstrakurikuler. Sekolah dan guru memang tidak kalah kreatifnya dalam menarik pungutan-pungutan dari siswa dan orangtua. Banyak pihak berpendapat jika anggaran pendidikan disediakan 20 persen dari APBN pendidikan akan membaik dengan sendirinya. Namun yang menjadi masalah mental korup masih dijumpai di mana-mana termasuk lembaga pendidikan. Bahkan kadang korupsi dalam pendidikan dikemas amat rapi sehingga tidak terbaca pihak lain. Masalahnya pendidikan masih menjadi ajang yang memungkinkan berbagai pihak mencari keuntungan. Terhadap UN misalnya, pemerintah selalu mengatakan penyelenggaraan model itu sudah mengadopsi negara-negara maju. Yang dilupakan, di negara-negara tetangga kita pendidikan menyebar cukup merata sehingga standardisasi yang bersifat nasional mudah diterapkan. Bandingkan dengan Indonesia, sarana-prasarana, guru, laboratorium, pelaksanaan kurikulum, SDM guru masih timpang. Meski anak Jakarta belajar di ruang-ruang berpendingin, banyak anak daerah bersekolah di sekolah tanpa dinding, tanpa atap, dan akses informasi amat terbatas. Pendidikan kita yang belum merata tidak layak dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Kebingungan Jika di masa lalu visi besar pendidikan telah berakar pada era Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya, mengapa justru di era modernisasi dengan kecanggihan teknologi sepertinya kita kehilangan orientasi pendidikan? Tokoh-tokoh pendidikan pejuang kita mampu merumuskan visi kemerdekaan dan mengusir penjajah, mengapa di era kemerdekaan ini kita justru kehilangan orientasi? Kita bingung dan linglung. Masalah pendidikan diselesaikan tambal sulam. Kita kehilangan pegangan untuk melangkah. Akibatnya, pendidikan dikelola berdasarkan insting saja. Pada awal abad silam, Ki Hadjar menyatakan anak-anak Indonesia harus dididik dalam suatu sistem pendidikan yang berakar pada kebudayaan sendiri, bukan pendidikan yang berakar pada kebudayaan Belanda. Maka pandangan yang membandingkan pendidikan kita dengan pendidikan negara tetangga, relevan dipertanyakan visinya terhadap kebangsaan dan kerakyatan. Pendidikan Indonesia mesti dikelola dengan cita rasa Indonesia, kekayaan bangsa, dan budaya Indonesia. Itulah sebabnya kita amat bingung dengan pendidikan sendiri. Kebingungan berawal karena kita tidak menempatkan reformasi pendidikan dalam kaki sendiri. Kebudayaan sendiri yang adiluhung cenderung diabaikan dan kita menyerah kalah pada globalisasi. Akibatnya tuntutan global kita adopsi habis-habisan, nilai lokal seperti kesantunan, gotong-royong cenderung di-abaikan. Penghambaan pada globalisasi juga menyebabkan cita rasa dan kecintaan pada budaya sendiri memudar. Sayangnya, anak didik kini merasa tidak perlu dan berkepentingan dalam melestarikan budaya bangsa. Persoalan mendasar ada pada kurikulum tambal sulam. Kebijakan tambal sulam lekat dengan analogi ganti menteri ganti kebijakan. Akibatnya pendidikan nasional tidak pernah mempunyai visi politik yang jelas. Tidak ada grand design yang mampu menjelaskan pendidikan kita di masa depan dan langkah yang perlu dipersiapkan untuk menghadapinya. Kesalahan fatal mengapa dalam UU Sisdiknas ditulis besaran persentase 20 persen. Lantas siapa pun yang duduk sebagai presiden tidak pernah bisa memenuhi anggaran 20 persen. Dengan kata lain kalau presiden gagal memenuhi anggaran 20 persen lantas bisa dimakzulkan? Padahal, dalam pendidikan mestinya ada rencana jangka panjang yang bisa diterapkan siapa pun yang duduk sebagai menteri pendidikan. Tragisnya, semua menteri merasa perlu membarui kurikulum, menambah kebijakan baru yang akibatnya justru tidak ada kesinambungan dengan program-program sebelumnya. Visi Besar Secara latah praktik UN mencoba mengadopsi secara sepihak tuntutan modernisasi namun lupa membangun etika budaya sebagai manusia yang cinta bangsa dan tanah air. Jika anak didik hanya memperdalam matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris -karena mata ajaran itu yang diujikan dalam ujian nasional-, maka tidak ada keseriusan anak didik mempelajari pendidikan moral, agama, budi pekerti, sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan kejuangan karena tidak pernah akan diujikan dan menentukan kelulusan. Kelulusan hanya dilihat sejauh mana anak didik bisa mengerjakan ketiga mata pelajaran itu tidak peduli kelakuan di rumah, di sekolah, tidak peduli kalau Jumat ke masjid atau Minggu ke gereja, yang penting bisa mengerjakan soal. Kelatahan itu terjadi karena tidak ada visi besar yang mengerangkai pendidikan kita di masa depan. Bahasa Indonesia, Inggris dan matematika dipilih karena pada saat ini pasar luar negeri dan perusahaan berskala besar tengah membutuhkan tenaga-tenaga itu. Akar persoalan kebingungan pendidikan kita adalah kebingungan politik. Kebingungan politik merupakan masalah hilir, sumbernya adalah kebingungan kultural. Intinya kita harus berani memutuskan akan menjadi bangsa yang bagaimana? Kita akan membentuk negara dan masyarakat yang bagaimana? Jika sudah memutuskan, kita akan mengambil sikap tertentu dan melakukan langkah-langkah programatik menuju sasaran yang hendak kita capai di masa depan. Karena itu, pengambil kebijakan bidang pendidikan mulai dari presiden, wakil rakyat dan petinggi-petinggi Depdiknas perlu menyadari urgensi visi ke depan ini. Kebijakan diambil bukan sekadar menyenangkan pihak-pihak tertentu, melainkan menyelamatkan bangsa dan negara ini di masa yang akan datang. Kemerdekaan bangsa yang telah diraih pahlawan dengan mencurahkan darah ini harus diisi dengan semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme. Menentukan ingin menjadi bangsa yang bagaimana dan ingin menegakkan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang bagaimana, bukanlah sesuatu yang didiktekan oleh para pengambil kebijakan, terutama para politisi. Jika pendidikan ditentukan arahnya semau angin kekuasaan, kita akan mengorbankan generasi anak-anak kita. Selama pendidikan kita masih bingung seperti sekarang ini, kita akan terus menjadi bagian dari polemik berkepanjangan yang bernama UN, anggaran pendidikan, kesejahteraan guru, kurikulum. Polemik-polemik itu sejatinya hanya merupakan fenomena gunung es yang bisa menjelaskan masalah pendidikan secara keseluruhan. Saatnya pendidikan memiliki wajah sendiri, bukan wajah politik yang kusam dan penuh noda. Era transparansi sebagai buah reformasi belakangan ini sejatinya menjadi momen yang tepat. Depdiknas tidak perlu alergi terhadap kritik yang membangun. Sekaranglah saatnya, ketika pemerintah melalui Presiden Yudhoyono hendak mencanangkan revitalisasi pendidikan. Sekali lagi pendidikan bukan ajang eksperimen untuk mengorbankan anak didik. Masa depan bangsa adalah tanggung jawab semua komponen bangsa. Sekali kita salah langkah, masa depan bangsa akan dikorbankan. Tegasnya, rumuskan visi yang tegas pendidikan dan bangsa ini akan benar dalam melangkah! Penulis adalah pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 27/9/07