http://www.gatra.com/artikel.php?id=108767
Judi Pembawa Cum Laude Ulama menentang judi, pendeta dan pastur pun menolaknya. Perjudian dilihat sebagai penyakit sosial yang terlarang menurut kaidah agama samawi. Hukum Indonesia tegas pula menyatakan judi sebagai tindak pidana. Namun, karena telanjur jadi bagian dari pranata sosial, ia sulit diberantas. Perjudian berlangsung sembunyi-sembunyi (ilegal), dan sering diselenggarakan atas persetujuan dan sepengetahuan fihak berwenang. Perjudian tidak cuma dipandang sebagai penyakit sosial. Ia pun tergolong tindak pidana menurut lima undang-undang (UU), termasuk di antaranya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Ia dianggap pembawa penyakit ekonomi pula. Judi diyakini sebagai sumber penyebab (predicate offence) maraknya tindak pidana pencucian uang, seperti disebut dalam UU Nomor 25 Tahun 2003. Lantas, apa pula implikasi hukum penetapan perjudian sebagai predicate offence tadi terhadap pencegahan pidana pencucian uang di Indonesia? Dan apa pula implikasinya kepada pendapatan negara? Kajian masalah itu, termasuk di dalamnya kebijakan hukum pidana dalam menghadapi perjudian, menjadi materi pokok disertasi M. Aziz Syamsuddin di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Dalam sidang terbuka 14 September lalu di Bandung, M. Aziz, 37 tahun, mantan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, yang kini menjabat sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar, dinyatakan lulus. Ia meraih predikat cum laude. Desertasinya sendiri berjudul "Kegiatan Perjudian Sebagai Predicate Offence Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia". Dalam meneropong kasus pasal judi ini, anggota Komisi III DPR itu menggunakan prinsip hukum utilitarianisme, yang antara lain menyebutkan usaha legislasi itu ditujukan bagi emansipasi individu dari kekangan konstitusional serta ketidakadilan, dan kekuasaan harus mengabdi pada kepentingan khalayak. Adanya negara dan hukum hanya demi manfaat sejati, yakni kebahagiaan rakyat. Berangkat dari azas utilitarianisme itu, Azis mempertanyakan manfaat UU Perjudian yang disebutkan tak lagi sejalan dengan semangat pluralisme, transparansi, supremasi hukum, dan demokratisasi yang saat ini sedang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pada hemat kader partai beringin itu, ada ketertinggalan pandangan (paradigma) atas masalah perjudian. Pasalnya, dalam kenyataannya, tak semua masyarakat punya pandangan yang seragam. Pada realaitasnya, kata Azis, pelarangan judi tidak efektif. Omzetnya terus menggunung. Karena itu, ia menyatakan bahwa urusan judi tak perlu dilihat sebagai hal baik atau buruk, melainkan cukup diatur agar memberi manfaat besar bagi masyarakat luas melalui pajak yang ditarik sebagai pendapatan negara. Pada saat yang sama, di negera lain, judi tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan hal itu berpengaruh terhadap perkembangan sosial di Indonesia. Belum lagi adanya potensi pemasukan dari perjudian ke kas negara yang bisa digunakan untuk kepentingan publik. Maka, yang diperlukan adalah paradigma bahwa perjudian itu perlu diatur agar benar-benar memberi manfaat bagi publik. Bertitik tolak dari pandangan tersebut, Azis mengatakan diperlukan perubahan cara pandang baru pada perjudian, dari pendekatan represif menjadi preventif. Dalam konteks ini, Azis merujuk "teori hukum pembangunan", dengan mengutip pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan bahwa hukum harus dipandang sebagai sarana pembaruan masyarakat. Meski hukum dibangun untuk menciptakan ketertiban, ia harus memberi ruang gerak untuk perubahan, bukan malah menghambat pembaruan demi mempertahankan nilai-nilai lama yang sudah ditinggalkan. Dengan mengusung tema diskriminalisai (pelagalan) judi itu, jelas Azis memasuki ruang kajian yang sentitif. Peraih master bidang pasar modal dari University of Western Sydney, Australia (1998) itu tertarik mengambil tema judi itu, karena ia melihat potensinya sebagai sumber pemasukan negara. Sementara itu, sebagai orang politik, dia tahu bahwa anggaran negara selalu keteteran untuk mengongkosi kebutuhan rakyat. "Saya prihatin melihat kesulitan rakyat kecil di daerah-daerah terpencil," ujar Azis. Banyak rakyat yang tak berani berobat ke rumah sakit karena lebih cemas pada biaya yang harus ditanggung katimbang penyakitnya sendiri. "Melalui pajak yang dari judi, pemerintah bisa memberi kesejahteraan lebih besar bagi rakyat," ujarnya pula. Tapi, ia tahu bahwa hukum di Indonesia seperti mengunci mati ruang judi, meski secara ilegal ia terus bertahan. "Bagi etnis tertentu, seperti Tionghoa, Bali, serta sebagian Manado dan Batak, judi itu tradisi. Meski dilarang mereka tetap akan melakukannya," kata ayah dua orang anak itu kepada Sujud Dwi Pratisto dari Gatra. Toh, larangan itu ditabrak juga. Tahun 2005 lalu, misalnya, Kejaksaan Agung melaporkan sedang menangani 6.682 kasus judi. Bagi yang tak mau terbelit perkara, ya berjudi ke luar negeri. Pada tahun 2002, sekitar 70.000 orang Indonesia berjudi ke Genting Highlands, Malaysia. Belum lagi mereka yang ke Thailand, Taiwan, atau Makao. Azis memberikan ilustrasi menarik tentang kedekatan dunia judi dengan aparat. Ketika usai dilantik sebagai Kapolri, Juli 2005, Jenderal Sutanto menyatakan akan memberantas judi dalam waktu sepekan. Janji memberantas dan menekan sepekan itu, menurut Azis, adalah indikasi bahwa selama ini dunia perjudian ada dalam jangkauan polisi. Judi punya komunitas sendiri, namun bagaimana melakukan diskriminalisai agar uang judi bisa masuk secara sah sebagai pendapatan negara. Azis melakukan observasi ke pusat perjudian mulai dari Malaysia, Cina, Mesir, dan Amerika Serikat. Dari serangkaian observasi tersebut, Azis menemukan fakta bahwa diskriminalisasi judi itu bisa dilakukan. Diskriminalisasi itu sendiri berarti proses penghilangan sifat dilarang atau diancam pidana dari suatu tindakan yang semula merupakan tindak pidana. Namun, proses diskriminalisasi judi di Indonesia tak semudah di Malaysia, Mesir, atau Lebanon, sebagai sesama negara dengan penduduk mayoritas Islam. Di negara-negara tersebut, judi tak tergolong sebagai predicate offence pencucian uang. Bahwa bisa terjadi hubungan antara judi dan pencucian uang, Azis mengakuinya. Ruang judi bisa digunakan sebagai jalan melegalkan uang haram hasil dari tindak pidana, mulai korupsi, penggelapan pajak, hingga bisnis narkotika. Dampak praktek pencucian uang itu bisa serius, menurut Azis, termasuk menyebabkan hilangnya kendali pemerintah atas kebijakan ekonominya. Namun, Azis mengatakan jangan pula soal memberi penafsiran tentang judi secara tunggal. "Sebab, tak ada satu penjelasan pun yang komprehensif tentang judi," katanya pula. Maksudnya, selain memberikan mudarat, judi juga memberikan manfaat ekonomi. Mengutip data Asosiasi Pengusaha Hiburan Indonesia (Aspehindo), bahwa omset judi di Jakarta pada 2002 mencapai Rp 200 milyar, menurut Azis, pendapatan pemerintah bisa Rp 60 milyar per hari jika pajaknya ditetapkan 30%. Lebih jauh, Azis berpendapat bahwa hendaknya judi jangan pula dilihat sebagai kegiatan tunggal, karena bersamanya akan lahir pula bisnis perhotelan, pertokoan, jasa boga, transportasi, dan bisnis rekreatif lainnya. Akan banyak tenaga kerja terserap di sana. "Sebagai negara plural yang menganut asas Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia perlu melegalkan UU Perjudian," katanya. Namun, menurut Azis pula, perjudian itu dilakukan dalam skala dan tempat terbatas, dan bukan pula untuk konsumsi umum, utamanya masyarakat muslim. Sebagai jalan keluar, menurut Azis, bisa dilakukan deskrimialisasi parsial atas judi tadi. "Caranya dengan melokalisasinya di kawasan tertentu yang jauh dari lingkungan padat penduduk," katanya. Lokalisasi kawasan judi itu juga bisa menekan dampak buruk dari perjudian itu sendiri. Dalam sidang terbuka di Unpad itu, Azis sempat membacakan kutipan pidato Perdana Menteri Singapura di depan parlemen mengenai keputusan pemerintah untuk mengijinkan beroperasinya judi kasino, hal yang puluhan tahun diharamkan di kota belanja itu. "Saya menghormati mereka yang menentang perjudian dan pandangan mereka. Tapi, kami memutuskan melanjutkannya, bukan karena pandangan mereka salah atau tidak penting. Sekarang kita berhadapan dengan situasi baru, dan keperluan yang mendesak untuk memperbarui bandar dan ekonomi kita...." Putut Trihusodo [Hukum, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 4 Oktober 2007
<<37.jpg>>