Refleksi: Ayo Jihad Sipirt,  bagaimana dengan Pak Harto? Disipirituskan atau 
tidak?

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=308290

Kamis, 18 Okt 2007,


Teologi Jahidis Spirit Perangi Korupsi


Oleh Nanum Sofia *
Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, pernah berkoalisi 
dengan menyatukan tekad bulat untuk memerangi korupsi. Kebulatan tekad itu 
dirintis persis empat tahun lalu, tepatnya pada Oktober 2003. Pertemuan yang 
diprakarsai Prof Dr Syafi'i Maarif dan KH Hasyim Muzadi itu masih sering 
dilakukan dalam berbagai pertemuan lain sebagai upaya untuk memberantas korupsi 
yang sudah menjadi epidemi (penyakit karatan) di negara ini.

Selain ditengarai sebagai epidemi, korupsi dipahami sebagai kejahatan terhadap 
masyarakat (crimes against society). Tindakan korupsi sesungguhnya sangat 
menyengsarakan rakyat. 

Pada umumnya, korupsi dilakukan karena kekuasaan. Sebab, kekuasaan membuat 
orang cenderung bertindak korup (power tends to corrupt). Pendeknya, kekuasaan 
adalah modal dasar korupsi. Karena itu, dibutuhkan keberanian yang tulus dan 
sungguh-sungguh untuk memangkas habis pohon korupsi sampai ke akar-akarnya. 

Koalisi antikorupsi yang telah dicanangkan dan dilakukan kedua ormas Islam 
tersebut perlu diteruskan secara berkelanjutan dengan upaya sistematis berdasar 
kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa Indonesia. Mereka harus bersama-sama 
melawan tindak pidana korupsi demi menyelamatkan harta kekayaan negara yang 
telah lama diselewengkan.

Dalam bahasa agama, tidak salah jika kita diperintahkan untuk "belajar ke 
negeri China". Salah satu pelajaran penting dari China terletak pada 
kesuksesannya menekan setiap bentuk penyelewengan gaya korupsi yang kompleks. 
Pada 1982, China berusaha memacu pertumbuhan ekonominya yang diawali dengan 
perang melawan economic crime, utamanya korupsi. Sejak kampanye tersebut 
dicanangkan, lebih dari 30 orang dijatuhi hukuman mati dan penjara seumur hidup 
saat itu. 

Bahkan, Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan secara meyakinkan membuktikan eksistensi 
China sebagai raksasa ekonomi dunia. Terbukti, pada 2006 saja China bertengger 
di urutan keempat negara terkaya di dunia (Jawa Pos, 15 Oktober 2007). 

Selain itu, perlu dicatat bahwa di Negeri Tirai Bambu tersebut, tindak pidana 
korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang memiliki tingkat keberbahayaan yang 
sangat tinggi terhadap masyarakat. 

Tingkat keberbahayaan itu seharusnya mendorong semua pihak untuk lebih bernyali 
menggempur tradisi korupsi. Dikatakan sebagai tradisi karena korupsi sudah 
membudaya. 

Lebih rumit lagi dikatakan bahwa korupsi telah bermetamorfosis menjadi ideologi 
yang mengendap dalam kesadaran kosmologis terdalam tiap kepala manusia 
Indonesia. Hemat saya, dibutuhkan kreativitas energetik untuk 
menginternalisasikan spirit jihad, yaitu semangat mengarahkan perang suci 
khusus melawan korupsi. 

Perang suci melawan korupsi sama bobotnya (timbangan amalnya) dengan "mati 
syahid" dan "jihad di jalan Allah". Artinya, untuk memberantas korupsi, 
dibutuhkan nyali dan taruhannya nyawa. Demi kebenaran dan atas nama rakyat, 
setiap manusia wajib melawan korupsi, melaporkan, membongkar, dan melenyapkan 
setiap tindak pidana korupsi dengan sepenuh hati. 

Dengan demikian, tindakan menghalang-halangi, berbohong, menyembunyikan 
kebenaran, dan apalagi korupsi berjamaah adalah dosa besar yang sama besarnya 
dengan timbangan "kekafiran".

Masih hangat dalam ingatan kita, tindakan menghalang-halangi pernah dilakukan 
aparat negara yang dulu gemar melakukan SP3 (surat perintah penghentian 
perkara) terhadap para konglomerat yang terbukti memiskinkan negara. 

Bukan hanya itu, tindakan ceroboh justru pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi 
(MK) pada 15 Februari 2005 yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi 
(KPK) tidak berwenang mengambil alih penanganan kasus-kasus korupsi sebelum 27 
Desember 2002. Bahkan pada 30 Maret 2004, MK membubarkan KPKPN selaku lembaga 
pencegah korupsi. Justru lewat MK, lembaga pencegah korupsi maupun lembaga 
pemberantas korupsi dilumpuhkan.

Kejadian ironis tersebut digambarkan seorang psikiater, Limas Sutanto (2005), 
sebagai tindakan amnestisasi. MK telah memaksa bangsa Indonesia untuk menjadi 
bangsa yang amnestik dan mengalami cedera traumatis otak berat yang ditandai 
amnesia retrograd, yaitu bangsa yang tidak lagi mampu menghadirkan fakta-fakta 
pengalaman hidup (baca: korupsi) masa lampaunya ke hidup hari kini. 

Bangsa yang amnestik bisa dikatakan sebagai bangsa yang hilang ingatan dan 
tidak sehat jiwa. Melihat kenyataan tradisi korupsi yang epidemi dan tindakan 
amnestikatif tersebut, diperlukan langkah-langkah konkret. Pertama, segera 
membuat action plan dan petunjuk praktis pelaksanaan di lapangan agar tidak 
berhenti di wacana saja. Perlu pendidikan antikorupsi di semua kalangan dan 
mencoba mempraktikkan metode pemberantasan korupsi di lembaga masing-masing. 

Kedua, harus ada orang yang bisa dan mau menjadi tokoh dan panutan (exemplars) 
untuk menjalankan rencana pertama dalam lingkungan mereka. Peran exemplar 
sangat penting untuk meneladankan perang melawan korupsi.

Ketiga, pentingnya pengejawantahan doktrin teologis seperti hukuman mati bagi 
koruptor. Tindakan itu memberikan efek kejut (shock therapy) agar timbul efek 
jera (deterrent effect) bagi pelaku maupun calon-calon pelaku korupsi.


* Nanum Sofia, mahasiswi Psikologi UGM, aktivis Komunitas Aksara Jogjakarta

Kirim email ke