Refleksi: Hiburan bintang Anda dengan lagu romantica : "One Night In Bulukumba".
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=308279 Kamis, 18 Okt 2007, Penjaringan Calon dari Bawah Dihabisi Ambisi Pimpinan Pusat Parpol Golkar-PDIP Tinggalkan Konvensi Untuk mengamankan kepentingan politik, sistem yang sudah bagus bisa diutak-atik. Contohnya, sistem konvensi di Golkar. Sangat mungkin mekanisme konvensi untuk menjaring capres-cawapres Golkar tak digunakan lagi untuk 2009. PDIP pun ikut-ikutan meninggalkan model yang dipakainya dalam menjaring calon kepala daerah itu. Sebagai sebuah model, mekanisme konvensi dianggap sangat demokratis. Sebab, penjaringan nama untuk menjadi calon kepala daerah dari parpol dalam kompetisi politik, seperti pilkada atau pilpres, benar-benar berangkat dari bawah. Dukungan dari bawah diartikulasikan. Itu tak hanya mengekor pada keinginan pimpinan pusat parpol di Jakarta. Mekanisme demokratis itu diperkenalkan Golkar sebagai tradisi baru kompetisi politik internal partai pada Pilpres 2004 untuk menjaring capres-cawapres partai berlambang pohon beringin tersebut. Saking demokratisnya, sampai-sampai, Ketua Umum Partai Golkar (saat itu) Akbar Tandjung gagal memenangi konvensi. Dia justru dikalahkan di kandangnya oleh Wiranto yang berpasangan dengan tokoh non-Golkar, Salahuddin Wahid atau Gus Solah, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid kemudian gagal. Mereka kalah dari pasangan SBY-Kalla. Bahkan, untuk menembus putaran pertama pilpres pun, pasangan itu gagal. Meski demikian, mekanisme konvensi mendapat apresiasi positif dari rakyat. Golkar yang sempat mengalami demoralisasi politik dan distigma sebagai partai mesin otoriter Orde Baru yang korup pelan-pelan mampu bangkit kembali. Puncaknya, Golkar tampil lagi menjadi jawara pemilu legislatif 2004. Sayang, Partai Golkar yang kini dinakhodai Wapres Jusuf Kalla enggan melanjutkan sistem dan mekanisme konvensi itu. Secara terbuka, Kalla mengatakan, partainya tidak akan mengadakan konvensi lagi untuk menjaring capres-cawapres 2009. Penentuannya, tegas Kalla, cukup diputuskan dalam rapat pimpinan nasional khusus (rapimnasus) minimal enam bulan sebelum Pemilu 2009. Kalla beralasan ditiadakannya konvensi itu karena dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) Partai Golkar, penentuan capres-cawapres Partai Golkar melalui rapimnas. "Selain proses konvensi yang kurang baik, hasil konvensi juga tidak lebih baik," tegas Kalla dalam keterangan pers di rumah dinas Wapres, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 14 September 2007. Keputusan menghapus konvensi tentunya memantik api kekecewaan. Salah satunya dari Akbar Tandjung. Menurut dia, keputusan itu justru akan menurunkan citra Partai Golkar di mata masyarakat. Padahal, salah satu kunci pulihnya citra Partai Golkar hingga menang dalam Pemilu 2004 adalah konvensi. Mekanisme itu membuat Partai Golkar dinilai prodemokrasi dan menjadi pelopor bagi terciptanya proses demokrasi di internal partai politik. "Ini langkah mundur. Saya menyesalkan keputusan itu," tandasnya. Apalagi, lanjut dia, mekanisme penjaringan calon kepala daerah di Partai Golkar juga masih menggunakan sistem konvensi. (priyo handoko)
1192640933b
Description: Binary data