SUARA KARYA

Putusan MA dalam Kasus Bank Mandiri 
Oleh Dhono Iswahyudi 


Kamis, 18 Oktober 2007
Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas kasus-kasus Bank Mandiri 
(BM) yang melibatkan direksi BM sebagai kreditor dan direksi PT. Cipta Graha 
Nusantara (CGN) sebagai debitor pada pertengahan tahun 2005, orang menganggap 
kasus perbankan bukan kasus tindak pidana korupsi (TPK). Memang, selama ini 
masih ada beberapa masalah bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus TPK. 

Masalah hukum pertama, adalah kendala prosedural (hukum acara) bagi penyidik 
kejaksaan (dan KPK) dalam menyidik TPK yang tumpang tindih dengan tindak pidana 
lain. Dalam penyidikan TPK sering tersangka juga terbukti melakukan pidana 
lain, misalnya money laundering, perbankan, perpajakan, atau kepabeanan. Hukum 
acara pidana di Indonesia (KUHAP)--yang menerapkan sistem fragmentalisme 
(pemisahan) dalam tugas penyidikan--membatasi kewenangan penyidik kejaksaan dan 
KPK. 

Dari segi kepraktisan dan efektivitas penanganan perkara sesuai dengan asas 
peradilan cepat, murah dan sederhana, maka sistem yang berlaku sekarang jelas 
merugikan pencari keadilan. Sebab, penanganan perkara akan menjadi 
bertele-tele, berulang-ulang dan sangat tidak efisien. Karena masalah ini masuk 
koridor kebijakan politik hukum, maka solusinya di tangan pemerintah dan DPR. 
Solusi lain adalah terobosan hukum melalui yurisprudensi (putusan hakim/ 
Mahkamah Agung). Kini saatnya penyusun RUU KUHAP dan RUU Perubahan UU PTPK 
mengubah sistem penyidikan TPK yang berlaku selama ini agar terwujud peradilan 
yang cepat, murah dan sederhana. 

Masalah hukum kedua, adanya ketidakjelasan deskripsi penerapan asas lex 
specialist terhadap aturan-aturan pidana dalam UU PTPK yang dapat tumpang 
tindih (overlapping) dengan ketentuan pidana dalam beberapa UU lain. Misalnya 
aturan pidana dalam UU Perbankan, UU Kepabeanan, UU Perpajakan, dan UU Anti 
Money Laundering. 

Saat ini ada ketidakjelasan sikap (kebingungan) dari kalangan praktisi dan 
teoritisi hukum terhadap aturan-aturan pidana dalam UU khusus yang dapat 
tumpang tindih. Keberadaan aturan pidana dalam berbagai UU tertentu (antara 
lain Perbankan, Bea Cukai, Perpajakan, dan Kehutanan) dianggap sebagai aturan 
khusus (lex specialist). Sementara itu UU PTPK juga merupakan aturan khusus, 
bahkan TPK dinyatakan sebagai extra ordinary crime. 

Persoalannya, jika terjadi kasus TPK tetapi juga memenuhi aturan pidana dalam 
UU khusus lainnya, UU manakah yang harus diterapkan? Contohnya kasus BM. Dalam 
doktrin ilmu hukum pidana, kasus demikian dikenal sebagai concursus idealis. 
Berdasarkan Pasal 63 ayat (1) KUHP pidana yang dikenakan adalah aturan yang 
terberat hukumannya. Bagi jaksa penuntut umum, sesuai dengan prinsip 
penuntutan, dakwaan akan dibuat secara alternatif, atau dakwaan primair 
subsidair, dengan mendakwakan pasal yang mengancam pidana terberat, disusul 
dengan pasal pidana yang lebih ringan. 

Ancaman pidana dalam TPK jelas lebih berat dibanding dengan ancaman pidana 
dalam UU khusus lainnya. Dalam UU PTPK di samping ancaman pidana pokoknya lebih 
berat juga ancaman denda jauh lebih tinggi dan ada tuntutan ganti rugi serta 
perampasan harta kekayaan terpidana. Oleh karena itu, demi upaya pemberantasan 
TPK sebagai extra ordinary crime serta demi memaksimalkan upaya pengembalian 
kerugian negara, maka penerapan UU PTPK jauh lebih tepat dan punya dampak 
prevensi yang lebih efektif. 

Masalah hukum ketiga adalah masih adanya perbedaan pendapat di antara penegak 
hukum tentang pemahaman unsur "dapat merugikan keuangan negara atau 
perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Dalam kasus BM, pada akhir 
tahun 2004 Jampidsus dengan BPK telah mengadakan pengkajian bersama terhadap 
temuan 26 kasus kredit macet di BM. Pengkajian difokuskan ada-tidaknya unsur 
melawan hukum dalam proses pengajuan/pemberian kreditnya, dan ada-tidaknya 
unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara". BPK dan 
kejaksaan sependapat, bila terjadi penyimpangan dalam proses pengajuan dan 
proses pemberian kreditnya (unsur melawan hukum formal) dan kemudian kredit itu 
macet, maka disimpulkan telah terjadi TPK. 

Dari hasil pembahasan tersebut, ditetapkan 6 (enam) kasus kredit macet di BM 
untuk disidik sebagai TPK, antara lain kasus PT CGN. Ketika penyidikan kasus PT 
CGN akan dilimpahkan ke pengadilan, tiba-tiba PT CGN membayar cicilan 
kreditnya, padahal sejak tahun 2002 kredit tersebut tidak pernah dicicil. 

Dengan alasan PT CGN telah mencicil kreditnya dan belum jatuh tempo, PN Jakarta 
Selatan membebaskan para terdakwa kasus BM. Hakim telah menyampingkan rumusan 
kata "dapat" pada unsur "merugikan keuangan negara" Pasal 2 ayat (1) UUPTPK. 
Padahal dalam penjelasan umum maupun penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK 
ditegaskan TPK adalah delik formal. Artinya, unsur "dapat merugikan keuangan 
negara atau perekonomian negara" bersifat fakultatif. Tentu saja frasa "dapat 
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" tetap harus didukung oleh 
keterangan ahli yang menegaskan bahwa perbuatan terdakwa telah merugikan atau 
berpotensi merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara. Selama masih 
terjadi perbedaan persepsi di antara penegak hukum terhadap pemahaman unsur 
Pasal 2 ayat (1) UU TPK di atas, maka penanganan kasus-kasus TPK masih akan 
terus menghadapi kendala yuridis. 

Setelah MA memutuskan perkara BM dan menghukum para terdakwanya sebagai pelaku 
TPK, sekarang sudah mulai ada kesamaan persepsi dari penegak hukum bahwa kasus 
perbankan yang merugikan keuangan negara adalah TPK, dan TPK adalah delik 
formal. 

Selanjutnya kejaksaan perlu menindaklanjuti kasus-kasus kredit macet lainnya di 
BM untuk disidik sebagai TPK, dan segera mengawasi serta memantau keberadaan 
para debitor kredit macet lainnya di BM yang saat ini belum disidik atau yang 
perkaranya sedang diajukan kasasi ke MA. Dengan demikian jangan sampai 
menghilang karena mereka tentu sudah mengetahui putusan MA terhadap ECWN dan 
kawan-kawan. Kejaksaan juga tidak perlu ragu lagi menyidik kasus-kasus lainnya 
yang merugikan negara sebagai kasus TPK. 

Komitmen yang kuat dari para penegak hukum untuk memberantas korupsi semoga 
dapat memulihkan kepercayaan rakyat terhadap hukum, dan dapat mempercepat 
perbaikan ekonomi nasional. 

Penulis adalah mantan Jampidsus

Kirim email ke