Senin, 29/10/2007 08:13 WIB

Ke mana arah ekonomi Indonesia?
oleh : Rofikoh Rokhim

Lonjakan harga minyak mentah dunia melampaui US$90 per barel dan meluasnya 
dampak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat telah memicu kekhawatiran 
terhadap pelambatan ekonomi global. Ekonomi Indonesia pun dinilai akan terkena 
imbas pelambatan itu. 

Sejak 1980-an, AS menerapkan kebijakan defisit, di mana impor melebihi ekspor, 
yang dibiayai dengan mencetak dolar, meski memiliki keterbatasan berupa dampak 
moneter dan inflasi. 

Di sisi lain, negara yang menerapkan surplus, a.l. China, Jepang, dan sejumlah 
negara Arab, menyimpan sebagian dolar (greenback) dan melakukan investasi di 
negara lain. Investasi itu terutama dengan instrumen surat berharga di pasar 
finansial AS, seperti treasury bond dan mortgage backed securities dalam 
berbagai deferensiasi. 

Biasanya, prime mortgage berisiko rendah, subprime mortgage memiliki risiko 
tinggi, dan collateral debt obligations yang berisiko sangat tinggi, karena 
dijamin oleh subprime mortgage. Negara-negara Eropa juga tidak ketinggalan 
berinvestasi di instrumen surat berharga itu. 

Laju inflasi China, sebagai katalis dan motor penggerak ekonomi dunia, kini 
mencapai 6,5%. Ini karena harga barang naik seiring dengan pola konsumsi serta 
aliran deras dana asing langsung ke berbagai industri. 

Akibatnya, harga minyak yang tinggi semakin memengaruhi harga produk China. 
Dengan demikian, peran negeri itu sebagai katalis dan penyeimbang ekonomi dunia 
bisa berkurang. 

Namun, ekonomi China tetap melaju. Pertumbuhan ekonomi negara ini mencapai 
11,1%, lebih tinggi daripada proyeksi sebesar 10,4%. 

Maka muncul kekhawatiran ekonomi China memanas dan mengalami kelebihan 
likuditas. Pasar modal bullish dan otoritas pun membolehkan bank komersial 
membeli saham di pasar modal luar negeri. 

Optimis vs pesimis 

Pemerintah dan sejumlah kalangan yang optimistis menyatakan sudah memiliki 
sejumlah jurus antisipasi untuk meredam kemungkinan krisis global, sehingga 
mereka tetap yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sesuai target. 

Alasannya, pertama, ekonomi Indonesia didukung oleh ekspor barang mentah yang 
harganya beriringan dengan kenaikan harga minyak dunia. Tujuan ekspor adalah 
negara nontradisional seperti Timur Tengah-yang lagi-lagi diuntungkan oleh 
kenaikan harga minyak-dan negara di Asia yang kondisi ekonominya stabil, 
seperti China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. 

Melalui sejumlah penghitungan uji kausalitas, peningkatan ekspor dan konsumsi 
akan diiringi dengan peningkatan investasi. 

Kedua, konsumsi minyak diproyeksikan stabil dan mungkin terkonversi ke gas dan 
bioenergi. Jika ini terjadi, kenaikan harga minyak dunia akan menambah cadangan 
devisa. 

Ketiga, investasi asing mulai menggeliat masuk, seiring dengan pembenahan 
birokrasi, konsumsi yang meningkat, dan laju inflasi terkelola. 

Keempat, investasi akan dialihkan ke negara yang memberi keuntungan, termasuk 
Indonesia, akibat memburuknya pasar finansial AS. ABN Amro bahkan yakin pasar 
Asia menuju kedewasaan dan terbuka, sehingga mendorong bank investasi dari AS 
masuk. 

Kelima, melemahnya dolar AS akan menurunkan harga impor, terutama impor barang 
modal untuk industri dan infrastruktur. 

Sebaliknya, kelompok pesimistis mengingatkan agar pemerintah tidak 
meninabobokan masyarakat. Meski tahun ini diperkirakan aman, mereka percaya 
pada 2008 ekonomi menghadapi risiko berat. 

Pandangan ini didasarkan: pertama, ekspor masih bertumpu pada barang bernilai 
tambah rendah dan kurang kompetitif. 

Kedua, kenaikan harga minyak akan menekan anggaran, karena pola konsumsi bahan 
bakar terus meningkat. Hal ini a.l. akibat kemudahan kredit kepemilikan 
kendaraan. 

Ketiga, kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi, sehingga 
harganya semakin tidak kompetitif. 

Keempat, infrastruktur yang buruk akan membengkakkan biaya ekspor dan 
distribusi. Akibatnya, realisasi investasi langsung belum bisa diharapkan, 
apalagi kondisi politik menjelang pemilu tidak pasti. 

Keenam, peralihan investasi portofolio ke Indonesia akan menuntut suku bunga 
tinggi, sehingga biaya dana pemerintah makin mahal. Bank Indonesia di 
persimpangan jalan dalam penentuan suku bunga, mengingat sejumlah negara mulai 
menaikkan suku bunga. 

Sebaliknya, Indonesia masih mengalami ekses likuiditas yang justru membutuhkan 
suku bunga rendah. 

Ketujuh, budaya konsumtif kian menjadi-jadi. Penggunaan kartu kredit dan kredit 
tanpa agunan lebih banyak untuk konsumsi. 

Masyarakat juga mengambil kredit properti dengan murah dan mudah, karena harga 
properti akan naik, dan bank merasa aman dengan adanya jaminan rumah itu 
sendiri. 

Meski BI sudah memiliki sistem informasi debitor, sebenarnya belum tentu 
nasabah kredit properti tidak memiliki kewajiban dalam bentuk lain. 

Ekspektasi rasional 

Ada pandangan rasional yang diharapkan menjadi kenyataan. Minimal dua indikator 
yang dapat dilihat, yaitu perkembangan permintaan dan penawaran sektor industri 
manufaktur serta pasar finansial dan pasar modal. 

Pertama, hingga akhir kuartal II/2007, perekonomian nasional masih ekspansif, 
a.l. ditopang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Juga permintaan dan 
penerimaan ekspor, terutama dari produk pertanian dan pertambangan, melonjak 
diiringi oleh realisasi investasi asing langsung dan beberapa investasi lokal 
ke sektor nonbangunan, seperti mesin dan perlengkapannya. 

Pertumbuhan kredit modal kerja dan investasi tetap terjaga dan kegiatan impor 
lebih kepada barang modal. 

Namun, ekspansi ekonomi hingga kuartal II/2007 merupakan respons penawaran 
terhadap permintaan yang direalisasikan lewat peningkatan kapasitas terpasang 
di sektor manufaktur. Ini menunjukkan ada geliat ekonomi, mengingat sebelumnya 
masih bertumpu pada persediaan. 

Menggunakan data perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta, tingkat 
persediaan industri berkurang dan mulai menambah kapasitas terpasang. 

Jika permintaan terus meningkat, ada penambahan kapasitas melalui ekspansi. 
Pada 2002, persediaan sangat rendah, bahkan negatif pada 2003, dan mulai ada 
produksi karena penjualan meningkat pada kuartal II/2004. 

Penjualan dan persediaan terus meningkat beriringan hingga kuartal III/2005. 
Setelah itu, persediaan meningkat akibat daya beli yang lemah. 

Namun, sejak kuartal terakhir 2006, daya beli kembali melonjak, sehingga 
persediaan terserap. Maka setelah ekspansi perusahaan meningkat untuk merespons 
daya beli ataupun menambah persediaan, perlu dukungan kebijakan pemerintah 
serta kemudahan kredit. 

Kedua, krisis finansial di AS akan mengalihkan portofolio ke Asia, dan 
Indonesia masih menjanjikan keuntungan, terutama pada surat utang pemerintah, 
obligasi korporasi, dan pasar saham. 

Apalagi ada kemungkinan tumpahan likuiditas dari China. Peluang ini tidak 
selayaknya disia-siakan. 

Memang ada kekhawatiran dana agresif (hedge fund) masuk ke BEJ, yang dapat 
menimbulkan kerentanan, karena bisa pergi dengan mudah. Ini selayaknya 
diantisipasi lewat sejumlah kebijakan baru. 

Otoritas dan pelaku bursa tampaknya berbenah guna menggeliatkan pasar melalui 
sejumlah emisi saham baru. Juga terdapat instrumen investasi baru, seperti 
exchange traded fund, secondary mortgage fund, real estate investment fund, dan 
efek beragun aset yang membuat investor asing tinggal lebih lama di Indonesia. 

Hal itu menambah keyakinan terhadap prospek ekonomi ke depan. Kita tunggu iklim 
positif yang mendorong pemerintah mengelola pasar secara inovatif, bersih, dan 
berwibawa. ([EMAIL PROTECTED]) 


bisnis.com


URL : http://web.bisnis.com/kolom/2id597.html 

© Copyright 1996-2007 PT Jurnalindo Aksara Grafika

 Cetak | Tutup Window 

<<logo-bisnis-small.jpg>>

<<icon_cetak.gif>>

Kirim email ke