http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/07/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
--------------------------------------------------------------------------------

Siapa Peduli Nasib TKI? 
 

Oleh Abdullah Yazid 

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri memberikan devisa 
cukup besar bagi negeri ini. Besarnya kiriman uang selalu naik dari tahun ke 
tahun. Jumlah yang pergi ke luar negeri dan menjadi TKI baru pun cukup banyak. 
Berdasarkan pemberitaan surat kabar, dari sekitar 400 perusahaan jasa tenaga 
kerja Indonesia atau PJTKI dan 300 balai latihan kerja di seluruh Indonesia 
banyak yang berpredikat tidak layak. Sungguh mengkhawatirkan. 

Parahnya, proses dan mekanisme bekerja di luar negeri seringkali 
berbelit-belit. Bahkan, KPK menemukan 11 titik rawan dalam sistem pelayanan, 
penempatan, dan perlindungan TKI dengan potensi korupsi yang sangat merugikan. 
Jika faktanya demikian, jangan heran jika sebagian dari mereka justru 
menggunakan jalur dan proses ilegal yang jauh lebih mudah dan murah. Jumlah TKI 
ilegal ini diperkirakan lebih banyak dari yang legal, namun jumlahnya tidak 
diketahui secara pasti. Umumnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga 
dan buruh di perkebunan. 

Fakta ini menyebabkan timbulnya beberapa masalah serius. Pertama, minimnya 
perlindungan hukum bagi para tenaga kerja tersebut baik dalam maupun luar 
negeri. Kedua, kurangnya jaminan keamanan dan kesejahteraan para TKI di tempat 
mereka bekerja. Kasus Ceriyati dan Suparti, dua TKI di Malaysia yang melarikan 
diri dari tempat mereka bekerja, cukup menunjukkan betapa TKI kita berada pada 
posisi minus proteksi dan lemah di depan hukum. Ketiga, muncul problem 
struktural hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara tempat 
para TKI bekerja akibat persoalan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Belum 
lagi jika pemerintah dihadapkan pada masalah dalam negeri akibat "pengusiran 
paksa" tenaga kerja, seperti yang sering dilakukan pemerintah asing. Bahkan, 
baru-baru ini puluhan calon pekerja Indonesia dengan tujuan Korea Selatan 
sempat tertipu oleh oknum di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten 
Ponorogo, Jawa Timur. Penipunya diperkirakan menerima ratusan juta dari 
aksinya. Lengkap sudah kemalangan TKI kita, bahkan yang masih berstatus calon 
TKI. 


Dilema 

Sejauh ini, pemerintah terlihat belum memiliki kebijakan taktis dan strategis 
mengatasi persoalan TKI. Besarnya devisa negara yang bisa diperoleh dari sektor 
penempatan TKI di luar negeri bisa jadi membuat pemerintah "mempertahankan" 
mereka. 

Faktanya pun jumlah TKI dari tahun ke tahun makin banyak. Di Jatim saja, 
sebagai provinsi yang terhitung menyumbang TKI cukup banyak, jumlah TKI yang 
berangkat selama 2006 mencapai 58.547 orang, meningkat dari 2005 sebanyak 
56.033 orang. 

Sayangnya, proses dan mekanisme penempatan kerja di luar negeri tidak juga 
kunjung membaik. Pemerintah dalam konteks ini masih saja kurang memperhatikan 
prinsip manajemen pelayanan yang berbasis pemenuhan kepuasan konsumen. Yang 
terjadi, proses yang harus ditempuh selalu melalui tahapan yang membutuhkan 
waktu lama, berbelit-belit, dan sangat memakan biaya. 

Menyelesaikan problem TKI luar negeri dengan aneka kasus di atas memang bukan 
pekerjaan mudah. Apalagi, kasus-kasus tersebut menyangkut hubungan unilateral 
antarnegara. Kasus yang terjadi seolah menjadi lingkaran setan. Misalnya, 
adanya peraturan perundangan pemerintah setempat yang diskriminatif dan 
sepihak, seperti yang baru saja dilakukan oleh pemerintah Malaysia terhadap 
para tenaga kerja asing yang bekerja di negara itu. Bahkan, tidak jarang TKI 
juga mengalami penganiayaan, penipuan, dan pelecehan seksual. Terkadang, TKI 
sendiri yang justru melanggar, misalnya, mencuri atau lalai dalam pekerjaan. 

Penyelesaian kasus per kasus tersebut sudah barang tentu akan membutuhkan 
kajian sosial politik yang mendalam karena menyangkut kebijakan politik luar 
negeri pemerintah Indonesia secara keseluruhan. 

Di negara-negara maju upaya memberikan perlindungan dan pembinaan tenaga kerja 
menjadi dimensi penting bagi kemajuan industri. Sebaliknya di negara-negara 
berkembang, termasuk Indonesia, masalah pelayanan penempatan tenaga kerja dalam 
rangka pendayagunaannya belum dioptimalkan sesuai dengan harkat dan martabat 
kemanusiaan. 


Pelatihan Optimal 

Dalam menyikapi masalah TKI, rendahnya kualitas dan etos kerja, serta 
pengangguran yang membeludak, pemerintah perlu sesegera mungkin memikirkan 
upaya capacity building dan penyediaan fasilitas yang memadai. Ini bertujuan 
untuk meningkatkan keterampilan, pengalaman, sekaligus memberikan kesempatan 
dan perlakuan yang sama. Misalnya, kepada TKI dan usia-usia produktif di 
masyarakat yang berkecenderungan ingin bekerja ke luar negeri diberikan 
pelatihan kerja secara optimal agar dapat meningkatkan kemampuan demi 
terciptanya produktivitas kerja. 

Apalagi, kita saat ini dihadapkan pada era keterbukaan global, seperti, AFTA, 
NAFTA, dan era liberalisasi. Mau tidak mau, kualitas tenaga kerja Indonesia 
harus meningkat agar dapat bersaing di pasaran tenaga kerja. 
Sekurang-kurangnya, tenaga kerja kita harus bisa bersaing di negeri sendiri, 
karena aliran tenaga kerja asing akan menerpa Indonesia di era globalisasi 
tersebut. 

Selain itu, pemerintah mesti mulai menciptakan program padat karya produktif, 
mengingat kekayaan lokal kita seringkali hanya dijual mentah-mentah tanpa 
mengetahui proses kreatif. Solusi selanjutnya adalah usaha mandiri. Usaha macam 
inilah yang bisa bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi beberapa waktu lalu. 
Yang tidak kalah penting, bangsa ini juga harus mulai membangun basis tenaga 
kerja pemuda mandiri profesional. Saat ini, kurang lebih satu juta sarjana yang 
tidak memiliki pekerjaan. Akan lebih bermanfaat jika para sarjana ini pulang 
kampung dan membangun desanya. 


Penulis adalah Peneliti Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) 
Averroes, Malang 


Last modified: 7/11/07 

<<07ilustr.gif>>

Kirim email ke