http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=31439


Netralitas politik TNI/Polri (1)

      Tanggal :  08 Nov 2007 
      Sumber :  Harian Terbit 


Oleh Irjen Pol Dr H Teguh Soedarsono


"KECIL tetapi tajir," itulah ungkapan dan penilaian serta respon terhadap 
kebijakan politik TNI dan Polri yang menempatkan diri sebagai institusi netral 
dalam kancah politik praktis bangsa dan negara Indonesia saat ini. Kebijakan 
itu dinyatakan lebih tegas oleh Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto maupun 
Kapolri Jenderal Polisi Drs. Sutanto di beberapa event dengan pernyataan bahwa 
para anggotanya belum menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Padahal, dalam 
Pasal 93 ayat (2) Undang-undang Pemilu dinyatakan, "Anggota TNI dan Polri 
mempunyai hak memilih."

Kebijakan yang dinilai matang, arif, dan cerdas tersebut, hendaknya tidak 
dipersepsikan sebagai "sedekah politik" dan atau karena belum siapnya TNI dan 
Polri 'menerima' keragaman visi dan misi partai-partai yang ada di negara ini. 
Kebijakan tersebut hendaknya dapat dimaknai sebagai upaya menciptakan kondisi 
yang kondusif dalam pelaksanaan pesta demokrasi Pemilu. Hal itu memungkinkan 
pula TNI dan Polri mempunyai "bargaining position" dalam kancah politik di 
negara ini secara lebih lanjut.

Kebijakan pimpinan TNI dan Polri tentang konsep netralitas politik dengan 
langkah tersebut dalam berbagai wujud dan fragmentasinya perlu dijelaskan, 
disosialisasikan, serta diselaraskan dengan berbagai subjek dan objek hukumnya. 
Ini penting karena bila kebijakan itu menimbulkan masalah di kemudian hari, 
maka hal tersebut menurut Prof Dr Awaludin Jamin, MPA merupakan suatu kebijakan 
yang bersifat "benevolent outocrazy" dalam negara demokrasi karena "unmutually 
consistent policies."

Kebijaksanaan TNI dan Polri untuk tidak menggunakan hak pilih bila disimak 
mempunyai dua makna atau persepsi yang menjadi pertimbangannya, yaitu makna dan 
persepsi yang dikaitkan dengan sifat pekerjaan dan tuntutan tugas TNI maupun 
Polri baik ditinjau dari aspek sejarah, kewenangan, maupun proses reformasinya 
yang dalam keberadaannya dituntut harus bersikap netral dalam tugas maupun 
aktivitasnya. Untuk itu TNI dan Polri harus berada di atas kepentingan semua 
golongan maupun kekuatan politik. Namun demikian, persepsi dan kearifan itu 
tidak menjadi acuan keteladanan dan bahkan tidak pernah menjadi perhatian 
khusus dari unsur-unsur lain, seperti para penegak hukum khususnya advokat dan 
pengacara, insan pers, maupun tokoh-tokoh LSM yang dalam tuntutan keberadaan, 
pekerjaan, maupun aktivitasnya juga diharapkan dapat bersikap netral, jujur, 
dan transparan. Padahal, mereka saat ini mendominasi kursi-kursi di lembaga 
legislatif dengan cara melibatkan diri sebagai anggota partai-partai politik.

Makna lain dari kenetralan politik TNI dan Polri tersebut dimungkinkan juga 
karena rasa 'teposliro' warga TNI dan Polri terhadap keberadaan, aktivitas, 
maupun mutu kepemimpinan dan kenegarawanan dari para tokoh partai-partai 
politik yang dinilai memprihatinkan. Karena itu TNI dan Polri merasa lebih baik 
mengambil posisi berada di luar atau bersikap netral dalam kancah dan kiprah 
politik praktis, antara lain dengan cara bersikap pasif dalam pemilu dan 
pilkada. Alasan itu memang logis dan dapat dibenarkan, namun bila persepsi 
tersebut dihadapkan dengan keadaan sebenarnya maka hal itu menjadi rancu. Hal 
ini dibuktikan dengan banyaknya anggota TNI maupun Polri aktif serta para 
purnawirawan yang terjun dalam aktivitas politik melalui dukungan dan atau 
wadah partai-partai politik, khususnya dalam upaya meraih jabatan dan atau 
penugasan di bidang pemerintahan atau legislatif karena ambisinya.

Kebijakan TNI dan Polri tentang "netralitas politik" yang dinilai matang 
tersebut menjadi "hambar" karena ketiadaan tanggapan dan atau minimnya 
kompensasi politik dari para elit politik terhadap pengorbanan TNI dan Polri. 
Mereka terkesan mengenyampingkan hak politik TNI dan Polri dalam kehidupan 
bangsa dan negara. Padahal banyak kader pimpinan bangsa dan negara yang berasal 
dari lingkungan TNI dan Polri. Kondisi ini memunculkan pemikiran tentang 
perlunya dibuka suatu mekanisme khusus bagi para intelektual maupun elit TNI 
dan Polri untuk dapat muncul sebagai kader pimpinan bangsa dan negara Indonesia 
tanpa harus melalui partai.

Kondisi seperti ini menurut Frank J. Goodnow dalam bukunya "Politics and 
Administrations", merupakan suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam 
Tata Administrasi Negara. Hal tersebut terjadi karena "kebijakan" dan 
"pelaksanaan" pada hahikatnya tidak mempunyai dikotomi yang konkret. 
Di samping itu kebijaksanaan untuk menempatkan TNI dan Polri dalam kepentingan 
semua golongan dan kekuatan politik dalam kerangka kebijakan "netralitas 
politik" yang dikaitkan dengan risiko pekerjaan dan kewenangan TNI dan Polri 
sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Sebab, di era globalisasi saat ini 
penggunaan kekuatan dan kewenangan bersenjata untuk menekan atau memprovokasi 
suatu pihak tidak lagi menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan. Contoh konkretnya 
adalah melemahnya Junta Militer dalam tata pemerintahan di Myanmar akhir-akhir 
ini.

Justru dalam kehidupan demokrasi saat ini kewenangan dari para penegak hukum 
khususnya advokat dan pengacara dalam menerapkan berbagai norma hukum, bermacam 
opini yang ditimbulkan dan dipublikasikan oleh para insan pers melalui 
media-media informasinya, serta beragam gerakan aksi massa yang dimunculkan 
oleh para tokoh LSM merupakan kekuatan yang sangat dahsyat dan efektif untuk 
menggoyang dan atau memporakporandakan asas demokrasi, hak dan kewajiban 
penghormatan asasi manusia, maupun iklim transparansi dalam kehidupan nasional. 
Ironisnya, mereka yang notabene mempunyai tingkat intelektualitas yang baik dan 
kematangan berinteraksi sosial tersebut tidak berkehendak untuk bersikap arif 
dan netral dalam kehidupan politik di negara tercinta ini seperti yang 
dilakukan TNI dan Polri. 

(Penulis adalah Kepala Divisi Pembinaan Hukum Polri)

Reply via email to