http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/112007/08/0902.htm


Soeratin Sebagai Pahlawan Nasional
Oleh Asvi Warman Adam  
  Setelah sakit sekian lama dan tidak mampu menebus obat, Soeratin meninggal 
tahun 1959 dalam kemiskinan. Rumahnya berukuran 4x6 meter di Jalan Lombok, 
Bandung, terbuat dari gedek (dinding bambu). Tidak ada yang ditinggalkan 
kecuali organisasi yang dicintainya, PSSI. 

Itulah sebabnya Rapat Paripurna Nasional PSSI tahun 2005 
(Kep/09/Raparnas/XI/2005) merekomendasikan dan mengusulkan kepada pemerintah 
agar Soeratin diangkat sebagai pahlawan nasional. Pertimbangannya adalah 
kehidupan Soeratin telah diabdikan bagi perintisan pengembangan sepakbola yang 
sejalan dengan penumbuhan jiwa kebangsaan di kalangan masyarakat sejak masa 
penjajahan Belanda.

Siapa Soeratin?

Soeratin lahir di Yogyakarta 17 Desember 1898 dari kalangan terpelajar. 
Ayahnya, R. Sosrosoegondo, guru pada Kweekschool, menulis buku Bausastra Bahasa 
Jawi. Istrinya R.A. Srie Woelan, adik kandung Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo. 
Tamat dari KWS (Koningen Wilhelmina School) di Jakarta, Soeratin belajar di 
Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, dekat Hamburg, Jerman tahun 1920 dan 
lulus sebagai insinyur sipil tahun 1927.

Sekembalinya dari Eropa tahun 1928, ia bergabung dengan sebuah perusahaan 
konstruksi terkemuka milik Belanda dan membangun antara lain jembatan dan 
gedung di Tegal dan Bandung. Namun pada waktu bersamaan Soeratin mulai merintis 
pendirian sebuah organisasi sepak bola yang berhasil diwujudkan tahun 1930.

Organisasi boleh dikatakan realisasi konkret dari Sumpah Pemuda 1928. 
Nasionalisme itu dicoba dikembangkan melalui olah raga, khususnya sepak bola. 
Seperti halnya ipar dari Soeratin, Dr. Soetomo yang berkeliling Pulau Jawa 
untuk menemui banyak tokoh dalam rangka menekankan pentingnya pendidikan dan 
kemudian disusul dengan pendirian Budi Utomo, maka Soeratin juga melalukan 
pertemuan dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, 
Jakarta, dan Bandung.

Pertemuan itu diadakan secara sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda 
(PID). Tanggal 19 April 1930, beberapa orang tokoh dari berbagai kota berkumpul 
di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). 
Istilah sepakraga diganti dengan sepak bola dalam Kongres PSSI di Solo tahun 
1950.

PSSI kemudian melakukan kompetisi secara rutin sejak tahun 1931 dan ada 
instruksi lisan yang diberikan kepada para pengurus, jika bertanding melawan 
klub Belanda tidak boleh kalah. Soeratin menjadi ketua umum organisasi selama 
berturut-turut 11 kali. Setiap tahun ia terpilih kembali. 

Kegiatan mengurus PSSI menyebabkan Soeratin keluar dari perusahaan Belanda dan 
mendirikan usaha sendiri. Setelah Jepang menjajah Indonesia dan perang 
kemerdekaan terjadi, kehidupan Soeratin menjadi sangat sulit, rumahnya 
diobrak-abrik Belanda. Ia aktif dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan 
pangkat Letnan Kolonel. 

Setelah penyerahan kedaulatan, ia menjadi salah seorang pimpinan DKA (Djawatan 
Kereta Api). Setelah sakit sekian lama dan tidak mampu menebus obat, ia 
meninggal tahun 1959 dalam kemiskinan.  

Jasa-jasa Soeratin

Olah raga sepak bola juga berkaitan dengan nasionalisme dan integrasi bangsa 
sebagaimana dikatakan Freek Colombijn ("The Politics of Indonesian Football", 
Archipel 59, Paris, 2000), "Football and society, or football and politics, are 
so interwoven that it would be possible to tell Indonesia's recent history of 
integration, nationalism, and modernization in terms of the development of 
football". 

Sepak bola pada mulanya berkembang di Inggris. Kemudian merambah ke Hindia 
Belanda dengan berdirinya klub pertama di Surabaya yang didirikan oleh John 
Edgar pada tahun 1895. Di Kota Padang, klub yang pertama dibentuk Padangsche 
Voetbal Club tahun 1901. Klub yang ada di Hindia Belanda itu masih bersifat 
segregasi. Masing-masing kelompok ras memiliki klubnya masing-masing yang juga 
bertanding sesama mereka (Eropa, Tionghoa, dan pribumi). 

Pada tahun 1921, di Padang terdapat liga yang menarik bayaran dari penonton (10 
sen untuk pribumi yang menonton sambil berdiri, 20 sen untuk "bukan pribumi", 
dan 50 sen dapat kursi). Belum ada stadion yang permanen, tetapi di sekeliling 
lapangan dipasang bambu.

Dalam konteks perkembangan masyarakat yang terjajah, jasa Soeratin dapat 
diringkaskan sebagai berikut.

Pertama, ia berani menggunakan label Indonesia pada organisasi yang 
didirikannya, bukan Hindia Belanda. Kedua, pertandingan yang dilakukan secara 
rutin dan periodik antar klub pribumi pada tingkat antarkota merupakan 
realisasi Sumpah Pemuda 1928 dan sekaligus bagian dari proses penumbuhan 
integrasi nasional (hal yang sama menjadi tujuan PON setelah Indonesia merdeka).

Ketiga, tujuan organisasi persepakbolaan yang digagas dan direalisasikan adalah 
mencapai kedudukan yang setara dengan orang-orang Eropa (dan juga Tionghoa). 
Untuk itu Soeratin rela berkorban, ia keluar dari perusahaan konstruksi Belanda 
saat memegang posisi bagus agar dapat mengurus "sepak bola kebangsaan". 
Pengangkatan Soeratin sebagai pahlawan nasional diharapkan menjadi momentum 
untuk membangkitkan kembali sepak bola di tanah air yang suatu ketika sempat 
membuat prestasi yang membanggakan. 

Terhambat 

Pada awal November 2006 disebutkan bahwa Soeratin adalah satu dari 14 tokoh 
yang dicalonkan sebagai pahlawan nasional. Namun dalam pengumuman yang 
dikeluarkan kemudian, nama ini menghilang. Timbul pertanyaan, apakah 
kepahlawanan dinilai tidak memenuhi syarat? 

Saya bertemu dengan seorang sejarawan yang menjadi tim penilai pahlawan ini. 
Ternyata alasan penolakannya bersifat administratif. PSSI telah mengirimkan 
usulan yang konon didukung oleh Wali Kota Yogyakarta (kota kelahiran Soeratin) 
dan Wali Kota Bandung (domisili Soeratin di ahir hayatnya). Namun PSSI hanya 
mengirimkan buku PSSI Alat Perjuangan Bangsa dan brosur kecil Perjuangan Ir. 
Soeratin Sosrosoegondo yang diterbitkan dalam rangka peringatan 75 tahun PSSI 
April 2005. 

Tim penilai mengharapkan sebuah buku yang khusus ditulis untuk pencalonan 
pahlawan ini secara ilmiah. Tanggal 22 Juni 2006 diadakan seminar di Senayan 
untuk mendiskusikan tentang peran Soeratin dalam persepakbolaan nasional. 
Sayangnya PSSI tidak melampirkan makalah seminar ini beserta transkrip diskusi 
kepada tim penilai kepahlawanan nasional. 

Semoga ada pahlawan nasional yang berjasa dalam menjadikan olah raga sebagai 
sarana perjuangan bangsa.*** 

Penulis, ahli Peneliti Utama LIPI, Redaktur Pelaksana Majalah "Sportif" 
1982-1983. 

Reply via email to