http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/09/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY -------------------------------------------------------------------------------- Menakar Efisiensi Industri Migas Indonesia Oleh Susana Kurniasih Akhir-akhir ini beberapa kalangan mempermasalahkan efisiensi kegiatan sektor hulu migas Indonesia. Mereka menilai usaha tersebut dijalankan dengan tidak efisien. Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas hal-hal yang dapat dijadikan tolok ukur penilaian, yaitu porsi bagi hasil atau fiscal terms, margin keuntungan yang diterima setiap pihak (pemerintah dan kontraktor), serta perbandingan biaya dengan negara-negara lain. Dengan mekanisme seperti itu, kalangan pebisnis migas inter- nasional menilai, Indonesia memiliki fiscal terms yang ketat. D Joseph E. Stiglitz (pakar yang sangat concern terhadap pengelolaan sumber daya alam di negara-negara berkembang) sebagai editor buku "Escaping the Resource Curse" (2007) menunjukkan, dibanding negara-negara lain, porsi yang diterima Pemerintah Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Posisi Indonesia ini hanya berbeda tipis dari raksasa-raksasa migas dunia seperti Libya, Venezuela, dan Iran. Chakib Khelil, mantan Menteri Pertambangan dan Energi Aljzair dalam sebuah jurnal yang diterbitkan World Bank juga menuliskan, fiscal terms yang diterapkan oleh Indonesia masuk dalam kategori "very tough". Artinya, alokasi bagi hasil untuk pemerintah sangat tinggi. Kedudukan Indonesia sejajar dengan Rusia, Venezuela, Angola, Nigeria, Suriah, dan Yaman. Pendapat mereka diperkuat oleh pakar fiscal terms industri migas internasional, Daniel Johnston. Hasil analisanya yang dimuat dalam bukunya, "International Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts" (pegangan wajib ahli-ahli ekonomi migas) menyebutkan bahwa dibanding biaya kapital pengembangan lapangan dan ukuran lapangan yang dikembangkan, bagian kontraktor di Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan negara-negara lain. Profit Margin Ukuran lain yang perlu dilihat untuk menilai efisiensi suatu industri adalah profit margin. Komentar-komentar yang banyak muncul akhir-akhir ini menduga bahwa cost recovery atau pengembalian biaya yang digunakan untuk pengusahaan migas kepada kontraktor, di Indonesia sangat tinggi. Secara logika ekonomi dan bisnis, komentar ini tidak pas karena efisiensi suatu bisnis tidak ditentukan semata-semata oleh besaran biaya. Biaya dapat saja sangat tinggi selama revenue yang dihasilkan juga meningkat tinggi. Jadi tinggi rendahnya nominal biaya bukan merupakan ukuran efisiensi bisnis. Ukuran yang lebih logis untuk menilainya adalah profit margin. Buku terbaru Stiglitz tersebut memperlihatkan bahwa efisiensi di industri migas Indonesia tergolong sangat bagus. Analisanya didasarkan pada biaya yang dikeluarkan (cost recoverable) dan pendapatan (gross revenue) yang diterima pemerintah dari kegiatan tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2006 angka cost recoverable sebesar US$ 8,1 miliar, namun gross revenue yang dihasilkan adalah sebesar US$ 36,3 miliar. Hal ini berarti cost recoverable hanya 22 persen, dan profit margin sebesar 78 persen. Sungguh suatu angka yang sangat tinggi dibandingkan industri manapun. Kabar baiknya lagi, selama lima tahun terakhir ini persentase cost recoverable cenderung menurun. Memang diakui, secara nominal angka cost recoverable meningkat karena harga minyak yang cenderung naik sehingga menyebabkan biaya produksi meningkat. David Cohen menuliskan dalam Buletin Energy ASPO-USA pada awal Agustus 2007 lalu, bahwa sejak tahun 2005 terdapat kenaikan biaya pengusahaan hulu migas sebesar 53 persen akibat kenaikan harga-harga drilling rigs, offshore installation vessels, peralatan, shipyards, pabrikasi, dan tenaga kerja yang berkualitas. Namun sekali lagi, persentase kenaikan biaya operasi itu lebih kecil dibanding persentase kenaikan pendapatan. Perbandingan Biaya Untuk memastikan efisien tidaknya industri hulu migas Indonesia, kita juga bisa membandingkan biaya operasi yang dikeluarkan oleh perusahaan migas multinasional yang beroperasi di Indonesia dengan yang ada di negara-negara lain. Perbandingan menarik dapat dilihat pada biaya operasi industri hulu migas (eksplorasi dan produksi) Premier Oil. Perusahaan multinasional migas independen yang memiliki wilayah kerja di North Sea, Timur Tengah, Asia (termasuk Indonesia) dan Afrika ini, dalam laporan keuangannya secara konsolidasi menunjukkan bahwa persentase biaya operasi terhadap pendapatan berada di atas 65 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase cost recoverable terhadap revenue di Indonesia yang berada pada kisaran 20 - 30 persen. Perbandingan biaya produksi per barrel minyak juga menunjukkan hal yang sama. Pada tahun 2005, biaya produksi Premier Oil secara konsolidasi mendekati US$ 15 per barrel, dan biaya operasi per barrel mendekati US$ 20, sementara dalam operasinya di Indonesia, Premier Oil hanya mengeluarkan biaya produksi sebesar US$ 2,86 per barrel dan biaya operasi US$ 6,74 per barrel. Secara umum, rata-rata biaya produksi KKKS Indonesia pada tahun 2005 hanya US$ 5,11 per barrel dan biaya operasi hanya US$ 9,10 per barrel. Sedang rata-rata biaya produksi perusahaan migas terkemuka di dunia, seperti Shell, Chevron, ConocoPhillips, ExxonMobil, dan BP berada di atas US$ 10 per barrel equivalent, sementara biaya operasi per barrel hampir mencapai US$ 16. Negara-negara seperti Angola, Tiongkok, Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada memiliki biaya per barel jauh di atas Indonesia. Jadi, berdasarkan tiga hal yang bisa disebut sebagai parameter untuk menilai efisiensi industri migas di Indonesia, jelas memperlihatkan sebuah paket yang bagus karena memberi profit maksimal bagi negara dan efisien. Dalam kaitan itu, kita layak berhati-hati membahas perubahan production sharing contracts (PSC). Jangan sampai memberi sinyal buruk kepada investor karena mereka merasa tidak memiliki kepastian hukum dan membuat industri migas menjadi kurang, atau bahkan tidak ekonomis. Beban Finansial Dengan melihat pada persentase bagi hasil production sharing contracts (PSC) Indonesia yang sebenarnya sudah cukup berat bagi kontraktor, pengenaan beban finansial tambahan kepada kontraktor (berupa penurunan persentase bagi hasil, peningkatan tarif pajak, pengenaan pajak baru, dan lain-lain) dapat mengurangi minat investor untuk menanamkan investasi di industri hulu migas Indonesia. Hal ini penting untuk dipertimbangkan mengingat kondisi penurunan alamiah produksi minyak mentah di Indonesia dan membumbungnya harga minyak mentah yang juga berimbas pada biaya subsidi BBM. Selain itu, mengacu pula pada makin ketatnya persaingan untuk menarik investasi dengan negara-negara lain yang memiliki cadangan dan kemampuan produksi yang lebih besar. Penulis adalah pengamat masalah Perminyakan Last modified: 9/11/07