Jumat, 09/11/2007 11:10 WIB

Strategi energi Indonesia
oleh : Christovita Wiloto

Badan riset Departemen Energi AS memprediksikan bahwa pada tahun 1980-an harga 
minyak dunia dapat mencapai US$100 per barel, mendekati kenyataan pada akhir 
2007 ini. 

Meskipun Indonesia adalah salah satu anggota OPEC, tetapi jumlah impor minyak 
kita terus meningkat. Rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga 
nuklir mendapat tantangan berbagai pihak karena khawatir risiko yang dapat 
mengancam manusia dan kerusakan lingkungan hidup yang serius. 

Pelaksanaan program pengalihan konsumsi minyak tanah rumah tangga yang 
bersubsidi ke pemakaian gaspun masih tersendat-sendat. Sementara itu rapor 
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam masa tiga 
tahun ini tidak juga menunjukkan kemajuan di sektor penciptaan lapangan kerja, 
jumlah rakyat miskin pun semakin bertambah. 

Setelah era Soeharto, belum ada lagi presiden Indonesia yang melakukan 
kebijakan yang cukup signifikan bagi rakyat Indonesia. BJ Habibie dikenang 
dengan lepasnya Timor Timur. Gus Dur dikenang karena gaya LSM-nya. Megawati 
dikenang dengan kiat 'melempar kesalahan' kepada rezim Soeharto, sambil 
melepaskan Indosat dan aset strategis negara lainnya, tetapi juga sukses 
menyelenggarakan pemilu pertama secara demokratis. 

Terlepas dari dosa-dosa Soeharto yang sulit dibuktikan secara hukum, bagi 
kalangan bawah Soeharto dikenang dengan harga BBM termurah di Asia (kecuali 
Brunei), beras murah dan sebagai 'pemimpin' Asean di zamannya. Kemanjaan 
masyarakat menikmati BBM murah selama Soeharto berkuasa, menjadi batu sandungan 
dan bola panas bagi presiden-presiden RI berikutnya. 

Megawati mencoba menaikkan harga BBM secara bertahap, tetapi laju kenaikannya 
kalah cepat dengan kenaikan harga minyak dunia. Akibatnya Megawati tidak berani 
memainkan bola panas itu menjelang pemilu 2004, agar tidak 'terbakar' situasi 
politik, sosial, budaya dan keamanan Indonesia. 

Kiat ini tidak sukses sepenuhnya karena pada putaran akhir persaingan pada 
pemilu, Megawati kalah, dan perolehan kursi PDIP di DPR berada di bawah Golkar. 
Megawati mengalami double lost. 

Duet SBY-JK hanya beberapa waktu setelah resmi diangkat menjadi Presiden dan 
Wakil Presiden terpilih, langsung mengambil risiko menetapkan kenaikan harga 
BBM 50%-100% lebih, dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan dari kenaikan 
harga minyak dunia. Suatu kebijakan yang sangat pahit dan tidak populer ini 
akhirnya menuai kecaman di mana-mana. 

Mengapa duet pilihan langsung rakyat ini berani? Alasannya selain ingin 
menyehatkan APBN, sebetulnya secara perhitungan risikonya cukup tepat. Pertama, 
telah sesuai konstitusi, artinya pasangan ini legitimasinya sangat kuat, karena 
pilihan langsung rakyat dan sangat sulit dijatuhkan oleh DPR. Kedua, TNI-Polri 
loyal terhadap pemerintah. Ketiga, timbul kesan bahwa 'kesalahan' menunda 
kenaikan harga BBM ada di pundak Megawati yang ingin memenangkan pemilu. 

Namun, skenario menyehatkan APBN ini, rontok dalam tahun ketiga era duet 
SBY-JK. Hal ini terjadi karena kenaikan harga minyak dunia semakin liar tak 
terkendali. 

Berbagai kebijakan OPEC sendiri juga tidak mampu mempengaruhi kondisi ini 
dengan signifikan. Berbagai alasan dikemukakan sebagai penyebab kenaikan yang 
di luar kendali ini. Salah satu alasan klasik adalah politik luar negeri AS 
yang agresif di berbagai belahan dunia terutama di kawasan Timur Tengah. 
Terutama ketika pecah perang Irak, maka harga minyak duniapun bergejolak. 

Saat ini disebut-sebut tentang kemungkinan pecahnya perang antara Turki dan 
kelompok Kurdi di Irak Utara. Sedangkan naiknya permintaan, karena datangnya 
musim dingin di Eropa dan AS dinilai sebagai kenaikan normal. Padahal, semua 
itu hanya pemicu, sedangkan penyebab utamanya terletak pada strategi AS dalam 
mengamankan ketersediaan pasok minyaknya secara berkelanjutan. 

Bila dicermati lebih dalam, ada sebab mendasar di luar kekuasaan manusia, yaitu 
terbatasnya deposit minyak. Hal ini disebabkan karena sumber energi ini tidak 
diperbaharui atau akan segera habis. Oleh karena itu, AS berusaha mencari dan 
mengeksploitasi sumber minyak di manapun di muka bumi ini, sambil menghemat 
cadangan yang ada diteritorialnya sendiri. 

Ketika OPEC mencoba memanfaatkan minyak sebagai kekuatan tawar terhadap AS, AS 
dengan gesit segera konsolidasi, mencari sumber eksplorasi baru dan hanya dalam 
waktu sekitar satu dasawarsa 'gigi' OPEC menjadi tumpul. 

Produksi minyak dari negara non OPEC naik dengan signifikan, sehingga merekapun 
dapat berkontribusi dalam penentuan harga. Jika memakai istilah globalisasi, 
maka minyak menjadi salah satu komoditas sensitif dalam permainan negara besar 
dan super power yang diberi istilah eksklusif global, sementara negara lain 
hanya menjadi pelengkap penderita. 

Strategi Indonesia 

Dari gambaran di atas, apa yang harus dilakukan Indonesia? Jika kita tidak 
ingin hanya menjadi pelengkap penderita dari globalisasi, Indonesia harus 
segera meletakkan dasar-dasar pengembangan sumber energi alternatif. Dan ini 
harus menjadi komitmen nasional bangsa Indonesia. 

Kita jangan terbuai dengan perhitungan perhitungan ketersediaan cadangan minyak 
dan gas di teritorial Indonesia yang katanya masih sangat besar jumlahnya. 
Terbukti proses konversi minyak tanah ke gas saja tidak menjawab masalah, 
karena gas juga tidak terperbaharui dan akan musnah. 

Sebetulnya, begitu banyak pilihan sumber energi yang telah didukung oleh 
berbagai riset ilmiah. Pemerintah dapat memilih sesuai dengan potensi alam di 
daerah atau wilayah Indonesia masing-masing. Investasi di sektor ini dalam 
jangka panjang akan membawa kebaikan bagi bangsa. Ada biogas, geothermal, 
biodiesel, energi surya, dan tenaga air yang secara alamiah sangat melimpah dan 
dapat dikembangkan di Indonesia. 

Indonesia jangan terjebak pada pilihan tradisional, yang menyamaratakan kondisi 
daerah. Jalan keluar yang ditempuh PLN selama ini selain tenaga air dan 
batubara adalah mesin diesel yang sangat boros BBM. Pilihan ini sudah pasti 
harus segera ditinggalkan. 

Pilihan PLTN (nuklir) juga tidak serta merta dapat memproduksi listrik murah. 
Jika secara relatif PLTN sama mahalnya, mengapa Indonesia tidak mengembangkan 
pilihan alternatif sumber energi yang lain? 

Di sektor energi ini Presiden SBY dapat memutuskan kebijakan yang fenomenal, 
menyangkut hajat hidup masyarakat luas, dan sekaligus memberdayakan penduduk di 
pulau besar maupun pulau kecil. 

Satu hal yang pasti bahwa bukan pada era SBY-JK kebijakan itu terealisasi, 
tetapi pilihan meletakan dasar kebijakan energi yang melibatkan komitmen 
nasional dan langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak akan menjadi 
citra positif yang ditinggalkan oleh keduanya. 

Peluang ini terbuka lebar, kecuali SBY-JK hanya akan meneruskan citra presiden 
setelah Soeharto, sebagai presiden yang 'nothing special' bagi bangsa. Tidak 
akan terpatri dalam ingatan rakyat biasa, meskipun pemimpinnya meraih 
penghargaan nobel, kalau tidak memberi manfaat langsung kepada rakyat.


bisnis.com


URL : http://web.bisnis.com/kolom/2id636.html 

© Copyright 1996-2007 PT Jurnalindo Aksara Grafika

<<logo-bisnis-small.jpg>>

Reply via email to