KOMPAS
Sabtu, 10 November 2007

 
Pahlawan Nasional Ignatius Slamet Rijadi 


Julius Pour 

Sabtu (4 November 1950) sore Letkol Ignatius Slamet Rijadi memerintahkan 
pasukan Groep II Komando Pasukan Maluku Selatan atau KP Malsel mendekati 
Benteng Victoria, Ambon. 

Menurut laporan intelijen, di benteng bekas VOC itu masih bertahan sisa-sisa 
pasukan Republik Maluku Selatan (RMS). Pada sisi lain, Pak Met, begitu 
panggilan akrabnya dari semua anak buahnya, juga menerima informasi, benteng 
itu pada Jumat siang sudah bisa direbut oleh pasukan Mayor Lukas Koestarjo dari 
Divisi Siliwangi. 

Slamet Rijadi ada di dalam panser paling depan, dikemudikan Kapten Klees, 
Komandan Eskader Kavaleri. Di belakangnya, dua panser lain mengikuti. Tiba-tiba 
tembakan gencar berdatangan dari arah benteng, langsung menghujani pertahanan 
pasukan TNI. Pak Met kaget. Sementara itu, Klees langsung memerintahkan anak 
buahnya segera membalas tembakan. Tiba-tiba Pak Met berteriak, "Stop het 
veuren. Hentikan tembakan." 

"Mengapa Overste?" tanya Kapten Klees heran. 

Pak Met menukas, "Ini semua salah paham. Lihat, mereka semua mengibarkan Merah 
Putih dari dalam benteng. Pasti mereka TNI, anak-anak Siliwangi. Saya akan 
keluar memastikan.." 

Klees berusaha mempertahankan pendapatnya, "Overste, saya bekas KNIL. Saya tahu 
cara bertempur mereka. Bisa saya pastikan, mereka adalah bekas KNIL yang 
bergabung ke RMS. Jangan hiraukan mereka, meski mereka mengibarkan Merah 
Putih.." 

Jawaban Pak Met amat mengejutkan, "Saya Komandan KP Malsel. Lihat tembakan 
mereka sudah berhenti. Saya akan keluar untuk lebih memastikan, buka canopy 
(kubah) panser." 

"Siap Overste," jawab Klees sambil menarik tungkai pembuka kubah panser. Pak 
Met keluar panser, tanpa memakai topi baja. Hanya membawa teropong sambil 
berkalungkan owen gun, senapan otomatis kesayangannya. 

Apa yang dikawatirkan Klees menjadi kenyataan. Slamet Rijadi tidak pernah tahu 
bahwa pada Sabtu dini hari pasukan komando RMS telah menguasai kembali Benteng 
Victoria sekaligus mengusir keluar anak buah Lukas Koestarjo. Maka, apa yang 
disangka Slamet Rijadi bahwa benteng itu masih dikuasai TNI, keliru. Seorang 
sniper (penembak jitu) RMS dari atas Benteng Victoria Sabtu sore itu bagai 
menemukan durian runtuh. Dengan jelas, dia melihat Slamet Rijadi keluar dari 
dalam panser. Sebuah tembakan langsung terdengar, pelurunya meluncur tepat 
mengenai bagian perut Pak Met. 

Melihat tubuh komandannya jatuh, Klees langsung memerintahkan kedua panser lain 
menghujani benteng dengan tembakan gencar. Tindakan itu agar bisa memberi 
kesempatan kepada dirinya membawa Pak Met ke garis belakang di Laha. Tubuh 
Slamet Rijadi langsung diangkut ke KM Waibalong yang membuang sauh di depan 
Pelabuhan Laha. Beberapa jam kemudian, Mayor Dr Abdullah, perwira kesehatan, 
memberi laporan kepada Kolonel Alex Kawilarang, Panglima KP Malsel, "Letnan 
Kolonel Ignatius Slamet Rijadi gugur pada sekitar pukul 11.30 Sabtu malam.." 

Ganti nama 

Jumat kemarin pemerintah mengangkat Brigadir Jenderal (Anumerta) Slamet Rijadi 
sebagai Pahlawan Nasional. Dalam upacara di Istana Negara, Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono juga menyampaikan anugerah Bintang Mahaputera Utama. Lalu, 
pada Senin (12/11) siang, KSAD Jenderal Djoko Santoso bertindak sebagai 
Inspektur Upacara pada peresmian patung Ignatius Slamet Rijadi di Jalan Slamet 
Rijadi, jalan raya yang membelah kota Solo, Jawa Tengah. 

Slamet Rijadi dilahirkan di Kampung Danukusuman Solo pada Rebo Pon, 28 Mei 1926 
dengan nama Soekamto. Karena semasa kecil sering sakit, namanya diganti menjadi 
Slamet. "...ketika di SMP Negeri II Solo banyak anak bernama Slamet. Maka oleh 
gurunya diberi tambahan nama, maka jadilah sampai sekarang Slamet Rijadi," kata 
Kolonel (Purn) Soejoto, teman main Pak Met sejak kecil, yang kemudian menjadi 
anak buah saat bergerilya di daerah Solo, menumpas gerombolan DI di Jawa Barat, 
dan dalam operasi menumpas RMS mulai dari Pulau Buru sampai ke Pulau Ambon, 
Maluku. 

Dengan demikian, Pak Met gugur saat usianya belum genap 24 tahun. Namun, meski 
hidupnya amat singkat, jejak serta teladan yang ditinggalkan amat mengesankan. 
Dia tidak hanya seorang jago tempur, yang dilakukan secara otodidak dengan 
belajar dari buku dan majalah militer, oleh karena dia terjun menjadi anggota 
militer semata-mata untuk memenuhi panggilan revolusi sehingga bukan lewat 
jalur formal. 

Namun, Pak Met, amat berbeda dengan para pemimpin perang lain, meninggalkan 
naskah tertulis yang masih bisa dipakai sampai hari ini dalam judul Pedoman 
Gerilya I dan II. Bahkan, berbeda dengan AH Nasution atau TB Simatupang, yang 
menulis bukunya sesudah perang selesai. "Pak Met menulis di tengah pertempuran, 
berdasarkan pengalaman yang ditemukan selama perang. Salah satu yang legendaris 
adalah petunjuknya, de beste verdediging ligt juist in de anvall. Pertahanan 
terbaik teletak pada penyerangan," kata Kolonel (Purn) Aloysius Soegianto, 
tokoh intelijen sekaligus bekas ajudan Pak Met. 

Pasukan komando 

Seusai operasi penumpasan RMS, saat Alex Kawilarang sudah diangkat sebagai 
Panglima Siliwangi, dia teringat gagasan Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan 
komando, "...yang terampil dalam bertempur dalam semua medan sekaligus mahir 
menggunakan aneka macam senjata." 

Kawilarang memerintakan Soegianto mencari Visser, bekas kapten pasukan komando 
Belanda, yang karena bercerai minta pensiun dini dan tidak mau pulang ke Negeri 
Belanda. 

Soegianto mengungkapkan, "Visser saya temukan sudah menjadi petani kembang di 
Pacet dan berganti nama jadi Mohammad Idjon Djanbi. Dia lalu diaktifkan sebagai 
mayor dalam dinas TNI oleh Panglima Kawilarang, diminta melatih dan membentuk 
pasukan komando." Jadilah kemudian pasukan Baret Merah KKAD (Kesatuan Komando 
Angkatan Darat) yang nantinya tumbuh menjadi RPKAD, Sandi Yudha, dan kini 
dikenal sebagai Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI Angkatan Darat. Karena 
itu, Pak Met juga dikenal sebagai tokoh penggagas terbentuknya pasukan komando 
di Indonesia. 

Pak Met gugur dalam usia muda. Namun, dia telah meninggalkan jejak panjang dan 
sangat bermakna. Khususnya sebuah teladan dalam perjuangan menegakkan Republik 
Proklamasi serta menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Julius Pour Wartawan; Penulis Biografi 

Reply via email to