http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=32356
Hak pilih Polri dalam Pemilu 2009 (1) Tanggal : 21 Nov 2007 Sumber : Harian Terbit Oleh Teguh Soedarsono MENGAWALI kajian ini terlebih dahulu kita samakan persepsi tentang berbagai makna yang terkandung dalam judul topik masalah ini. "Hak Pilih" secara harfiah meliputi makna "hak memilih" dan "hak dipilih", sedangkan kata "Polri" menurut ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terdiri dari "anggota Polri" dan "Pegawai Negeri Sipil (PNS)." Sementara itu "Pemilu 2009" adalah wujud pesta dan penerapan asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, khususnya untuk memilih wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga legislatif dan pasangan Presiden/Wakil Presiden untuk periode masa waktu 5 (lima) tahun ke depan (2009-2014). Untuk memenuhi kepentingan dan kemampuan dalam proses Pemilu 2009 tersebut di atas, Polri dituntut untuk berbuat, berkehendak, dan bekerja secara netral di samping penampilannya yang juga mandiri, proporsional, dan profesional. Cerminan kenetralan, kemandirian, proporsionalisme, dan profesionalisme Polri tersebut harus ditampakkan dalam keberadaan dan pelaksanaan kerjanya sebagai "Pengayom, Pelindung, dan Pelayan Masyarakat". Ini merupakan fungsi kerja kepolisian maupun keberadaan dan pelaksanaan kerjanya sebagai "Penegak Hukum juga sebagai Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat" yang merupakan fungsi kerja unsur aparatur negara. Penampilan dan unjuk kerja tersebut harus ditampakkan juga dalam keberadaan dan kinerjanya sebagai unsur pengaman, pengawas, maupun pengawal pelaksanaan Pemilu 2009 pada setiap tahapannya. Dalam hal ini Polri dituntut dapat bersikap "netral" dalam melaksanakan dan memberikan setiap layanan fungsi kepolisian yang diembannya, di samping itu juga Polri dituntut mampu bergerak bebas dan selalu dirasakan berada di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Memperhatikan tuntutan tugas dan kewajiban tersebut di atas, maka wacana keberadaan Polri dalam Pemilu 2009 harus mempertimbangkan berbagai hal sebagai berikut : a. Bahwa untuk menjaga dan mewujudkan netralisme, keutuhan, dan profesionalisme Polri secara perorangan maupun kelembagaan, diperlukan kearifan dan kelegowoan dari setiap anggota Polri untuk mengenyampingkan penggunaan hak dan atau pemenuhan hak-hak politiknya, tanpa harus merasa kehilangan hak asasinya sebagai anggota masyarakat, anak bangsa, maupun warga negara Indonesia; b. Bahwa untuk mewujudkan peran dan tugasnya secara proporsional dan profesional dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, maupun dalam tugas penegakan hukum dan pembinaan keamanan dan ketertiban, terlebih untuk melaksanakan visi, misi, dan strategi "Community Policing" atau "Perpolisian Masyarakat" dalam kerja Polri diperlukan status dan perilaku kerja yang solid dan tidak berpihak pada suatu kepentingan golongan dan atau terlibat dalam aktivitas politik praktis dari partai-partai tertentu; c. Bahwa untuk mewujudkan dan menjaga kelangsungan "Agenda dan Kepentingan Nasional" seperti Penyelenggaraan Pemilu 2009 guna mewujudkan kelangsungan dan keberlanjutan Tata Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Indonesia, diperlukan gugusan dan atau satuan kemampuan Polri yang tangguh, utuh, dan profesional yang dibentuk dan dapat ditampilkan dalam kondisi perhatian yang terfokus dan dalam kesempatan yang memadai; d. Bahwa untuk melaksanakan peran dan tugas Polri sebagai unsur pengamanan dan pengawas dalam proses Pemilu 2009 secara "Jurdil dan Luber" diperlukan suatu tampilan dan sikap kerja Polri yang tegas, netral, dan wibawa. Untuk hal ini Polri harus dalam keadaan yang tidak terikat dan tidak terpengaruh atau dipengaruhi oleh suatu kepentingan golongan dan atau aktivitas politik praktis dari partai-partai politik yang akan menjadi kontestan Pemilu 2009 tersebut; e. Bahwa untuk menghindari dari kondisi yang mengarah pada lunturnya mutu kerja dan profesionalisme dalam unjuk kerja fungsi Kepolisian, dan atau menurunnya loyalitas, dedikasi, serta kinerja Polri dalam pelaksanaan tugasnya, maupun menipisnya kedisiplinan dan kepatuhan anggota terhadap visi, misi, maupun etika Polri yang disebabkan oleh tarikan-tarikan kepentingan partai-partai politik seperti yang pernah dialami masa lalu, diperlukan keberadaan Polri yang netral dan bebas dari intrik dan atau kepentingan golongan dan atau dari aktivitas politik praktis dari partai politik tertentu; serta f. Bahwa untuk menjaga imej masyarakat yang mendambakan keberadaan dan peran Polri agar dapat menjadi "Benteng Negara, Pembina Masyarakat, Wasit Kemurnian Demokrasi dalam Pemilu, maupun "Agent of Change" dalam Reformasi Nasional", diperlukan komitmen, konsistensi, dan kejujuran yang mendalam dari Polri dalam bertindak bebas dan berperilaku netral. Di samping itu berbagai kebijakan dan keputusan seluruh anggota Polri dalam penggunaan Hak Pilih pada Pemilu 2009 juga harus memperhatikan dan mendasarkan norma-norma sebagai berikut: a. Pasal 4 Ayat (2) ICCPR yang telah diratifikasi oleh UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak sipil dan Politik) yang menyatakan, "Walaupun Hak Politik dalam Pemilu merupakan salah satu bentuk "Hak Asasi Manusia", namun hak tersebut bukan merupakan "Underogable Rights." b. Data monitoring Polri selama ini yang menyatakan bahwa penggunaan Hak Pilih Polri dalam pemilu telah menjadikan peluang bagi masuknya "Intrik Kepentingan Golongan" dan atau "Tarikan Massa Aktivitas Politik Praktis dari Partai-partai Politik", yang dapat menjadi sumber konflik dan atau penyebab retaknya soliditas Polri sehubungan dengan "Conflict of Interest" yang terjadi dalam kelangsungan kelembagaan maupun pelaksanaan tugas Polri. Kondisi tersebut akan lebih diperparah lagi dengan kondisi kesejahteraan Polri yang relatif belum baik. Karena itu untuk menghindari keadaan yang demikian, maka Polri harus dijauhkan dari segala tarikan kepentingan-kepentingan golongan maupun aktivitas partai-partai politik; c. Bahwa untuk upaya meningkatkan kemampuan profesionalisme fungsi kepolisian maupun fungsi penegakan hukum, dalam keberadaan maupun kerja Polri perlu dihindarkan berbagai hal yang memungkinkan menimbulkan perbedaan-perbedaan. Seperti keterikatan kepentingan golongan dan atau tarikan-tarikan paham dan atau aktivitas politik praktis dari partai-partai politik, maupun visi dan misi lain di luar Polri yang dapat memecahkan soliditas kemampuan, komitmen kerja, maupun konsistensi kerja Polri; d. Bahwa jumlah Polri pada tahun 2009 yang diperkirakan berjumlah 389.004 orang, terdiri dari 379.904 anggota Polri aktif dan 23.359 anggota personil PNS diprediksikan "tidak signifikan" untuk mampu mendongkrak perolehan suara partai-partai politik yang bersangkutan. Selain itu penggunaan hak memilih Polri yang disalurkan melalui partai-partai politik kontestan Pemilu 2009 tersebut diprediksikan juga "tidak akan memberikan manfaat yang besar bagi kelembagaan maupun perorangan Polri". Untuk itu diperlukan kecermatan dan kematangan berpikir dalam Penggunaan Hak Memilih Polri pada Pemilu 2009 yang akan datang tersebut; e. Bahwa untuk dapat menjaga obyektivitas, efektivitas, dan optimalitas kinerja maupun hasil kerja Polri, perlu ditata dan dikembangkan wujud netralitas Polri dalam membangun dan membina profesionalisme kemampuan dalam keikutsertaannya mewujudkan dan menegakkan Kepentingan Nasional, Agenda Nasional, dan Pembangunan Nasional yang telah ditentukan; dan f. Bahwa disadari Polri masih harus belajar lebih banyak dan perlu secara terus-menerus menggali pengalaman dalam mencermati kiprah politik praktis dari partai-partai politik, terlebih dengan kondisi masih tebalnya "Kultur Kepentingan" yang dapat menyeret pada keadaan yang penuh dengan conflict of interest serta meruaknya "Politik Otonomi (Sistem Parokial)" yang memungkinkan Polri terkooptasi dalam sikap pemihakan. (Penulis adalah Pembina Divisi Hukum Polri)