Reflekis: Lebih mudah mendapat izin untuk mendiritkan rumah pati pijit-pijitan dari pada rumah ibadah agama kaum minoritas.
http://www.sinarharapan.co.id/opini/index.html Menata Hubungan Negara dan Agama Oleh Uli Parulian Sihombing Munculnya permasalahan kesulitan pengurusan perizinan tempat ibadah, kriminalisasi terhadap kelompok agama atau kepercayaan baru (newly established beliefs/religions) merupakan bentuk campur tangan negara terhadap agama/kepercayaan. Seberapa jauh hubungan negara dengan agama? Menurut konstitusi kita, Pasal 28 E Ayat (1) UUD 1945 menjelaskan setiap orang bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah. Sementara itu, Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menjelaskan negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, kita bukan negara sekular ataupun negara agama. Ini berarti, tidak ada kejelasan model hubungan antara negara dengan agama, akibatnya negara atas nama konstitusi mencampuri urusan agama atau kepercayaan. Bolehlah kita belajar dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Turki, yang telah merumuskan model hubungan negara dengan agama. Terlepas dari kelemahan dan kelebihan model yang sudah mereka terapkan, hal tersebut bisa menjadi cermin untuk melihat ke depan agar kita lebih baik lagi di dalam menata hubungan antara negara dan agama. Thomas Jefferson, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), pernah mengatakan di dalam suratnya untuk the Danbury Baptists bahwa harus ada tembok pemisah (the wall of separation) antara negara dan agama. Jefferson merujuk amendemen pertama Konstitusi Amerika Serikat yang menyebutkan secara tegas melarang negara untuk mendirikan agama resmi dan memberikan kebijakan bebas pajak untuk kelompok keagamaan (the establishment clause). Di pihak lain, Konstitusi AS menegaskan negara harus menjamin kebebasan individu untuk menjalankan ibadah (the free exercise clause). John Locke adalah orang yang mempengaruhi pola pemikiran Jefferson dan Konstitusi AS untuk merumuskan model yang ideal mengatur hubungan negara dengan agama. Gagasan John Locke, di dalam bukunya kontrak sosial, menawarkan konsep cerdas mengatur hubungan negara dengan agama. Locke menjelaskan negara tidak punya otoritas untuk mengatur agama. Ini menandakan pemisahan wilayah publik dan privat. Gagasan Locke ini merupakan reaksi atas kondisi di Inggris ketika Inggris menjajah AS, di mana negara menjadikan agama sebagai landasan pembenaran atas tindakannya. Harus Netral Gagasan Locke juga menjadi inspirasi Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Sipol) yang menegaskan bahwa agama atau kepercayaan adalah wilayah pribadi (private sphere) yang tidak bisa "dijamah" oleh negara kecuali ketika ada kelompok agama atau kepercayaan yang dalam menyebarkan ajarannya menggunakan cara-cara yang kekerasan atau pemaksaan, maka negara atas nama ketertiban umum (public order) dapat membatasi kebebasan beragama tersebut. Pasal 18 Ayat (3) menjelaskan tidak mudah untuk negara ketika membatasi kebebasan eksternal individu untuk melaksanakan ajaran agamanya, yaitu harus berdasarkan undang-undang, ada legitimasinya seperti untuk menjaga public order atau untuk melindungi hak atau kebebasan orang lain. Pembatasan tersebut dilakukan secara proporsional di dalam suatu masyarakat yang demokratis di mana pertimbangan keberagaman yang menjadi dasar pembatasan tersebut. Jelas sekali, pemerintah melanggar Pasal 18 Ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipol, yang sudah diratifikasi menjadi UU No12/2005, ketika mempersulit perijinan pendirian tempat ibadah atau mengkriminalkan kelompok agama atau kepercayaan. Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipol secara tidak langsung mensyaratkan negara harus sekular, karena pasal tersebut memisahkan antara wilayah publik dan privat. Negara tidak boleh memasuki wilayah privat, sebaliknya identitas keagamaan atau kepercayaan tidak boleh hadir di wilayah publik. Syarat yang lain adalah negara harus netral di dalam masalah keagamaan atau kepercayaan. Negara mengurus perizinan pendirian rumah ibadah menunjukan negara tidak netral di dalam masalah keagamaan atau kepercayaan. Memang ada pembatasan di dalam melaksanakan hak atas kebebasan beragama, tetapi pembatasan itu hanya ditujukan untuk kebebasan yang sifatnya eksternal dan jika hal tersebut berbenturan dengan masalah-masalah kriminal. Konstitusi Prancis dan Turki menegaskan total pemisahan antara dengan agama, sehingga jangan heran kalau di Prancis dan Turki ada larangan memperlihatkan identitas keagamaan atau kepercayaan di wilayah publik. Pemerintah Turki dan Prancis, seperti di sekolah-sekolah pemerintah ataupun di kantor-kantor pemerintahan, pemerintah kedua negara tersebut melarang setiap orang membawa identitas keagamaan atau kepercayaan. Larangan itu berlaku untuk untuk mayoritas maupun minoritas. Sekularisme Perbedaan sekularisme di AS dengan di Turki dan Prancis adalah di AS dikenal istilah sekularisme semu (pseudo-secularism) karena di dalam kondisi tertentu negara masih bisa berhubungan dengan agama, misalnya Mahkamah Agung (MA) AS, di dalam kasus Agostini versus Felton, menyatakan tidak dilarang oleh Konstitusi AS khususnya the free establishment clause menempatkan guru pemerintah untuk mengajar di sekolah keagamaan. Di Turki dan Prancis, negara sama sekali tidak boleh berhubungan dengan agama (total secularism), meskipun di Prancis pada masa pemerintahan Presiden Nicolas Sarkozy ada perubahan untuk memperbaiki hubungan antara negara dengan agama misalnya negara tidak mempermasalahkan pendirian lembaga keuangan atas dasar keagamaan/kepercayaan. Sekularisme tidak berkonotasi jelek, dan tidak selalu memusuhi agama atau kepercayaan. Di dalam perkembangannya, model sekularisme di AS dan Prancis menunjukkan perkembangan terbaru. Di dalam kondisi tertentu, agama dan negara dapat bekerja sama. Kelompok-kelompok agama harus bersuara dengan lantang ketika ada permasalahan sosial seperti kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan korupsi. Di dalam memerangi kemiskinan dan ketidakadilan sosial, negara dan agama harus bekerja sama. Tetapi agama tidak bisa mempengaruhi kebijakan negara, begitu juga sebaliknya negara tidak boleh mencampuri urusan agama/kepercayaan. Akar sekularisme memang dari barat, tetapi ada nilai-nilai yang patut kita pertimbangan dari sekularisme tersebut untuk menjaga agar tidak ada kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok agama/kepercayaan, dan juga kelompok agama atau kepercayaan tidak dipersulit ketika mengurus perizinan pendirian tempat ibadah. Model sekularisme yang humanis, dengan menekankan tetap membuka dialog negara dengan agama/kepercayaan dan di dalam kondisi tertentu membuka ruang kerja sama negara dan agama/kepercayaan, merupakan alternatif untuk mengisi kehampaan model hubungan negara dengan agama di dalam konstitusi kita. Penulis adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center (ILRC