http://www.bangkapos.com/opini/d018caf67b9a4df36cab9aeb4cfa75ab/41/baca/0/7/0/0/2007/November/27/0

Pendidikan Investasi Peradaban 

edisi: Selasa, 27 November 2007 WIB 

Penulis: Asyraf Suryadin
       
      Yudhi 
      Pendidikan Investasi Peradaban  
Maju terus guru dan gapai predikat profesi, agar kita dapat dihargai lebih 
manusiawi

KETIKA kita berkunjung ke kota Yogyakarta, dan jalan-jalan pada sebuah kampus 
terpampang pada salah satu pintu  keluarnya  tertulis dengan begitu baik 
semboyan "Pendidikan Investasi Peradaban."  Mungkin sebagai orang awam kita 
akan bertanya mengapa semboyan itu yang digunakan? Untuk menjawab pertanyaan 
tersebut, mari kita mengamati dan berpikir sejenak pada hari guru ini untuk 
melihat ke belakang bahwa bangsa ini dibangun tidak terlepas dari para peran 
guru.

Sosok Ahmad Dahlan, guru yang sekaligus kiai dan telah mampu mengangkat derajat 
bangsa Indonesia melalui pendidikan yang dikembangnya melalui organisasi 
Muhammadiyah. Ki Hajar Dewantoro, guru yang priyayi dengan lemah lembut 
menyatakan  seorang guru adalah "pamong"  yang harus senantiasa memberikan 
teladan yang baik. 

Sebuah tugas yang amat mulia dan harus selalu diindahkan oleh semua guru. 
Soekarno, jadi guru di Bengkulu. Sosok yang idealis dan romantis tersebut 
mengisi episode sejarahnya dengan menjadi guru di Bengkulu, dan beberapa tahun 
kemudian ia menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia.  

AH Nasution, dari guru menjadi jenderal.  Usaha memperbaiki kondisi sekolah 
yang tidak lebih bagus daripada yang di Bengkulu itu mengharuskan Nasution 
bersama koleganya untuk membangun sekolah dengan melibatkan partisipasi 
masyarakat dan bantuan dari tokoh-tokoh setempat. Mohammad Natsir, dari guru 
menjadi perdana menteri. Tokoh yang satu ini sering the second grand old man 
sesudah Haji Agus Salim. 

Apa yang telah dilakukan oleh para guru seperti tersebut di atas merupakan hal 
yang sangat berhubungan dengan investasi peradaban untuk membangun bangsa 
Indonesia yang saat ini masih terus berupaya untuk 
mensejahterakan para guru tersebut. Salah satu usaha untuk membagun peradaban 
tersebut maka sosok gurulah yang harus diberikan perhatian secara khusus saat 
ini. 

Mengapa harus guru? Ini sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan lapang dada 
kepada semua pihak. Pertama, untuk mendidik generasi ke depan kita butuh guru 
yang mampu memberikan ilmu pengetahuan dengan baik sesuai dengan kompetensi. 

Untuk membutuhkan kompetensi tersebut guru selalu dilatih dan terus dididik 
agar metode, strategi,   termasuk perilakunya dalam kegiatan belajar mengajar 
semakin baik. Usaha perbaikan itu tak ada kata lain kecuali memberikan banyak 
pelatihan dan bila perlu menyekolahkannya pada jenjang yang lebih tinggi khusus 
untuk guru-guru yang memiliki tingkat prestasis yang lebih baik. 

Kedua, guru merupakan aset prilaku. Tak sedikit anak-anak kita lebih 
memperhatikan perintah gurunya bahkan mencontoh apa yang dilakukan oleh gurunya 
daripada orangtuannya. Aset perubahan perilaku ini merupakan modal untuk 
membangun moral dan tatakrama para siswa yang akhir-akhir ini mulai runtuh. 

Sebagai contoh, maraknya ketidak puasan terhadap kebijakan pemerintah tentang 
ujian nasional telah membuat para siswa turun ke jalan. Seharusnya itu tidak 
terjadi bila masyarakat, pendidik, dan siswa mengetahui secara keseluruhan 
makna dari pendidikan tersebut terhadap kemajuan bangsa. 

Yang menjadi permasalahannya saat ini belum meratanya penyebaran pelayanan 
minimal bagi pendidikan tersebut, apalagi kesenjangan pendidikan di kota dan 
desa semakin tajam. Bagaimana tidak, ketika di kota anak-anak sudah menguasai 
internet  tiba-tiba anak di desa listrik dan jaringan telepon pun belum 
terjangkau. Mungkin iklan intrnet masuk sekolah seperti yang pernah ditayangkan 
di televisi suatu hal yang cukup lucu untuk kebanyakan sekolah di Indonesia. 

Ketiga,   guru sebagai agen pembaharuan. Pemahaman terhadap konsep ini 
membutuhkan waktu yang cukup lama apabila berkeinginan untuk melihat hasilnya. 
Apa saja bentuk hasil-hasil pembaharuan tersebut. Produk yang diharapkan dapat 
berupa budaya manusia baik yang berkenaan dengan pembangunan fisik maupun 
pembangunan nonfisik. Untuk pembangunan fisik jelas banyak terlihat terutama di 
daerah perkotaan. Sedangkan untuk pembangunan nonfisik memang agak butuh waktu 
lama. 

Contoh sederhana saja, menghilangkan budaya membuang sampah sembarang sampai 
saat ini belum dapat terwujud dengan baik. Selokan dan sungai kita masih banyak 
sampah, walaupun dipinggir sungai dan selokan ada tulisan dilarang membuang 
sampah. 

Contoh lain dalam kegiatan belajar terutama saat menjelang ujian sulit sekali 
kita menemukan anak-anak yang sportif dan jujur dalam mengerjakan ujian. 
Apalagi menjelang Ujian Nasional selalu saja didengar berita kecurangan 
walaupun sudah menggunakan  pengawasan yang tersistem. Yang aneh lagi 
kadang-kadang yang melapor kecurangan tersebut dijadikan terdakwa dan dimaki 
seperti yang dialami Forum Air Mata Guru di Sumatera Utara. Tetapi bagaimanapun 
kita harus meyakini perubahan pembaharuan yang dilakukan oleh guru memang butuh 
waktu.


Sertifikat Pendidik


Peringatan hari guru di tahun ini memang ada yang istimewa. Keistimewaan ini 
adanya penyerahan sertifikat pendidik dan bagi guru yang berhasil perlu kita 
ucapkan selamat. Bagi yang belum berhasil berusaha terus agar tunjangan profesi 
tersebut dapat diraih walaupun guru-guru kita saat ini membutuhkan untuk 
menggapainya terutama bagi mereka yang belum mencapai jenjang pendidikan 
sarjana. Maju terus guru dan gapai predikat profesi tersebut agar kita dapat 
dihargai lebih manusiawi. 

Secara umum untuk kepala sekolah (kepsek) dan pengawas dinilai belum memenuhi 
standar kompetensi yang diharapkan untuk mempercepat peningkatan mutu 
pendidikan di sekolah-sekolah yang dipimpin dan diawasinya. Demikian kesimpulan 
yang didapat dari Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu 
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan  (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional ( 
Media Indonesia, 9 Agustus  2007).  
Rendahnya standar kompetensi ini sebenarnya dapat dimaklumi terutama bagi para 
pengawas. Mengapa standar kompetensi pengawas rendah? Untuk menjawab ini akan 
lebih baik apabila kita memperhatikan 
sungguh-sungguh bagaimana seorang kepala dinas pendidikan di kabupaten dan kota 
merekrut pengawas. 
Kebanyakan dilakukan dengan cara mengambil kepala sekolah yang sudah habis masa 
jabatannya dan apabila mau kembali menjadi guru secara total mengalami banyak 
permasalahan apalagi syarat sekarang diharapkan seorang guru memiliki jam wajib 
mengajar yang lebih banyak yaitu 24 jam. Mangapa tidak diambil saja dari 
guru-guru yang bukan berasal dari kepala sekolah dan memiliki kompetensi untuk 
menjadi pengawas? Mungkin cara ini lebih baik dan memang benar-benar menjadi 
pengawas sekaligus meningkatkan kualitas proses pembelajaran dalam era yang 
serba menguji ranah kognitif semata. 

Di hari guru ini, mari kaum guru berikrar kembali untuk tetap komitmen 
menjadikan bangsa ini lebih beradab. Untuk itu, kaum guru perlu bergandeng 
tangan untuk saling membatu pada kebaikan dan saling memberi informasi agar 
sesama guru dapat naik derajatnya secara bersama-sama serta mengatasi 
kekurangan yang ada dengan cara yang baik dan benar. 

Tak ada kata lain teruslah belajar walaupun sudah purnabakti sekalipun. Raih 
prestasi hingga setinggi-tinggihnya, dan kalau guru sudah tak mau lagi belajar 
bagaimana peradaban masa depan bangsa ini dan yang lebih menyakitkan lagi, apa 
kata dunia! (*)

(* Penulis Adalah Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Kepulauan Bangka 
Belitung)

Attachment: showhs.php?id=669
Description: Binary data

Kirim email ke