http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/29/o1.htm


Menjaga Kepentingan Bersama  


UPAYA Indonesia untuk memperoleh insentif atas pemeliharaan hutan tropis 
diharapkan menjadi salah satu agenda yang akan dibahas dalam Konferensi PBB 
tentang Pemanasan Global Desember mendatang. 

Indonesia, Brazil dan beberapa negara lainnya yang punya hutan luas memang 
tidak berlebihan dalam mengusulkan hal itu. Bagaimana pun, hutan itu merupakan 
paru-paru dunia yang ikut aktif menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem 
dunia. Usulan ini merupakan salah satu langkah terobosan di tengah parahnya 
kerusakan hutan di dunia ketiga yang banyak menggantungkan pendapatannya pada 
hasil hutan dan produk olahannya.

Logikanya, dengan pemberian insentif tersebut, negara-negara yang punya hutan 
tidak secara gegabah menebang hutannya. Alasannya, nilai insentif yang 
diberikan negara-negara maju di bawah koordinasi PBB jauh lebih besar 
dibandingkan kalau menjadikan hutan itu sebagai salah satu komoditas. Selain 
itu, angka kejahatan illegal logging pun dapat ditekan serendah mungkin. Negara 
penghasil kayu hanya menggunakan area hutan tanaman industri yang luasnya 
terbatas. Dengan demikian, hutan lindung tetap terjaga sebagai paru-paru dunia.

Benang merah yang dapat ditarik dari usulan ini adalah pentingnya sebuah 
pengakuan serta apresiasi tentang milik bersama tersebut. Pengertian hutan 
sebagai milik bersama masyarakat dunia akan memunculkan suatu sentimen 
kebersamaan dalam upaya menjaga pelestarian peradaban manusia di tengah 
perubahan iklim yang makin parah.

Kalau dunia selama ini concern dengan warisan budaya internasional yang 
didukung dengan pemberian bantuan teknik, manajemen maupun finansial, alangkah 
baiknya kebijakan itu diperlebar lagi pada sektor alam sebagai warisan dunia. 
Kita tentu tidak ingin melihat hutan Amazon gundul, hutan di Kalimantan 
meranggas atau belantara di Papua mengering. Untuk itulah, masyarakat dunia 
harus sadar bahwa kita dalam lingkup kepentingan bersama dalam konteks menjamin 
kelangsungan kehidupan di muka bumi ini.

Kita pun sangat berkepentingan agar es di Atartika dan Artik tidak mencair 
sehingga membuat air pemukaan laut naik. Negara-negara kepulauan di dunia ini 
pun semakin terancam. Kita tentu tidak ingin melihat hal ini terjadi dan 
tercatat sebagai tragedi peradaban manusia.

Dalam konteks Bali pun, pengertian milik bersama ini harus dipahami. Otonomi 
daerah yang dipahami secara salah mengakibatkan konsep milik bersama ini 
semakin memudar sehingga memunculkan milik ''pribadi'' atau daerah tertentu 
dimana sesuatu itu berada. Padahal, keberadaannya tidak hanya penting pada 
masyarakat di daerah itu saja tetapi juga masyarakat Bali secara luas. Otonomi 
telah memunculkan sikap ego yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi semata.

Contoh, hutan yang terletak di Kabupaten Tabanan, tidak hanya milik masyarakat 
Tabanan semata. Belantara di Bangli pun bukan semata-mata milik rakyat Bangli. 
Itu semua milik bersama, milik rakyat Bali. Itulah sebabnya kita patut 
menjaganya bersama.

Untuk itulah, perlu gerakan untuk saling membangun pengertian yang menyeluruh 
bahwa kita ini hidup dalam saling ketergantungan. Tabanan tidak bisa menjaga 
hutannya sendiri, maka semua kabupaten patut urun rembuk.

Celakanya, yang sekarang muncul malah pemikiran yang terkotak-kotak dengan 
mengklaim sumber daya alam dan budaya sebagai milik sendiri untuk mendatangkan 
manfaat ekonomi. Tidak jarang, saling klaim berbuntut konflik. 

Kita harapkan konferensi perubahan iklim ini memberikan spirit kebersamaan bagi 
masyarakat dunia. Keputusan yang diambil nanti, yang akan menggantikan Protokol 
Kyoto, diharapkan mengkiat semua negara dengan tidak aga lagi yang menerapkan 
standar ganda. Dunia ini milik bersama, bukan untuk dihancurkan tetapi untuk 
dijaga dan dipeli

Reply via email to