* Gugatan PT Timor Tommy Kalah etc Kompas - Senin, 03 Desember 2007 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak gugatan PT Timor Putra Nasional atau TPN untuk mencairkan dana Rp 1,3 triliun yang disimpan di Bank Mandiri. Akan tetapi, putusan ini belum berkekuatan hukum tetap karena PT TPN segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kuasa hukum PT TPN, Rico Pandeirot, saat dihubungi hari Sabtu (1/12), mengatakan, pihaknya tidak sependapat dan menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak benar. Sebelumnya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro mengatakan sudah menerima salinan putusan gugatan PT TPN kepada Bank Mandiri dan Menteri Keuangan tersebut sekitar tiga pekan lalu. Dalam putusan yang dibuat majelis yang diketuai Ben Suhanda Syah, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding Bank Mandiri dan membatalkan putusan PN Jakarta Selatan. Sebelumnya, pada Juni 2006, PN Jakarta Selatan memerintahkan Bank Mandiri (tergugat I) untuk mencairkan seluruh rekening milik PT TPN beserta seluruh bunganya sejak tahun 1997. Majelis menyatakan PT TPN merupakan pemilik sah giro dan 76 deposito pada rekening penampung (escrow account) Rp 1,027 triliun dan 3.974,94 dollar Amerika Serikat. Putusan itu dikeluarkan oleh majelis yang dipimpin oleh Machmud Rochimi. Putusan PN Jaksel itu sama dengan putusan kasasi MA pada 21 Agustus 2004 yang juga memenangkan PT TPN. MA membatalkan penyitaan aset PT TPN oleh Direktorat Pajak. Atas putusan itu, PT TPN meminta Ditjen Pajak mencabut penyitaan asetnya. Namun, rekening giro dan deposito tersebut tetap tidak dapat dicairkan. Oleh karenanya, PT TPN mengajukan gugatan ke PN Jaksel. Beda soal Ditanya mengenai pertimbangan hukum yang digunakan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Andi Samsan mengaku tidak membaca berkas tersebut secara keseluruhan. Begitu menerima salinan putusan itu, ia mengaku langsung membuat disposisi agar putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak terkait. Jaksa pengacara negara, Yoseph Suardi Sabda, mengatakan sudah mendengar berita mengenai putusan itu. Sebaliknya, kuasa hukum PT TPN, Rico Pandeirot, mengaku belum menerima pemberitahuan resmi. Rico menanggapi pendapat Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang dana Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri. Menurut Menkeu, dana itu milik negara karena KPK menemukan bukti yang bisa membatalkan transaksi penjualan aset PT TPN kepada PT Vista Bella Pratama (Kompas, 1/12). Menurut Rico, dana Rp 1,3 triliun dan penjualan hak tagih piutang PT TPN merupakan dua hal yang berbeda. Dana Rp 1,3 triliun adalah jaminan utang pokok PT TPN. Saat ini, kata Rico, perjanjian utama/pokoknya (perjanjian utang PT TPN) sudah tidak ada. "Perjanjian jaminan itu bergantung pada perjanjian pokok. Kalau pokoknya sudah tidak ada, ya perjanjian jaminan juga tidak ada," ujar dia. Rico berpendapat dana Rp 1,3 triliun itu masih milik PT TPN dan bebas untuk diambil. (ANA) --------------------------- * Tommy Enggan Bayar Rp 4 T Jawapos - Senin, 03 Desember 2007 JAKARTA - Tommy Soeharto bakal mengabaikan ultimatum Menteri Keuangan (Menkeu) untuk menyetor Rp 4 triliun dalam tempo dua pekan. Dana itu seharusnya diserahkan kepada pemerintah atas indikasi persekongkolan di balik akuisisi aset Grup Humpuss ke PT Vista Bella Pratama (VBP). Sebaliknya, Tommy mempertanyakan bukti-bukti indikasi persekongkolan yang diduga merugikan negara tersebut. Sebab, penetapan PT VBP sebagai pembeli aset Humpuss merupakan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Itu dilaksanakan setelah KKSK menerima penghitungan aset Humpuss dari tim appraisal BPPN dan auditor independen. Dirut PT Timor Putra Nasional (TPN) Suharto mengatakan, Tommy bakal memilih jalur hukum untuk membuktikan persekongkolan yang dituduhkan Menkeu. "Mas Tommy akan memilih pengadilan daripada harus membayar. Kami nanti adu bukti," kata Suharto saat dihubungi koran ini kemarin. Menurut Suharto, jika ditemukan kekeliruan penghitungan aset dan penetapan PT Vista sebagai pembeli, aparat seharusnya mengusut pejabat KKSK dan BPPN. "Bukankah mereka yang mengeluarkan kebijakan tersebut?" jelas mantan komisaris PT Timor itu. Saat itu KKSK diketuai Boediono selaku menteri keuangan. Sedangkan BPPN dikomandani Glenn Yusuf. Di tempat terpisah, konsultan pajak PT Timor Soejatna Sonoesoebrata mengatakan, PT Vista saat ini tidak lagi menguasai aset Humpuss, termasuk PT Timor. "Saya dengar PT Vista sudah menjualnya lagi ke perusahaan lain," kata Soejatna saat dihubungi koran ini tadi malam. Ditanya siapa pemilik baru aset-aset PT Timor -benarkah dimiliki lagi oleh Tommy- Soejatna mengaku tidak tahu. Meski demikian, dari penelusuran koran ini, manajemen PT Timor saat ini dipegang orang-orang kepercayaan Tommy. Suharto, misalnya, yang menjadi Dirut PT Timor pada 1998 dan komisaris pada 2000, kini dipercaya lagi memegang kendali pabrikan mobil nasional. Selain itu, ada nama Abdurrahman A.M. alias Syam. Dia salah satu direktur Garnet Investment Limited (GIL) yang asetnya kini dibekukan BNP Paribas, Guernsey. Wartawan koran ini berupaya menghubungi Abdurrahman. Tapi, pria yang akrab dipanggil "kiai" itu menolak berkomentar. "Saya masih kondangan," ujarnya. Siapa jajaran manajemen PT Vista -termasuk saat mengakuisisi aset Humpuss- sampai saat ini masih menjadi tanda tanya. Baik Suharto maupun Soejatna mengaku tidak tahu. Saat disebut nama Taufik Suryadarma sebagai salah satu direktur PT Vista, Soejatna tampak terkejut. "Kalau nama itu, saya perlu mengeceknya lagi," ujarnya. Selain nama Taufik, PT Vista disebut-sebut melibatkan nama salah satu pengusaha besar. Terlepas siapa di balik PT Vista, lanjut Soejatna, proses akuisisi aset Humpuss merupakan sebuah kewajaran. PT Vista merupakan perusahaan alat alias special purpose vehicle (SPV) yang didirikan sebagai konsekuensi pelarangan pemilik lama membeli bekas asetnya di BPPN. "Saya kira kelaziman SPV ikut tender, lantas membeli aset-aset yang pernah dimiliki di BPPN. Kalau SPV menjual lagi ke pemilik lama, itu juga bukan kesalahan," jelas mantan deputi di BPKP itu. Dia lantas menyebut beberapa tender aset BPPN yang ditengarai melibatkan pemilik lama. Di antaranya pembelian aset debitor Bank Mandiri berupa Hotel Tiara oleh PT Tahta Medan dan proses lelang aset PT Pabrik Gula Rajawali (PGR) III di Gorontalo. "Kalau itu disalahkan, tentu semua kena seperti kasus PT Vista," jelas Soejatna. Menurut Soejatna, pemilik lama umumnya punya ikatan emosional dengan aset yang diserahkan ke BPPN. Saat aset berada di BPPN, pemilik lama berharap ada program restrukturisasi dan kelak dapat laku dengan harga mahal. "Selama ini BPPN justru menganggurkan begitu saja aset tersebut. Gilirannya, aset-aset menjadi besi tua dan saat dijual harganya jeblok," jelas pensiunan yang sering menjadi saksi ahli di pengadilan itu. Dalam kasus PT Vista, lanjut Soejatna, seluruh aset Humpuss -termasuk PT Timor- awalnya hendak direstrukturisasi. Namun, KKSK tiba-tiba membatalkan dan memutuskan menjual secepatnya. "Saya tidak bilang KKSK ceroboh, tetapi pemerintah saat itu memang butuh uang untuk mencegah defisit APBN," jelasnya. Di tempat terpisah, Direktur Perdata Kejagung Yoseph Suardi Sabda mengatakan, kejaksaan punya sejumlah opsi untuk memaksa Tommy menyetor Rp 4 triliun. "Untuk aspek perdata, kami masih mempelajari celah- celah untuk mengajukannya ke pengadilan," ujar Yoseph. Tim jaksa pengacara negara (JPN) telah memperoleh surat kuasa khusus (SKK) dari Menkeu. Mereka tengah mengumpulkan alat bukti untuk menguatkan indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus PT Vista. Di tempat terpisah, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin menegaskan, kejaksaan bakal menindaklanjuti permintaan Menkeu untuk membatalkan perjanjian akuisisi aset Humpuss antara BPPN dan PT Vista. Meski demikian, kejaksaan diyakini kelak menemui banyak kesulitan -termasuk keengganan Tommy membayar Rp 4 triliun. "Saya kira banyak (kesulitan), semua akan bergulir," ujar Muchtar di sela pameran kinerja pembaruan hukum 2007 di Senayan kemarin. Menurut Muchtar, kejaksaan dan Menkeu tengah menyamakan pandangan untuk memproses perdata dan pidana kasus tersebut. "Kami tentu akan terus berkoordinasi," ujarnya. Sebelumnya, KPK menemukan praktik persekongkolan di balik penjualan sejumlah aset Grup Humpuss -yang diserahkan ke BPPN- ke PT Vista. Diduga ada aliran dana dari Humpuss ke PT Vista untuk membeli aset-aset perusahaan milik Tommy, antara lain, PT Timor, PT Sempati Air, PT Bali Pecatu Graha, PT Bali Pecatu Utama, dan PT Humpuss Terminal. Proses pembelian tersebut dikategorikan dilarang karena memiliki afiliasi dengan pemilik lama aset yang dibeli. Ini diatur dalam pasal 3 point 3.5 dan 2.6 perjanjian jual beli piutang (PJBP) antara BPPN dan PT Vista. (agm/kim) ------------------------- * Dana Rp 1,3 Triliun Milik Negara Kompas - Sabtu, 01 Desember 2007 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, dana PT Timor Putra Nasional yang disimpan di Bank Mandiri senilai Rp 1,3 triliun adalah milik negara. Itu karena Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan bukti yang bisa membatalkan transaksi penjualan aset PT TPN kepada pembelinya, PT Vista Bella Pratama, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional. "Rp 1,3 triliun itu uang yang menjadi tempat pertempuran antara pemerintah dan PT TPN. Itu adalah tabungan yang disimpan Timor di Bank Mandiri," ujar Sri Mulyani seusai memimpin Rapat Pimpinan Pejabat Eselon I Departemen Keuangan di Jakarta, Jumat (30/11). Pada 31 Maret 1999, PT Timor Putra Nasional (TPN) mengalihkan sejumlah asetnya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai jaminan pembayaran utang yang mencapai Rp 4,576 triliun. Hak tagih terhadap utang PT TPN akhirnya dibeli PT Vista Bella pada 20 Juni 2003 senilai Rp 512 miliar, atau 11 persen dari total nilai utang. Pada 9 Januari 2003, BPPN mengeluarkan perintah kepada Bank Mandiri untuk memblokir jaminan PT TPN yang disimpan di bank itu. Akibatnya, siapa pun tak bisa menarik dana itu, termasuk pemerintah dan PT Vista Bella, hingga ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut Sri Mulyani, BPPN menjual hak tagih itu karena ingin mendapatkan penerimaan. Namun, penjualan itu hanya untuk aset PT TPN, tidak termasuk tabungan bernilai Rp 1,3 triliun. "Pasti tidak logis BPPN menjual tabungan di Bank Mandiri. Seluruh aset Rp 4,5 triliun dijual dengan Rp 490 miliar. Totalnya dengan aset lain di luar Timor mencapai Rp 512 miliar. Tentu tidak masuk akal kalau dijual Rp 512 miliar, termasuk dengan tabungannya yang Rp 1,3 triliun. Yang Rp 1,3 triliun itu jelas milik pemerintah," katanya. Penjualan kepada PT Vista Bella dapat dilakukan dengan catatan tak ada keterkaitan langsung atau tak langsung antara perusahaan itu dan Grup Humpuss atau pemiliknya. Kalau ternyata ada hubungan, dalam waktu 14 hari mereka harus membayar semua sisa utangnya kepada BPPN. "Sekarang, KPK menyebutkan, Vista Bella adalah vehicle company (perusahaan yang dijadikan alat) Grup Humpuss. Akibatnya, mereka tidak hanya tidak boleh mengambil dana Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri, mereka juga harus membayar seluruh Rp 4,5 triliun," ujar Sri Mulyani. Dikuatkan pengadilan Secara terpisah, anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo mengatakan, bukti yang ditemukan KPK harus ditetapkan melalui putusan pengadilan. Itu disebabkan, secara perdata, PT Vista Bella bisa menguji bukti itu ke pengadilan jika bukti itu salah. "Pidananya, tergantung bagaimana kepolisian dan kejaksaan melihat kasus ini. Jika ada unsur penipuan, keterangan palsu, atau pidana umum lain, KUHP bisa diterapkan," katanya. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengemukakan, Kejagung segera menindaklanjuti temuan KPK tentang kolusi dalam penjualan aset Grup Humpuss, yakni PT TPN yang ditangani BPPN. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya diminta mengevaluasi kasus itu, apakah bisa diajukan gugatan. Evaluasi ditinjau dari peluang, kekuatan, dan ancaman, lalu dianalisa untuk menentukan konsep tindak lanjutnya. Hendarman juga meminta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman untuk memakai temuan KPK tentang aliran dana dari Humpuss kepada PT Vista Bella sebagai tambahan data dalam perkara PT TPN yang disidik Kejagung. Aliran dana itu juga bisa saja disidik untuk kasus korupsi. Hendarman mengatakan, semua hal itu disebutkan dalam surat Menkeu kepada Jaksa Agung. Karena itu, Kejagung saat ini perlu mempelajari lebih dulu, termasuk mempelajari dokumen yang diserahkan. Kemas menambahkan, dalam penyidikan perkara PT TPN yang ditangani Kejagung sudah sekitar 20 saksi diperiksa. Jumat, Wakil Jaksa Agung Mochtar Arifin juga mendatangi Gedung KPK untuk berkoordinasi lagi mengenai kasus penjualan aset PT TPN kepada PT Vista Bella. Namun, dari pertemuan itu Kejagung belum memutuskan apakah akan menangani perkara itu secara perdata atau pidana atau dua-duanya. Sehari sebelumnya, pimpinan KPK mengadakan pertemuan dengan Menkeu dan Jaksa Agung. KPK meminta Menkeu membatalkan perjanjian jual beli piutang antara BPPN dan PT Vista Bella karena perusahaan itu dinilai melanggar perjanjian jual beli piutang. (Kompas, 30/11) KPK juga meminta semua dana Grup Humpuss, perusahaan milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, yang di bawah kendali negara, termasuk deposito dibekukan. (OIN/IDR/ANA) ============================ * Gugatan Bulog: Goro Ajukan Sebelas Alat Bukti Senin, 03 Desember 2007 | 14:12 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:PT Goro Batara Sakti mengajukan sebelas alat bukti dalam gugatan yang diajukan Badan Urusan Logistik (Bulog) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/12). "Ada sebelas dokumen yang kami ajukan," kata kuasa hukum Goro, Nuryanto setelah sidang pembacaan replik atas eksepsi absolut yang dilakukan oleh jaksa sebagai kuasa hukum Bulog. Nuryanto menjelaskan, alat bukti yang diajukan Goro diantaranya putusan pailit PT Goro yang dinyatakan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juli 2006 dan dokumen perjanjian sewa menyewa antara Bulog dan Goro. Putusan itu diambil oleh pengadilan niaga atas gugatan wanprestasi yang diajukan Bulog dalam perjanjian sewa menyewa tanggal 26 April 1999 terhadap gudang Bulog di kawasan Marunda, Jakarta Utara yang dijadikan pusat perkulakan Goro Kelapa Gading. Akhirnya, kata Nuryanto, Goro diwajibkan membayar sewa sebesar Rp 32 miliar yang pada saat verifikasi nilainya meningkat menjadi Rp 45 miliar. "Jadi semua kewajiban Goro sudah selesai," kata Nuryanto. Nuryanto menambahkan, sebagai perusahaan yang telah dinyatakan pailit, maka tidak mungkin Goro melakukan perbuatan melawan hukum seperti yang dinyatakan jaksa. "Selama ini Goro dalam (keadaan) pailit, jadi tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum," jelasnya. Atas pernyataan tersebut, penggugat yang juga jaksa pengacara negara Dachamer Munthe mengatakan, karena Goro sudah 'mati' secara hukum, maka dia digugat sebagai pihak saja sama seperti tergugat lainnya, yakni Hutomo Mandala Putra, Richardo Gelael dan Beddu Amang. Lagipula, lanjut Dachamer, Undang-Undang Kepailitan membolehkan adanya gugatan kepada debitur pailit yang tidak diajukan di pengadilan niaga. "Penggugat mohon agar majelis hakim menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini," ujarnya jaksa Tambok Nainggolan saat membacakan replik di persidangan. Selain itu, Dachamer menambahkan, gugatan ini merupakan gugatan dengan tuntutan pembayaran ganti rugi secara tanggung renteng. Sehingga, lanjut dia, jika gugatan ini dikabulkan, maka kewajiban untuk membayar ganti rugi itu tidak hanya dibebankan pada Goro, namun kepada seluruh tergugat. Seperti diberitakan, perkara ini diajukan karena Bulog merasa dirugikan dalam kasus tukar guling (ruislag) gudang Bulog seluas 150 hektar di Marunda, Jakarta Utara dengan PT Goro. Bulog menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp 244 miliar, ganti rugi imateriil sebesar Rp 100 miliar dan bunga atas ganti rugi materiil dan imateriil sebesar Rp 206,52 miliar. Gugatan ini diajukan kepada PT Goro, Hutomo Mandala Putra sebagai komisaris dan pemilik 80 persen saham Goro, Ricardo Gelael sebagai Direktur Goro dan pemilik 20 persen saham Goro serta Beddu Amang yang pada saat itu menjadi Kepala Bulog. Ketua majelis hakim, Haswandi mengatakan, sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada 12 Desember dengan agenda putusan sela. Rini Kustiani ===================== * Goro Harus Bertanggung Jawab Soal Perbuatan Melawan Hukum Koran Tempo - Senin, 26 November 2007 JAKARTA - PT Goro Batara Sakti dinyatakan harus tetap bertanggung jawab secara perdata soal perbuatan melawan hukum yang dilakukannya dalam proses ruilslag antara PT Goro Batara Sakti dan Bulog. Menurut anggota tim jaksa pengacara negara, Yoseph Suardi Sabda, pernyataan itu adalah inti tanggapan atas nota keberatan dari pihak tergugat I, PT Goro Batara Sakti, dalam persidangan gugatan perdata Bulog terhadap PT Goro Batara Sakti, Tommy Soeharto, Ricardo Gelael, dan Beddu Amang. "Yang ingin dibuktikan di pengadilan itu perbuatan melawan hukum, bukan soal kontrak dan penyelesaian bisnis Goro," ujarnya kepada Tempo kemarin. Sehingga, menurut dia, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berhak menggelar persidangan untuk masalah ruilslag Goro. Sebelumnya, pengacara kurator PT Goro Batara Sakti, Nuryanto, dalam sidang pembacaan gugatan perdata menyatakan eksepsi (keberatan) soal kompetensi absolut (kewenangan pengadilan) memperkarakan kasus perdata ini. Menurut dia, obyek gugatan yang dimaksudkan oleh tim jaksa pengacara negara sudah pernah diputuskan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli 2006. "Maka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang menangani kasus ini," ujarnya di persidangan, Senin pekan lalu. Dalam putusan Pengadilan Niaga, PT Goro Batara Sakti dinyatakan pailit. Kewajiban hukum atas kepailitannya berjumlah Rp 54 miliar. Namun, setelah dihitung oleh kurator, jumlah kewajibannya berkurang menjadi Rp 45 miliar. Saat ini kewajiban tersebut masih dalam tahap penyelesaian oleh PT Goro Batara Sakti. "Seharusnya penggugat menghormati proses hukum di pengadilan niaga," ujarnya. Yoseph menjelaskan putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan PT Goro Batara Sakti pailit tidak relevan dengan gugatannya. Dasar hukum untuk mendudukkan Goro, Tommy, dan Ricardo sebagai bekas petinggi PT Goro Batara Sakti adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. "Tanggung jawab perbuatan melawan hukum dalam korporasi jelas diatur," katanya. Gugatan perdata terhadap Tommy Soeharto ini terkait dengan adanya perbuatan melawan hukum pada saat tukar guling aset PT Goro Batara Sakti dengan Bulog. Menurut dia, ada ketidakwajaran yang merugikan pemerintah dalam tukar guling tersebut. Kejaksaan kemudian menggugat Tommy dan perusahaannya tersebut dengan ganti rugi Rp 550 miliar. Hari ini sidang gugatan perdata antara Goro dan Bulog kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Yoseph, Kejaksaan Agung akan memberikan tanggapan atas eksepsi yang diajukan Goro. SANDY INDRA PRATAMA ==============