Refleksi:Dikatakan bahwa  pohon beringin tempat bersemayam banyak arwah jahat. 
Barang siapa yang berteduh dibawahnya pasti kena jampi-jampi kesurupan jalan 
sesat. Banteng lesu pun mudah kena kesurupan arwah jahat hokus pokus mengelabui 
masyarakat. Hanya orang sinting yang percaya bahwa banteng berpayung pohon 
beringin  memiliki tenaga gaip yang bermanfaat untuk mampu menarik masyarakat 
dari lumpur kemelaratan ke nirwana bahagia.

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=315485

Senin, 03 Des 2007,

Golkar-PDIP Kelabui Masyarakat


Penetapan Caleg Harus atas Dasar Suara Terbanyak
JAKARTA - "Duet" Partai Golkar-PDI Perjuangan dituding bohong. Sebab, usul 
partai beringin dan partai banteng itu untuk menerapkan sistem proprosional 
terbuka terbatas dalam penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 terindikasi 
sekadar mengukuhkan kemenangan calon atas dasar nomor urut. 

Menurut Direktur Cetro (Center for Electoral Reform) Hadar Navis Gumay, pada 
Pemilu 2004, sebagian besar caleg Golkar dan PDI Perjuangan gagal meraih 
perolehan suara 25 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). "Apalagi sampai 
meraih 50 persen dari BPP," katanya kepada Jawa Pos kemarin (2/12).

Hadar mengatakan, kalau mau lebih jujur, dengan angka 25 persen apalagi 50 
persen, itu sulit tercapai. "Pada akhirnya, sebagian besar caleg terpilih tetap 
kembali kepada nomor urut," ujarnya.

Komentar Hadar itu merupakan tanggapan atas tawaran Golkar bahwa caleg bisa 
terpilih bila sukses memperoleh minimal 50 persen dari BPP (bilangan pembagi 
pemilih). Sementara itu, PDIP menyodorkan alternatif yang lebih rendah, yaitu 
25 persen dari BPP. 

Kelompok partai-partai menengah, seperti PAN, PKS, PPP, PKB, dan Partai 
Demokrat (PD), justru memilih untuk memberangkatkan calegnya ke Senayan atas 
dasar perolehan suara terbanyak. Sistem inilah yang dikenal dengan sebutan 
sistem proporsional terbuka murni. "Seharusnya memang terbuka murni," tegas 
Hadar. 

Menurut dia, kekecewaan yang berkembang di masyarakat pemilih sebagai imbas 
dari sistem proporsional terbuka terbatas sangat kelihatan. "Banyak yang 
bingung. Calonnya dapat suara banyak, tapi malah nggak jadi. Wajar, masyarakat 
merasa dikelabui," ungkapnya.

Dia menyebut, dengan menggunakan acuan persentase tertentu dari BPP seperti 
yang diajukan Golkar dan PDIP, kondisinya tetap tidak akan jauh berbeda dengan 
Pemilu 2004 yang menerapkan 100 persen dari BPP. "Hanya kata-katanya yang lain. 
Dalam praktiknya, mayoritas caleg yang masuk ke Senayan tetap terpilih berdasar 
nomor urut," katanya.

Hadar lantas membuat simulasi dengan menggunakan data pemilu anggota DPR 2004. 
Bila mengacu kepada ketentuan 25 persen dari BPP, Partai Golkar tidak akan 
mampu memenuhinya di 27 dapil (39,1 persen). PDIP gagal menembus di 54 dapil 
(78,3 persen). "Kondisinya lebih parah lagi kalau standarnya 50 persen dari 
BPP," tambahnya.

Dia menyebut, Partai Golkar tidak akan mampu memenuhinya di 60 dapil (87,0 
persen) dan PDIP di 66 dapil (95,7 persen). (Data lengkap lihat grafis). 

"Mereka itu (caleg yang tak mampu menembus 25 atau 50 persen dari BPP, Red), ya 
kembali lagi ke nomor urut. Maka, dalam pandangan saya, tawaran manis Golkar 
dan PDIP itu lagi-lagi hanya akan mengelabui masyarakat," tuturnya.

Tapi, itu kan simulasi yang dibuat dengan data 2004, bagaimana pada Pemilu 
2009? "Pergeserannya pasti tidak jauh berbeda. Sebab, jumlah parpol peserta 
pemilu masih banyak dan tidak ada parpol yang terlalu menonjol atau istimewa 
sehingga perolehan suara melonjak secara drastis," jelasnya.

Menurut Hadar, sikap parpol besar yang cenderung ngotot mempertahankan sistem 
proporsional terbuka terbatas hanya akan merusak proses demokrasi di internal 
parpol terkait. "Masyarakat sudah cukup lelah. Jadi, berikanlah hak ini kepada 
masyarakat. Toh, setiap caleg juga tidak mungkin bisa maju kalau bukan dari 
mekanisme parpol," tandasnya. 

Dalam penilaian Hadar, selain ingin memastikan loyalitas wakil rakyat terpilih 
kepada parpolnya dan kontrol parpol itu, sebenarnya ada motif lain yang 
melatarbelakanginya. "Parpol yang mendesak sistem terbuka terbatas ingin sekali 
orang-orang yang dekat dengan mereka itu menjadi caleg terpilih nantinya," 
bebernya. 

Dengan kata lain, kalau sistemnya terbuka murni sehingga caleg dengan perolehan 
suara terbanyak yang terpilih, berkembang semacam kekhawatian. "Mereka (para 
elite parpol, Red) mungkin tidak yakin jagoannya akan menang," tegasnya. (pri/mk

Kirim email ke