======================================  
  THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER
  [ Seri : "Membangun Ekonomi Rakyat Indonesia" ]  
  =======================================
  [Ec_Q]
   
  BANK KAUM MISKIN
   
  Belajar dari : 
  Kisah Muhammad Yunus dan Grameen Bank, dalam
  Memerangi Kemiskinan
   
  Oleh : Muhammad Yunus
  Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006
  Bersama Alan Jolis
   
  10. Pengaruh Moral Quazi Sahib 
   
  Walau tidak pernah ragu mengeluarkan uang untuk pendidikan dan perjalanan 
kami, ayah menjalankan kehidupan rumah tangganya dengan sangat sederhana. Kami 
hanya diberi sedikit uang saku. Saat SMA, beasiswa bulanan yang saya dapatkan 
sebagai pemenang Ujian Kompetisi Beasiswa di distrik Chittagong memberi saya 
uang saku tambahan, meski tidak cukup. Untuk menutupi kekurangannya saya ambil 
recehan di laci ayah. Ayah tidak pernah menyadarinya. Selain minat kami 
terhadap buku dan majalah, Salam dan saya mudah tergoda nonton film dan makan 
keluar. Cita rasa kami tidaklah mahal-mahal. Makanan favorit saya “chop”, 
kentang panggang isi bawang goreng yang dikucuri cuka. Salam dan saya 
melahapnya dengan secangkir teh melati di kedai teh sederhana di pojokan jalan 
rumah kami. Ayah tidak tahu kebiasaan kami ini.
   
  Kamera pertama yang Salam dan saya beli adalah kamera kotak sederhana. Kamera 
itu menemani kami kemana-mana. Kami meneliti dan merencanakan obyek foto kami 
layaknya ahli: potret orang, pemandangan jalan, rumah-rumah, alam benda. 
Sekongkol kami dalam fotografi ini adalah tetangga pemilik kios foto Mystery 
House Studio. Dia mengizinkan kami menggunakan kamar gelapnya untuk mencuci dan 
mencetak film hitam putih. Kami mencoba efek khusus dan bahkan menusir 
foto-foto kami dengan warna.
   
  Saya jadi tertarik melukis dan menggambar, serta magang pada seorang seniman 
komersial yang saya panggil Ustad atau Guru. Kuda-kuda, kanvas, dan pastel saya 
simpan baik-baik di rumah agar tersembunyi dari sorot mata ayah. Sebagai Muslim 
yang taat, ayah tidak membolehkan reproduksi gambar manusia. Di keluarga, 
beberapa paman dan bibi yang menggemari seni turut berkomplot untuk membantu 
dan menyemangati saya.
   
  Hasil samping dari hobi tersebut, Salam dan saya jadi berminat pada 
senigrafis dan desain. Kami juga mulai mengoleksi perangko dan membujuk penjaga 
toko sebelah untuk memajang kotak perangko kami di depan tokonya. Kami sering 
menonton film India dari Hollywood di bioskop bersama dua orang paman dan 
menyanyikan lagu-lagu romantik yang populer saat itu.
   
  SMA saya, Chittagong Collegiate School jauh lebih kosmopolitan dibanding SD 
saya. Teman sekelas saya kebanyakan anak-anak pejabat pindahan dari berbagai 
distrik karena sekolah ini menawarkan pendidikan terbaik se-Bangladesh. Namun, 
yang sangat menarik perhatian saya adalah kegiatan pramuka. Sanggar pramuka 
menjadi tempat tongkrongan saya. Bersama anak-anak sekolah lain, saya terlibat 
dalam latihan, permainan, mencari jejak, berdiskusi, lintas alam, pertunjukan 
panggung, dan kumpul-kumpul. Selama “minggu penggalangan dana” kami akan 
mengumpulkan uang dengan menjajakan barang, menyemir sepatu, dan bekerja 
sebagai pelayan kedai teh. Di samping menggembirakan, kepramukaan mengajari 
saya memiliki rasa iba, mengembangkan spiritualitas batin, dan menghargai 
sesama manusia.
   
  Saya ingat sekali perjalanan kereta api melintasi India untuk mengikuti 
Jambore Nasional Pramuka Pakistan Pertama tahun 1953. Sepanjang perjalanan, 
kami mampir di berbagai situs sejarah. Sebagian besar waktu kami gunakan untuk 
bernyanyi-nyanyi dan bermain. Namun saat berdiri di depan Taj Mahal di Agra, 
saya lihat wakil kepala sekolah Quazi Sirajul Huq diam-diam menangis. Ia tidak 
menangisi monumen itu atau pasangan kekasih terkenal yang dimakamkan di sana 
atau untuk syair yang dipahatkan di dinding marmer putih. Quazi Sahib 
mengatakan “ia menangisi takdir kami dan beban sejarah yang kami pikul”. Meski 
usia saya baru 13 tahun, saya terpesona oleh penjelasannya yang menggetarkan. 
Dengan dorongannya, kepramukaan mulai merasuki seluruh aktivitas saya lainnya. 
Saya memang selalu menjadi pemimpin berbakat, tetapi pengaruh moral Quazi Sahib 
mengajarkan saya untuk bercita-cita tinggi dan menyalurkan keinginan-keinginan 
saya.
   
  Tahun 1973, di bulan-bulan penuh kekacauan akibat Perang Kemerdekaan 
Bangladesh, saya mengunjungi Quazi Sahib bersama ayah dan kakak saya Ibrahim. 
Kami minum teh sambil membahas gejolak politik yang tengah berlangsung. Sebulan 
kemudian, Quazi Sahib yang sudah uzur dibunuh oleh pembantunya secara brutal 
saat sedang tidur. Pembantunya merampok uang Quazi Sahib yang sedikit itu. 
Polisi tidak pernah bisa menangkap si pembunuh. Saya terpukul. Saat merenung, 
saya jadi memahami tangisannya di Taj Mahal yang meramalkan penderitaannya 
maupun penderitaan rakyat Bengali di masa datang.
   
  [ bersambung ]
   
   
   
  The Flag
  Air minum COLDA - Higienis n Fresh !
  ERDBEBEN Alarm
   


    
  SONETA INDONESIA <www.soneta.org>

  Retno Kintoko Hp. 0818-942644
  Aminta Plaza Lt. 10
  Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
  Ph. 62 21-7511402-3 
   


       
---------------------------------
OMG, Sweet deal for Yahoo! users/friends: Get A Month of Blockbuster Total 
Access, No Cost. W00t

Reply via email to