Refleksi: Terus berlangsunnya istilah dan singkatan kepemerintahaan adalah 
gambaran bahwa negara  berada dalam keadaan tidak beres. Bila hari kemarin 
tidak beres  dan juga sekarang tidak beres bisa bahwa  besar kemungkinan tidak 
ada jaminan untuk esok hari atau lusa akan beres dan teratur baik sebagaimana 
mestinya.  Ketidakberesan dalam masalah-masalah sederhana yang mudah dapat 
diatasi memberi pengertian bahwa masalah-masalah besar nan rumit juga tidak 
akan mungkin diatasi besok hari dengan aktor-aktor yang sama,  inilah gejala 
negara gagal! Negara gagal sangat merugikan rakyat, tetapi mengutungkan kaum 
berkuasa, karena dalam keadaan ketidakberesesan nan kaos berbasiskan politik 
pembodohan masyarakat terdapat kesempatan besar kepada kaum berkuasa untuk 
dengan leluasa untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingan pribadi mereka.

http://www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=43681

Kamis, 14 Februari 2008


Singa Berkeliaran, Pembaca Bising
Oleh: Basori )


Setiap hari yang namanya singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia 
bertebaran di mana-mana. Ia bisa dilahirkan oleh siapa pun, kapan pun, dan di 
mana pun. Jargon pemilu "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" tampaknya 
sangat ketat diterapkan dalam hal ini. Ngomong-ngomong tentang pemilu, 
perhatikan, gelombang singkatan dan akronim pada nama partai maupun 
istilah-istilah yang mengiringi peristiwa tersebut. Ada PBB (Partai Bulan 
Bintang, Partai Bintang Bulan) padahal di luar itu ada juga PBB (Pajak Bumi dan 
Bangunan, Persatuan Bangsa-Bangsa), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa, Pajak 
Kendaraan Bermotor, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan), Partai Hanura (Hati 
Nurani Rakyat), PPRN (Partai Peduli Rakyat Nasional). Istilah-istilah yang ada 
di sekeliling pemilu sebut saja, KPU, panwaslu, KIPP, jurdil, luber, dapil, 
cabup, cawabup, cakot, cawakot, balonbup, dan entah apalagi. Bahkan nama 
peristiwa itu sendiri bisa bermacam-macam, pilkada, pilkadal, pilkadasung, 
pemilukada, pemilukeda. Sama halnya ketika kita SD dulu diajar untuk menghapal 
warna pelangi dengan mejikuhibiniu atau nama mata ajaran, PMP yang sekarang 
berubah menjadi PPKn, PSPB, Orkes, Penjaskes, dan sebagainya. 
Nama lembaga pemerintah bisa berubah setiap saat meski esensinya sama. Misalnya 
nama departemen dalam kabinet pemerintah yang berubah setiap pemerintahan 
berganti. Kementerian Perumahan, misalnya, dulu disebut Menteri Perumahan 
Rakyat (Menpera), dan kini disebut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah 
(Menkimpraswil). Contoh lain adalah "Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia 
(Depkum HAM)", dulu hanya "Departemen Kehakiman". Hal itu tampaknya diikuti 
dengan baik oleh pemerintahan di bawah dengan memunculkan akronim nama dinas di 
lingkungan pemerintah provinsi maupun kabupaten. Bandutran (Badan Kependudukan 
dan Transmigrasi), Distamprindag (Dinas Pertambangan, Perindustrian, dan 
Perdagangan), Disnakertransdukcapil (Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, 
Kependudukan, dan Catatan Sipil), Disdikpora (Dinas Pendidikan, Pemuda, dan 
Olahraga), Disdikbudpemora (Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga) 
yang pada masing-masing provinsi dan kabupaten bisa berbeda-beda. 

Celakanya, hal itu juga diikuti oleh media massa. Setiap hari kita disuguhi 
beragam singkatan dan akronim. Jika mau jujur, wartawan dan medialah yang 
sebenarnya paling bertanggung jawab atas kerusakan bahasa yang merupakan modal 
kerja bagi mereka. Media massa, konon, adalah "penjaga bahasa" dan menjadi 
norma atau nilai sentral dalam masyarakat, sehingga apa yang baik menurut media 
massa, maka baik pulalah menurut masyarakat; demikian pula sebaliknya. Tapi, 
media massa seolah menjadi ibu yang sangat rajin melahirkan singkatan dan 
akronim yang muaranya adalah "kerancuan berbahasa." 

Luapan singkatan dan akronim tersebut akan memunculkan berbagai persoalan dalam 
pemakaian bahasa. Pertama, ketika menciptakan singkatan dan akronim, pada 
dasarnya terjadi penciptaan kosakata baru. Banyaknya kosakata baru akan 
mengakibatkan terjadinya "ledakan kosakata." Akibat lebih jauh, kamus kita akan 
cepat sekali usang. Kedua, "ledakan kosakata" akan mempersulit pembelajaran 
bahasa Indonesia. Bayangkan, betapa sulitnya siswa bahkan orang asing yang 
belajar bahasa Indonesia ketika dihadapkan pada kosakata baru yang muncul 
setiap saat dan seringkali dengan pengertian yang berubah-ubah. Ketiga, 
kenyataan bahwa banyak kosakata yang berupa singkatan dan akronim tidak bisa 
dipahami kecuali di lingkungan yang membentuknya. Hal itu mengakibatkan 
kosakata tersebut hanya akan menjadi slang di lingkungan terbatas. Muaranya 
tentu saja akan menurunkan derajat "bahasa" menjadi sekadar "dialek." Keempat, 
banyak singkatan atau akronim dipakai secara tumpang-tindih untuk pengertian 
yang berbeda-beda (PBB untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pajak Bumi Bangunan, 
Partai Bulan Bintang). Membingungkan bukan? 

Ada beberapa hal yang merupakan sumber membanjirnya singkatan dan akronim. 
Pertama, pemahaman yang keliru tentang bahasa padat. Bahasa media memang 
dituntut ringkas dan padat. Namun, banyak penulis "malas" membuat struktur 
tulisan yang padat, logis, dan sistematis. Karena struktur tulisannya tidak 
padat (tidak logis dan sistematis), mereka terpaksa mengulang kata tertentu. 
Lalu, ketika berpikir tentang keterbatasan ruang, cara termudah adalah membuat 
singkatan dan akronim. Padahal, tulisan bisa dibuat pendek, tanpa terlalu 
banyak singkatan dan akronim, dengan membenahi struktur kalimatnya. 

Kedua, obsesi pada singkatan dan akronim. Banyak lembaga formal-pemerintah, 
perusahaan, maupun organisasi-terbiasa membuat nama dan istilah yang panjang, 
hanya untuk kemudian menyingkatnya. Contoh, istilah "klinik" sudah lazim 
dipahami sebagai tempat berobat. Tapi, kita menciptakan istilah baru yang lebih 
panjang "Pusat Kesehatan Masyarakat" yang ujung-ujungnya menjadi "Puskesmas" 
juga. 

Ketiga, keruwetan cara berpikir dan pemborosan. Tidak hanya di lingkungan media 
massa, tetapi juga masyarakat secara luas kesulitan-atau malas?-mencari 
pengertian esensial sebuah kata. Akibatnya, tulisan menjadi tidak efektif, 
ruwet, dan njlimet dengan kosakata yang itu-itu juga. Keempat, kecenderungan 
eufemisme. Nama lembaga yang semestinya bisa dibuat ringkas sesuai esensinya 
justru dibuat panjang. Kelima, ketidaktaatan pada pedoman pembuatan singkatan 
pada EYD. Nama lembaga, perusahaan, partai, dan organisasi semestinya tidak 
disingkat. Sebab, jika itu diperbolehkan dan dibiasakan, akan ada banyak 
singkatan yang dipakai untuk pengertian berbeda-beda, sesuai dengan munculnya 
nama yang bisa setiap hari terjadi. Bayangkan jika nama perusahaan boleh 
disingkat setiap saat, PSI yang dipakai hari ini untuk "Perkebunan Sawit 
Indonesia," misalnya, besok mungkin sudah tidak berlaku karena muncul 
perusahaan baru bernama "Putra Satu Ibu." Setakat dengan hal itu, singkatan 
yang sudah lazim, seperti PBB untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, semestinya 
tidak dipakai lagi untuk singkatan lain. 

Mengapa singkatan dan akronim tumbuh subur di negeri ini? 

Ada dugaan, keranjingan "berakronim ria" adalah anggai bahwa kita sudah menjadi 
sedemikian pragmatis, suka yang ringkas-ringkas, yang gampang, mencari jalan 
pintas, dan malas berpikir. Lihat saja, contoh kecil, dalam urusan antre. Kita 
adalah bangsa yang paling tidak disiplin dan tidak sabaran antre untuk satu 
urusan. Lalu, kita memilih main serobot atau kalau perlu "main suap" asal tidak 
antre. Kita juga tak mau repot untuk urusan yang "remeh-temeh" macam pengurusan 
KTP sehingga cukup membayar Rp50.000,00 dan besok sudah kita terima KTP. Kalau 
terjadi kemacetan di jalan raya, pasti dalam waktu singkat, banyak pengendara 
yang tidak sabaran dan mengambil hak jalan kendaraan yang datang dari arah 
berlawanan. Klimaksnya, terjadi kemacetan total dan tidak ada kendaraan yang 
bisa bergerak. 

Singkatan dan akronim itu perlu, antara lain untuk memudahkan mengingat atau 
menulis. Tapi kelebihan penggunaan akronim, apalagi secara serampangan, tentu 
saja tidak baik. Bayangkan kalau sebuah kalimat panjang dibuat jadi singkatan 
dan akronim semua, pasti membingungkan. Anda mau bukti? Coba baca kalimat 
berikut. "Mabuk miras birahi pada timin seperti curanmor, curas, bahkan curat, 
lalu terjaring opsih, yang akhirnya masuk rutan atau balang di-sukabumi-kan 
dengan petrus." Anda mengerti? 

Dalam kadar yang berlebihan, singkatan dan akronim akan menghilangkan kata 
dasar atau kata asli, karena kita hanya tahu bentuk jadinya. Dalam lingkup 
kecil, membanjirnya singkatan dan akronim di koran lokal akan membuat pendatang 
dan pembaca koran dari daerah lain bingung. Hal itu berarti sifat jelas 
(clarity) dalam bahasa media tidak terpenuhi. Mencermati hal tersebut, kita 
perlu menyatakan perang melawan singkatan dan akronim. Yang menjadi garda depan 
tentu saja adalah media massa. Para wartawan dan redaktur harus menekankan 
dengan benar disiplin dalam tata bahasa dan pemakaian kata serta istilah. Media 
massa, wartawan, dan redaktur harus menolak penggunaan singkatan dan akronim 
serta bahasa yang semena-mena. 

Jika singkatan dan akronim ini tidak diantisipasi, ia akan berkembang dan 
beranak-pinak. Bahasa Indonesia akan makin rusak. Tentu kita tidak ingin jika 
artikel dan berita di koran ditulis ala pesan singkat anak baru gede, sementara 
pembaca dipaksa menebak-nebak dan mikir apa maksudnya. 

Lalu apa hubungan singa dan pembaca pada judul tulisan ini? Tentu saja ada, 
kalau singa adalah singkatan dan akronim. Jadi, Singa Berkeliaran, Pembaca 
Bising bisa dibaca "Singkatan dan Akronim Berkeliaran, Pembaca Bingung dan 
Pusing." Weleh.weleh.(kata si Komo). Ssttt. dasi nih, kita mansi di WC yuk

Reply via email to