Parpol Idap Autisme Sosial
Senin, 21 April 2008 | 01:29 WIB 
http://www..kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.21.01293582&channel=2&mn=154&idx=154

Jakarta, Kompas - Meskipun rakyat masih dirundung dengan berbagai masalah 
sosial akibat kenaikan harga minyak dunia, partai politik justru asyik dengan 
dirinya sendiri.

Selain sibuk menyelesaikan konflik internal di tubuhnya, partai politik juga 
lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi Pemilu 2009 dan merebut 
kekuasaan di daerah melalui pilkada.

Direktur Eksekutif The Lead Institute Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto 
di Jakarta, Sabtu (19/4), menilai kondisi tersebut terjadi karena parpol 
mengidap autisme sosial. Elite parpol menjadi rabun dengan berbagai persoalan 
yang melilit masyarakat dan abai dengan keinginan masyarakat.

Kondisi ini telah melahirkan ketidakpercayaan publik yang sangat tinggi 
terhadap parpol dan sistem yang ada. Tingginya jumlah pemilih yang tidak 
menggunakan hak pilihnya atau menjadi golongan putih dalam pemilu dan pilkada, 
mencerminkan ketidakpercayaan itu. Masyarakat lebih suka membangun basis 
politik di tingkat akar rumput yang justru menegasikan kehadiran parpol.

”Sensitivitas parpol terhadap isu-isu yang menjadi perhatian publik sangat 
kurang. Orientasi parpol melompat jauh kedepan meninggalkan persoalan riil 
rakyat dan sibuk dengan agendanya sendiri,” kata Bima.

Fungsi tak jalan
Secara terpisah, dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran Indra Prawira 
mengatakan fungsi parpol untuk mendidik masyarakat, rekrutmen calon pemimpin, 
dan membawa visi perubahan kedepan bagi bangsa nyaris tak ada yang dilakukan. 
Parpol semakin terpecah secara spasial, yang ditandai dengan semakin banyaknya 
parpol baru.

”Semangat untuk bergabung atau berkoalisi sangat rendah karena tak adanya 
saling kepercayaan sesama bangsa sebagai inti demokrasi,” katanya.

Menurut Bima, tidak berfungsinya peran partai terjadi karena sistem politik 
Indonesia belum memberikan kepastian bagi para pelaku politik sendiri. Meksipun 
bekerja keras membangun karier politik dari bawah, namun para elite politik itu 
tetap dapat terpental setiap saat dari lingkaran politik yang ada.

Ketidakjelasan ini membuat fungsionaris parpol menerapkan sistem aji mumpung 
saat mereka berkuasa. Mereka juga lebih mengandalkan hubungan kedekatan dengan 
pemegang kekuasaan kunci di parpol untuk eksis daripada meningkatkan 
kapasitasnya sebagai politisi.

”Sistem kepartaian yang buruk ini harus segara dibenahi, baik dari dalam maupun 
dari luar partai,” ujarnya.

Bima menambahkan semua pihak harus turut membenahi parpol. Pembenahan ini 
memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun, parpol tetap harus 
dibangun berdasarkan sistem jangka panjang dan visi kedepan yang mampu 
diterjemahkan secara nyata dalam masyarakat.

Tindakan anti-parpol, tuntutan penguatan calon perseorangan, dan kampanye untuk 
menjadi golput justru mencerminkan tidak sehatnya demokrasi yang ada saat ini. 
Jika tanggung jawab memperbaiki parpol dilepas, maka kehidupan demokrasi 
sendiri yang akan berada dalam bahaya.

Indra mengatakan kunci penataan parpol dan sistem politik yang ada terletak 
pada kuatnya kepemimpinan nasional. Presiden harus berani menegakkan sistem 
yang sudah diatur dalam konstitusi agar tidak disandera oleh para elite parpol. 
(MZW)


      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.  
http://mobile..yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ

Reply via email to