http://www.gatra.com/artikel.php?id=114488


Partai Kuning di Lampu Kuning



Para petinggi "partai kuning" (Golkar) tak bisa lagi tidur senyenyak dulu. 
Hasil panen politiknya kian paceklik. Meskipun partai ini berhasil memenangkan 
sekitar 40% dari seluruh pilkada yang telah berlangsung, tendensinya dalam satu 
setengah tahun terakhir terus merosot.

Hawa panas kian menyengat, menggoyahkan ketahanan, selepas kekalahan beruntun 
di kantong-kantong utamanya: Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Sumatera Utara. 
Tendensi kekalahan bukan hanya pada pemilihan gubernur, melainkan juga pada 
pemilihan bupati/wali kota.

Sekadar contoh bisa di tengok apa yang terjadi di Sumatera Utara. Pada Pemilu 
(legislatif) 2004, Partai Golkar menguasai perolehan suara di 18 
kabupaten/kota. Tetapi pencapaiannya pada pilkada sungguh memperihatinkan. Dari 
21 kali pilkada kabupaten/kota yang telah berlangsung, partai ini baru berhasil 
memenangkan calon yang diusungnya di sembilan daerah. Itu pun hanya di tiga 
daerah, partai berlambang beringin ini menjadi kendaraan politik secara tunggal.

Konsolidasi internal merupakan titik kelemahannya. Dalam banyak kasus, 
perpecahan internal mewarnai pencalonan. Seakan tak ada disiplin partai, jika 
tak meraih dukungan partainya sendiri, kader-kader Partai Golkar maju 
menggunakan kendaraan partai lain. Kosekuensinya, terjadi fragmentasi di 
kalangan konstituen partai. Contoh terhangat terjadi pada pemilihan gubernur di 
Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.

Barangkali situasinya tidak terlalu merisaukan jika kemerosotan kedigdayaan ini 
hanya terjadi pada kasus pilkada. Sebab elite partai bisa saja berkelit bahwa 
dalam pilkada, faktor terpentingnya adalah ketokohan, bukan preferensi 
kepartaian. Dengan demikian, kekalahan demi kekalahan dalam pilkada diharapkan 
tidak berpengaruh banyak pada Pemilu 2009.

Tetapi survei Reform Institute pada Januari-Februari lalu menghasilkan gambaran 
yang sama buramnya. Partai ini cenderung mengalami kemerosotan dukungan. 
Tingkat favorabilitasnya relatif jauh di bawah PDI-P (16,1% berbanding 19,3%). 
Bukan hanya itu. Tingkat loyalitas pendukungnya juga mengalami erosi yang 
tajam. Mereka yang memilih Golkar pada Pemilu 2004 dan kemungkinan tetap 
memilih partai ini pada Pemilu 2009 tinggal 64% (bandingkan dengan PDI-P = 73% 
dan PKS = 71%).

Dari gambaran sosiografis, loyalis utama partai ini berasal dari penduduk 
dewasa, yang periode formatifnya terjadi pada masa Orde Baru. Padahal, penduduk 
berusia muda merupakan faktor yang sangat menentukan kemenangan pada pemilu 
mendatang. Komposisi penduduk berusia 35 tahun ke bawah yang punya hak pilih 
diperkirakan 59% dari total penyandang hak pilih.

Dalam medan pertempuran seperti itu, kepemimpinan partai ini masih didominasi 
figur-figur tua. Program-program partainya juga jarang yang menyentuh 
kepentingan dan minat kaum muda. Adapun organ-organ kepemudaan partai ini, 
kepemimpinannya cenderung didominasi kader-kader "jenggot", yang lebih mengakar 
ke atas ketimbang mengakar ke masyarakat pemuda di akar rumput.

Merosotnya dukungan dan alienasi partai ini dari dinamika akar rumput membawa 
suasana psikologis yang mulai menggoyahkan konfidensi elite partai. Ketua 
Fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, mulai memikirkan hal yang mustahil 
sebelumnya terbayang oleh elite partai ini. Yakni kemungkinan menyandingkan 
Jusuf Kalla (JK) dengan Hidayat Nur Wahid (tokoh PKS) sebagai bakal calon 
presiden/wakil presiden; dengan kerelaan memosisikan JK sebagai wakil Hidayat 
jika perolehan PKS melampaui Golkar.

Semuanya itu merefleksikan lemahnya kepemimpinan partai ini. Para petinggi 
partai gagal mengonsolidasikan simpul-simpul kepartaian secara vertikal dan 
horizontal; gagal membangun standar rekrutmen kepemimpinan yang sesuai dengan 
perubahan tantangan dan oportunitas politik; gagal menegakkan disiplin dan 
loyalitas anggota; serta lemah kekuatan renponsifnya dalam mengantisipasi 
dinamika perkembangan dan tuntutan masyarakat.

Dengan kelemahan-kelemahan seperti itu, partai ini akan mengalami kesulitan 
dalam memobilisasi sumber daya politik dalam menghadapi pemilu yang akan 
datang. Dalam pada itu, institusi konvensi, yang merupakan sarana efektif untuk 
menyatukan kekuatan-kekuatan raksasa yang berserak, tak akan dipakai lagi. 
Situasi ini jelas tak menguntungkan karena bukan mustahil akan mendorong 
kader-kader terbaik "partai beringin" melarikan kerangka dukungannya pada 
kekuatan-kekuatan lain.

Komunitas Golkar sepatutnya waspada. Mentalitas lama yang membayangkan 
kemenangan partai ini seperti matahari terbit telah kasip. Realitasnya, partai 
kuning berada di ambang lampu kuning. Penyelamatan memerlukan penemuan kerangka 
kerja baru untuk memulihkan kapasitas dan efektivitas kepemimpinan, yang mampu 
menghidupkan kembali mesin partai agar bisa kompetitif dalam pacuan politik 
yang kian sengit.

Jika tidak, sejarah akan menyaksikan bagaimana kapal politik titanik ini 
perlahan tenggelam.

Yudi Latif
Doktor Sosiologi Politik, Direktur Eksekutif Reform Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 24 April 2008]

Kirim email ke