Ada apa dibalik Pejabat Perhubungan Regulasi - Bisnis Penerbangan Bertenggernya harga minyak mentah dunia pada titik tertinggi dalam sejarah, dan kasus subprime mortgage di AS yang disinyalir memicu goyahnya ekonomi AS, kedua hal tersebut dianggap sebagai indikator pemicu krisis global. Sebagai pihak yang diuntungkan adalah negara-negara pengekspor minyak dunia, sementara pihak yang harus menanggung beban yakni negara pengguna bahan bakar minyak, yang notabene adalah negara-negara sedang berkembang. Walaupun Indonesia memiliki banyak tempat-tempat yang menyimpan cadangan minyak, namun sampai saat ini negeri ini belum bisa mencukupi hajat hidup warga negara atas suplai minyak, sehingga secara langsung tetap terimbas oleh harga minyak mentah dunia yang diatas angin. Hal ini menyebabkan anggaran perencanaan belanja negara selalu mengalami revisi seiring volatilitas harga minyak dunia. Baru-baru ini dengan adanya rencana pemerintah menaikkan harga BBM memicu kegelisahan terutama industri-industri manufaktur yang menyebabkan terancamnya keberadaan para karyawannya dari pemutusan hubungan kerja. Sehingga peran pelaku usaha sangat diharapkan posisinya dalam keterkaitan dengan kondisi pemerintah yang merencanakan menaikkan harga BBM dalam waktu dekat ini.
Melihat kondisi saat ini, seandainya harga bahan bakar jadi naik, otomatis akan mengimbas ke semua lini industri, sehingga pelaku usaha akan terasa berat dalam membantu membuka lapangan kerja baru setidaknya bertahan dengan kondisi yang ada. Dengan mengaca kondisi itu, proaktif pemerintah dalam memacu iklim yang kondusif pada sektor bisnis akan sangat membantu pelaku usaha menjalani bisnisnya, sehingga memungkinkan tetap menyerap tenaga kerja baru, setidaknya mempertahankan karyawannya yang sudah ada. Kondisi proaktif pemerintah untuk mensupport pelaku usaha jauh dari terasa sebagai sebuah dukungan, seperti komentar Direktur Angkutan Udara Departemen Perhubungan Tri Sunoko yang dilansir oleh Kompas.com mengatakan "Saya merasa pesimis Lorena bisa terbang 6 Juni". Pernyataan semacam itu seyogyanya tidak dilontarkan oleh seorang pejabat, mengingat lontaran tersebut akan membuat calon pengguna jasa Lorena Air berpolemik benar tidaknya Lorena jadi terbang perdana pada 6 Juni, dan juga berdampak negatif pada image pada perusahaan yang berencana terbang perdana. Ekspansi perusahaan seperti apa yang dilakukan oleh grup bisnis transportasi Lorena, yang selama ini dikenal orang berkecimpung dalam transportasi bus dan logistik. Saat ini Lorena merambah `bisnis penerbangan' dengan rencananya memulai bisnis transportasi udara dengan dimulai dengan bendera Lorena Air. Menjelang datangnya bisnis pesawat ini seyogyanya disambut positif mengingat hal ini berpotensi terjadi penyerapan tenaga kerja baru, disamping meningkatkan jasa transportasi udara. Bisnis pesawat ini sudah direncanakan beberapa tahun sebelumnya, sehingga kesiapan dalam bisnis transportasi udara ini sekiranya sudah dipersiapkan dengan matang. Beberapa bulan menjelang kedatangan pesawat Lorena Air, berbagai prosedur dan bermacam regulasi dari pemerintah sudah selayaknya dipenuhi oleh pelaku usaha. Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia penerbangan nasional beberapa tahun ke belakang dirundung beberapa peristiwa kecelakaan pesawat yang banyak menimbulkan korban sia-sia. Mulai disebabkan oleh kesalahan teknis sampai human error. Nah, disinilah peran pemerintah dituntut membuat regulasi tegas terhadap bisnis transportasi udara untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan kecelakaan yang bisa ditimbulkan. Anehnya, `kesalahan-kesalahan terjadi berulang' dengan masalah yang tidak jauh berbeda. Bercermin kondisi di atas, pihak departemen perhubungan dalam hal ini seorang pejabat perhubungan berperan sangat penting mengingat penentu kebijakan terhadap operator-operator pesawat di tanah air ada ditangan mereka. Maju mundurnya dunia penerbangan di dalam negeri ini salah faktor penentunya adalah sistem dan kebijakan para elite di departemen perhubungan udara. Mengutip pernyataan direktur angkutan udara tersebut dikatakan "Mungkin lampiran (rencana rute dalam SIUP) itu sudah dianggap sebagai izin operasi. Padahal masih perlu perizinan lainnya". Dirjen perhubungan udara terkesan tidak mendorong agar segera direalisasikannya launching terbang perdana LorenaAir dimana dunia penerbangan dalam negeri tidak sepadat transportasi darat, namun yang ada malah kecenderungan menganggap sebelah mata terhadap pemain baru bisnis pesawat ini yang nampak pada pernyataan di atas. Pemberitaan Bisnis Indonesia, Senin 05 Mei 2008, bahwa Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mempertanyakan kebijakan Departemen Pehubungan menawari secara khusus tujuh maskapai untuk mengambil alih 25 rute milik AdamAir. Pemberintaan tersebut memberi kesan Dephub pilih-pilih memberi kesempatan perusahaan penerbangan untuk mengambil alih rute itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan ada apa dibalik semua aturan itu. Ini dikhawatirkan para pemilik modal bisnis penerbangan ikut mengambil peran dalam semua regulasi yang ada. Sehingga impian penerbangan untuk menerbangi rute-rute penerbangan internasional akan menjadi impian belaka. Seiring terus ditetapkannya larangan terbang ke eropa oleh Uni Eropa, penerbangan dalam negeri terkesan enggan beranjak dari kondisi yang ada untuk menuju peningkatan keselamatan dan pelayanannya. Saat ini, direktur angkutan udara Departemen Perhubungan dijabat oleh Tri Sunoko, sementara jabatan Direktur Jenderal Perhubungan Udara ada pada Budhi Mulyawan Suyitno. Penilaian atas kelambanan Dirhubud dalam menangani masalah transportasi udara nasional sampai dilontarkan oleh seorang presiden. Perlu ditilik kembali, apa yang salah dengan kondisi penerbangan dalam negeri. Apakah kondisi pelaku bisnis yang enggan bersaing meningkatkan pelayanan terbaik, ataukah pimpinan pemegang otorita regulasi penerbangan yang tidak ingin penerbangan dalam negeri menjadi lebih baik. Perilaku elite Departemen Perhubungan juga menjadi sorotan, yang seharusnya menempatkan kepentingan umum sebagai prioritas namun sebaliknya mengabaikannya, seperti pemberitaan media Sinar Harapan, Jumat (27/7/07), dikatakan bahwa ketika diundang oleh Uni Eropa bersamaan dengan diselenggarakannya Paris Air Show di Paris, Perancis, Dirjen Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno beserta staf justru menghadiri penandatanganan kontrak pembelian pesawat antara Lion Air dengan Boeing dan Mandala Airlines dengan Airbus Industrie, mengingat perusahaan itu bukan perusahaan BUMN dan transaksi jual beli tersebut adalah murni urusan internal perusahaan itu. Merupakan pertanyaan besar ketika seorang pejabat memasuki area bisnis perusahaan tertentu yang bukan kewenangannya. Ini berpotensi terhadap netralitas regulator dalam menentukan kebijakannya terhadap para operator penerbangan.