DEMO MENGGILA,SBY MASA BODOH

BBM sudah dinaikkan pada 24 Mei 2008 oleh pemerintahan
SBY. Apa
boleh buat. Meski "ocehan" pemerintah tentang
menyelamatkan APBN
cukup membingungkan, namun rakyat terpaksa
menerimanya. Namun
sayang, apa yang ditunggu rakyat dari Pemerintah SBY
tak kunjung
muncul. Apa yang ditunggu rakyat?

Sejak beberapa hari terakhir ini di beberapa stasiun
TV (mungkin
semua?) menayangkan sebuah program komunikasi yang
dibuat oleh "Save
Our Nation" mengenai "mengapa harga BBM dinaikan".
Kampanye itu
dibuka dengan munculnya Sri Mulyani, sang menteri
keuangan negeri
ini. Untuk kapasitasnya sebagai seorang akademisi dan
menteri dari
sebuah negeri morat-marit, sungguh Sri Mulyani ini
amat
mengecewakan, karena mau menjadi bagian dari sebuah
program
komunikasi dari pemerintah SBY yang terlambat dan
nampak ragu-ragu
arahnya, sehingga hasilnya hanya menambah luka rakyat.
Mengapa
begitu?

Sri Mulyani, Marie Pangestu, Andi Malarangeng,
Aburizal Bakrie dalam
program komunikasi itu mengatakan hal-hal yang lebih
tepat
digolongkan atau diklasifikasikan sebagai "curhat".
Bukan sebuah
wejangan seorang pemimpin kepada rakyatnya yang sedang
gundah,
panik, bingung, putus harapan, dan merasa dianiaya.
Rakyat tentu
berharap wejangan seorang pemimpin akan kira-kira
seperti
ini: "Tunggu dalam waktu yang tidak lama lagi, kami
akan segera
mengeluarkan pengumuman mengenai rincian
program-program kami untuk
membantu rakyat agar rakyat bisa melalui dengan
selamat kebijakan
pahit yang telah kami putuskan." Tapi apa yang
diberikan dalam
program komunikasi itu? Hanya Bantuan Langsung Tunai
(BLT) yang
menonjol, selebihnya hanya kalimat-kalimat normatif.
Kosong. Tak ada
janji yang pasti untuk membantu rakyat.

Apakah negeri ini harus menaikkan harga BBM? Itu
memang debatable.
Apakah kenaikan harga BBM menimbulkan dampak? Itu
pasti. Namun
demikian, ternyata cuma BLT yang bisa dimuntahkan
pemerintahan SBY
setelah 4 tahun diberi kesempatan mengelola negeri
ini. Padahal
kenaikan harga BBM sudah diprediksi jauh-jauh hari
sebelumnya,
sehingga seharusnya sudah ada strategi jitu untuk
meredam gonjang-
ganjingnya dengan misalnya memberdayakan rakyat, bukan
dengan hanya
BLT. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ini sudah
muncul dampak
buruk dari BLT sebagaimana terjadi di tahun-tahun
sebelumnya.
Ternyata meski kenaikkan BBM sudah diprediksi
sebelumnya, ternyata
pemerintah SBY masih juga tidak siap dengan
pelaksanaan BLT.

Sebenarnya program komunikasi ini adalah kesempatan
bagus untuk
menunjukkan, bahwa pemerintah SBY sungguh-sungguh
membela rakyat,
bukan cuma tunduk kepada kepentingan asing, menambah
hutang dan
menjual ratusan trilyun rupiah harta kekayaan negeri
ini serta tidak
mampu mengejar ratusan trilyunan rupiah yang dibawa
kabur
konglomerat hitam.

Sri Mulyani dan yang lain-lain di dalam program
komunikasi itu,
meski bergelar Doctor sebagaimana orang-orang di
sekitar SBY, memang
hanya seorang menteri keuangan yang mungkin hanya
mampu memenuhi
selera ringan SBY dalam memasak resep pengelolaan
negeri ini. Malah
kebijakan menaikkan BBM telah membuat menteri-menteri
lainnya
menyeringai lebar karena seolah-olah mereka tidak ada
hubungannya
dengan kenaikkan BBM ini. Lihat misalnya menteri
Energi dan Sumber
Daya Mineral yang membuat minyak Indonesia menguap
entah kemana..
Juga menteri pekerjaan umum yang tidak pernah mampu
menyediakan
infrastruktur jalan yang baik. Atau menteri
perhubungan yang malah
menyuburkan pungli di jalan-jalan.

Mereka memang bukan ratu adil seperti yang ditulis
oleh Joyoboyo
yang akan membawa rakyat keluar dari kubangan
sepanjang puluhan
tahun berdirinya republik ini. Bahkan nampaknya
semangat kebangkitan
nasional yang pertama kali diikrarkan 100 tahun lalu
masih terus
hanya menjadi omong-kosong belaka, meski republik
telah dibangun di
negeri ini, meski Soeharto telah digulingkan, meski
reformasi telah
digelar, meski 2 kali pemilu yang katanya "demokratis"
telah
dilemparkan ke rakyat.

Rakyat menunggu janji yang lebih dari sekedar BLT,
misalnya
menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bukan hanya
sekedar
mengundang investor dari luarnegeri untuk membangun
pabrik. Tapi
juga menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru atau
peluang-peluang
usaha baru. Rakyat sendiri sudah sejak lama
menciptakan peluang-
peluangnya sendiri, misalnya dengan menjadi pengusaha
kaki lima.
Sayang upaya mandiri mereka ini dianggap sebagai
pekerjaan kriminal.
Mereka dikejar, diburu, ditumpas sebagaimana musuh
berbahaya bagi
negara. Jika mereka tidak boleh menjadi pengusaha kaki
lima, tetapi
mengapa mereka tidak pernah diberi solusi untuk
mendapat kesempatan
berusaha atau berpenghasilan?

Sekali lagi program komunikasi ini terlambat.
Seharusnya itu dibuat
sejak gonjang-ganjing kenaikan BBM pertama kali
dilemparkan beberapa
minggu lalu. Kini demo-demo anti kenaikan BBM sudah
menjadi
menggila, amat emosional, kehilangan akal sehat dan
menyedihkan di
mana-mana
(http://foto. detik.com/ index.php/ detik.read/
tahun/2008/ bulan/05/ tgl/2
6/time/172004/ idnews/945352/ idkanal/157/ id/6). Para
aparat keamanan
yang juga terkena dampak dari kenaikan BBM ini harus
dijadikan garda
rapuh yang menyedihkan oleh pemerintahan SBY. Padahal
para aparat
keamanan ini juga memiliki anak, adik, keponakan,
saudara, tetangga,
teman yang menjadi mahasiswa pendemo. Sungguh sebuah
situasi
kebangsaan yang sebenarnya amat memilukan kita sebagai
bangsa yang
terus-menerus harus berkubang (bukan menggeliat bangun
atau bangkit)
di dalam soal-soal yang sialnya bukan soal-soal yang
digdaya atau
soal-soal yang bermartabat, seperti bagaimana ikut
menyelamatkan
planet Bumi ini bagi anak cucu di masa depan. Bukan
soal-soal
menciptakan perdamaian. Bukan soal-soal membantu
korban bencana.
Bukan juga soal-soal bagaimana menciptakan hidup yang
lebih mulia
dengan teknologi, misalnya. Semua persoalan bau ketek
ini sekali
lagi (atau lagi-lagi) dilemparkan oleh pemenang pemilu
yang
diselenggarakan dengan biaya mahal dari keringat dan
darah rakyat.

Bangsa ini atau negeri ini menjadi rusak bukan karena
bangsa ini
bangsa yang disebut indon sebagaimana disebut beberapa
orang
Malaysia untuk merendahkan kita. Juga bukan karena
kita memang
bangsa kere atau bangsa budak, tetapi karena kita
secara sial telah
memilih manusia-manusia tempe (karena kedelainya
diimport dari Cina
atau Amerika). Kita telah memilih para pemimpin amoral
karena mereka
tidak mau bekerja keras sampai titik darah penghabisan
untuk
mengelola negeri ini.

Jojo Rahardjo
Dari MediaKonsumen: http://www.mediakon sumen.com/
Artikel2379. html


      

Kirim email ke