Bangka Pos

Indikator Pendidikan Sekolah

edisi: Senin, 02 Juni 2008 WIB 

Penulis: Oleh: Rusli Rachman (Anggota PAH3 DPD RI)
       
      _____ 
      ____  
Pendidikan itu dibagi dalam pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. 
Pendidikan sekolah sudah jelas merupakan bentuk yang sudah sangat kita kenal 
karena dimana-mana kita melihat bangunan sekolah, guru sekolah dan anak 
sekolah. Anak-anak dan cucu kita sendiri umumnya merupakan bagian dari keluarga 
sekolah, bahkan banyak saudara dan kawan-kawan kita adalah guru sekolah atau 
pegawai di suatu sekolah. Pendidikan luar sekolah lebih populer dikenal sebagai 
pendidikan non formal atau pendidikan masyarakat, bentuk dan standar fisiknya 
lebih fleksibel, juga standar guru dan fasilitas pendukung lainnya. Contoh 
pendidikan ini adalah apa yang kita kenal dengan istilah kursus. Untuk 
pengentasan buta aksara atau tiga buta kta mengenal program KEJAR, singkatan 
dari kelompok belajar yang terdiri dari paket A setara SD, paket B setara SMP 
dan paket C setara SMA. Selain itu sekarang ini populer apa yang dinamakan 
PKBM, yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.

Di dalam PKBM itu bisa dikembangkan "campur sari" pendidikan non formal, ada 
KEJAR, ada kursus ketrampilan dan macam-macam lainnya. Masa lalu dalam kelompok 
pendidikan luar sekolah ini, dikenal pula apa yang disebut pendidikan 
"informal". Yang masuk kelompok ini adalah pendidikan dalam keluarga sendiri 
antara orang tua dengan anak-anaknya, kadang-kadang memanggil guru, seperti 
guru ngaji dan lainnya.

Yang menjadi primadona tentu saja pendidikan sekolah, karena luasnya cakupan 
warga masyarakat yang terlibat di dalamnya, besarnya anggaran yang dikucurkan 
oleh APBN maupun APBD, serta terstandarnya semua elemen yang ada di dalam 
sekolah, seperti stadar ruang kelas, standar pendidikan guru, standar usia 
siswa, standar kurikulum, standar buku-buku dan lain-lain. Yang namanya Badan 
Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP) itu yang diurusinya ya pendidikan 
sekolah itu! Yang namanya Ujian Nasional (UN) itu yang diurusinya ya pendidikan 
sekolah itu! Undang-Undang No. 14 tentang Guru, yang diurusinya ya guru-guru 
untuk pendidikan sekolah itu! Kalau bicara tentang jumlah guru 1,4 juta, yang 
dimaksud adalah guru-guru pendidikan sekolah itu! Bicara tentang UUD 45 maupun  
UU.No 20/2003 tentang alokasi anggaran untuk pendidikan yang mengamanatkan 
sekurang-kurangnya 20 persen di luar gaji guru, yang dimaksud adalah anggaran 
untuk pendidikan sekolah itu! 

Kalau kita bicara tentang indikator-indikator pendidikan, maka yang dimaksudkan 
adalah indikator-indikator pendidikan sekolah itu, seperti misalnya angka 
transisi, angka drop-out, angka partisipasi, angka repetisi dan sebagainya. 
Yang paling populer tentu saja angka partisipasi karena selalu dikaitkan dengan 
keberhasilan nasional maupun keberhasilan suatu daerah dalam melibatkan 
sebanyak-banyaknya anak usia sekolah masuk sekolah. Angka partisipasi itu 
dibagi dalam APK (Kasar) dan APM (Murni). APK SD misalnya, adalah perbandingan 
antara jumlah seluruh siswa SD berbanding dengan jumlah populasi anak usia SD 
(7-13).

Sedangkan APM SD adalah perbandingan antara seluruh siswa SD yang berusia 7-13 
dengan populasi penduduk 7-13. Hal ini karena tak semua siswa SD berusia 7-13, 
artinya ada yang kurang dari 7 tahun dan ada pula yang telah berusia diatas 13 
tahun, maka hampir pasti APK SD selalu berada di atas 100 pesen. Sebaliknya APM 
SD selalu berada dalam ambang di bawah 100 persen. Demikian pula dengan APK dan 
APM SMP/MTs dan SMA/MA atau SMK.

Mungkinkah APK di bawah 100 persen? Kenapa tidak, awal-awal pembangunan orde 
baru dulu APK kita memang masih jauh di bawah 100 persen, apalagi APM. Jadi 
kalau sekarang APK masih jauh di bawah 100 persen, ya kebangetan. Bagaimana 
kalau APM 100 persen? Nah itu berarti arus masuk sekolah berjalan mulus karena 
telah terbangun  budaya sekolah yang sudah merata ditunjang oleh ekonomi negara 
yang tumbuh dengan bagus, kesejahteraan sudah tinggi. Dalam kenyataannya di 
semua negara-negara majupun APM tidak pernah sampai 100 persen, karena adanya 
faktor keberbedaan intelligence quotiens (IQ) dalam setiap populasi anak usia 
sekolah tertentu. Artinya, ada anak yang usia kalendernya 9 tahun misalnya, 
tetapi usia kecerdasannya 11 tahun, atau sebaliknya pada usia kalender 9 tahun 
usia kecerdasannya 7 tahun. Bagaimanapun anak yang pada usia 15 tahun misalnya 
masih duduk di kelas 6 SD tidak harus berarti usia kecerdasannya di bawah 
rata-rata. Masih banyak faktor lain ikut berpengaruh, seperti faktor sosek, 
budaya, keluarga dan lingkungan.

Presiden tentu saja senang kalau dilapori oleh Mendiknas bahwa angka 
partisipasi pendidikan di Indonesia tinggi, demikian pula para Gubernur yang 
mendapat laporan dari para Kepala Dinas Pendidikannya, seterusnya sampai pada 
Bupati dan Walikota. 

Membuat atasan senang inilah yang kadang memicu "rekayasa", bukan hanya data 
pendidikan, tetapi terkait dengan semua aspek pembangunan dan pelayanan publik. 
Budaya menyenangkan atasan ini berkaitan erat dengan semangat demokratisasi dan 
semangat feodalisme pada diri atasan. Makin rendah semangat demokratisasi dan 
tinggi semangat feodalisme akan makin kentara dalam sikap atasan yang makin 
elitis, sebaliknya adalah sikap atasan yang makin populis. Rekayasa data 
berlaku berjenjang, kadang-kadang pimpinan puncak malah tak mengetahuinya, 
sebagaimana halnya Presiden, atau Mendiknas atau Gubernur/Bupati/Walikota. 
Mereka senang-senang saja disodori data "cantik", dalam kesibukannya tak sempat 
menelaah dan mempertanyakan, apalagi kalau substansinya kurang dikuasai atau 
disukai.

Merekayasa data sebenarnya sebuah kebodohan, sebab dengan data yang salah akan 
berakibat perencanaan ikut salah, pada gilirannya pembiayaan melalui anggaran 
pendapatan dan belanja salah pula, dan ujung-ujungnya adalah rendahnya 
efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran negara atau daerah. Karena 
anggaran itu berasal dari kantong rakyat, maka diawali oleh rekayasa data 
berakibat dihianatinya kepercayaan rakyat. Kalau yang direkayasa itu data 
pendidikan, maka yang menanggung akibatnya adalah anak-anak rakyat. Seharusnya 
dibangun 2000 ruang kelas baru (RKB) misalnya, tapi karena data partisipasinya 
dibuat tinggi, maka perencanaan pembangunan hanya menetapkan 1000 atau kurang. 
Hal yang sama bisa terjadi pada komponen-komponen pendidikan sekolah lainnya. 
Bagaimanapun rekayasa data, data apa saja merupakan pembohongan dan pembodohan 
diri sendiri. Semoga "cacat moral" ini tak terjadi di Provinsi tercinta ini. (*)

RS.Cikini, 31 Mei 2008

Attachment: showhs.php?id=2704
Description: Binary data

Reply via email to