Hakekat Dakwah

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Berbicara tentang hakikat adalah berbicara sesuatu secara mendasar.
Seorang penyanyi dangdut dengan lenggak lenggok erotik di atas
panggung menyanyikan lagu ajakan berbakti kepada Tuhan, adakah ia
seorang da'i ? Jawabannya jelas, yaitu bahwa penyanyi itu membawakan
lirik-lirik dakwah, tetapi pada hakikatnya ia tidak sedang ber¬dakwah.
Dakwah bukan hanya bunyi kata-kata, tetapi ajakan psikologis yang
bersumber dari jiwa da'i. Gebyar-gebyar aktifitas dakwah banyak kita
jumpai, tetapi hakikinya, itu belum tentu suatu dakwah, sebaliknya
boleh jadi justeru kontra dakwah. Lalu dakwah itu apa? Hakikat dakwah
bisa dilihat dari sang da'i, bisa juga dari makna yang dipersepsi oleh
masyarakat yang menerima dakwah.

1. Dakwah sebagai tabligh. Tabligh artinya menyampaikan, orangnya
disebut muballigh. Dakwah sebagai tabligh wujudnya adalah muballigh
menyampaikan materi dakwah (ceramah) kepada masyarakat. Materi dakwah
bisa berupa keterangan, informasi, ajaran, seruan atau gagasan.
Tabligh biasanya dilakukan dari atas mimbar, baik di masjid, di majlis
taklim atau di tempat lain.

Pusat perhatian tabligh adalah pada menyampaikan, illa al balagh,
setelah itu bagaimana respond masyarakat sudah tidak lagi menjadi
tanggungjawab muballigh. Bagi masyarakat, tabligh yang tidak jelas
hanya bermakna bunyi-bunyian, tabligh berupa informasi akan
mengha¬silkan pengertian, tabligh berupa renungan bisa menjadi
penghayatan, dan dakwah berupa gagasan bisa menggelitik masyarakat
untuk terus berfikir. Bagi muballigh, menyampaikan materi pesan Islam
yang ia sendiri tidak faham, pada hakikatnya ia adalah kaset yang tak
berjiwa. Kekuatan tabligh adalah jika sang muballigh benar-benar
menjadi fa`il (subyek), menjadi pelaku yang merasa ter¬panggil
tanggung jawabnya untuk melakukan tabligh. Banyak muballigh yang tidak
menjadi fa`il, tetapi menjadi maf`ul (obyek), Ia tidak memiliki
program tetapi diprogram oleh orang lain. Ia hanya bekerja memenuhi
pesanan pasar, yakni menunggu undangan tabligh. Fa`il jelas
prestasinya, tetapi maf`ul susah diukur prestasinya.

2. Dakwah Sebagai Ajakan. Orang akan tertarik ke¬pada ajakan jika
tujuannya menarik. Oleh karena itu da'i harus bisa merumuskan tujuan
kemana masyarakat akan diajak. Ada dua tujuan, makro dan mikro. Tujuan
makro cukup jelas yaitu mengajak manusia kepada kebahagiaan dunia
akhirat. Da'i dan muballigh pada umumnya tidak pandai merumuskan
tujuan mikro, tujuan jangka pendek yang mudah terjangkau, yang menarik
hati masyarakatnya.

3. Dakwah sebagai pekerjaan menanam. Berdakwah juga mengandung arti
mendidik manusia agar mereka bertingkahlaku sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Mendidik adalah pekerjaan menanamkan nilai-nilai ke dalam jiwa
manusia. Nilai-nilai yang ditanam dalam dakwah adalah keimanan,
kejujuran, keadilan, kedisiplinan, kasih sayang, rendah hati dan
nilai-akhlak mulia lainnya. Laiknya pekerjaan menanam, benihnya harus
unggul, tanahnya harus subur, disiram dan di¬jauhkan dari hama serta
butuh waktu lama hingga benih itu tumbuh berkembang menjadi rumput
hijau yang indah atau menjadi pohon tinggi yang rindang dan berbuah.
Guru di sekolah (dan lembaga pendi¬dikkannya) adalah da'i yang
berdakwah berupa menanam. Sudah barang tentu tidak semua guru menjadi
da'i. Guru yang da'i adalah guru yang sudah bisa menjadi pendidik,
bukan guru yang sekedar menjadi pengajar. Pengajar hanya mentransfer
pengetahuan, sedangkan pendidik mentranfer pola tingkah laku atau
kebudayaan.

4. Dakwah berupa akulturasi budaya. Dakwahnya Wali Songo di Pulau Jawa
merupakan contoh konkrit dakwah akulturasi budaya. Para Wali tidak
mengubah bentuk-bentuk tradisi masyarakat Jawa, tetapi mengganti
isinya. Tradisi selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, dulunya
adalah tradisi masyarakat Jawa jika ada keluarganya yang me¬ninggal
dunia. Dalam acara itu diisi dengan begadang, makan, judi dan minuman
keras. Oleh para wali, bentuknya dipertahankan, makannya dipertahankan
tetapi yang maksiat diganti dengan hal-hal yang Islami, yakni membaca
kalimah-kalimah tahlil. Makananyapun diganti berupa nasi tumpeng yang
melambangkan tauhid, dan setiap orang pulang dari tahlilan dengan
membawa brekat (berkah). Dengan akulturasi budaya, orang Jawa tanpa
disadari kemudian telah menjadi Islam. Kelemahannya, sinkretisme tidak
bisa dihindar.

5. Dakwah berupa pekerjaan membangun. Secara makro dakwah juga
bermakna membangun, membangun apa? Sebagaimana dicontohkan dalam
sejarah, dakwah juga bisa dimaksud untuk membangun tata dunia Islam
(daulah Islamiyah), lebih kecil lagi membangun negara Islam
(nasional), lebih kecil lagi membangun masyarakat Islam atau Islami,
dan lebih kecil lagi membangun komunitas Islam. Dalam membangun sering
tak bisa menghindar dari membongkar bangunan lama, dan ini sering
bermakna konflik. Laiknya pekerjaan mendirikan bangunan, dakwah dalam
bentuk membangun harus melalui tahapannya. Pertama ada desain atau
maket dari bangunan yang akan didirikan. Kedua, harus dilakukan uji
tata guna tanah (land use), dalam hal ini budaya setempat, yang akan
menjadi pijakan berdirinya sebuah bangunan. Pekerjaan pertama dan
kedua bisa bertukar tempat urutannya, artinya ada konsep dulu baru
mencari tempat atau konsep dibangun sesuai dengan keadaan tanah.
Ketiga, harus ada tenaga ahli, dari arsitek hingga kenet tukang batu,
dan keempat tersedianya bahan bangunan. 

Membangun negara Islam tanpa konsep yang telah diuji sahih hanya akan
melahirkan madlarrat, sebagaimana juga membangun tanpa tenaga ahli dan
biaya. Bagi kaum muslimin Indonesia, yang paling relevan adalah
membangun komunitas Islam dan masyarakat Islam atau masyarakat Islami,
karena Indonesia tanahnya (budayanya) kondusif, konsepnya tinggal
menyempurnakan, tenaga SDM nya relatif ada dan biaya tidak terlalu
mahal. Wallohu a`lam. 

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com


Salam Cinta,
agussyafii

Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
[EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com





Kirim email ke