--- In [EMAIL PROTECTED], "setyawan_abe" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
--- In [EMAIL PROTECTED], abe setiawan setyawan_abe@ wrote: Menanti Tumbuhnya BDS yang Profesional Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2003/0830/ukm1.html JAKARTA â" Pendekatan cluster saat ini begitu tren dalam dunia usaha kecil dan menengah (UKM). Sistem yang kemudian dikenal dengan sebutan Business Development Services (BDS) atau Layanan Pengembangan Bisnis (LPB) ini, menjadi program unggulan untuk mengembangkan UKM. Pasalnya untuk menjadi LPB boleh dibilang tidak terlalu sulit. Boleh sebuah lembaga atau perseorangan yang bisa menunjukkan bahwa dalam suatu sentra ada UKM yang memiliki keterkaitan sama dalam produksi dan perlu didampingi. Jadi dalam suatu sentra ada UKM yang homogen, misalnya produk makanan, mebel, kulit atau lainnya. Selanjutnya LPB ini hanya menyediakan jasa pendampingan kepada UKM dalam hal konsultasi untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi UKM. Semua itu tidak gratis, tetapi UKM wajib membayar setiap jasa yang dijual LPB, apakah dalam pelatihan, konsultasi, penyusunan proposal pengembangan bisnis. Hanya saja besarnya tergantung pada kemampuan UKM itu. Mulai dari koperasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga perguruan tinggi berminat membentuk LPB. Setiap LPB akan mendapat fasilitas sebesar Rp 50 juta selama terikat kontrak dengan pemerintah dalam hal ini Kantor Menteri Koperasi dan UKM dalam waktu tiga tahun. âIni merupakan program terunggul untuk memperkuat UKM sehingga mampu berkembang secara profesional,â ujar Ketua Umum Asosasi LPB Indonesia, Samsul Hadi. Tanpa di duga LPB tumbuh subur. Ketika diresmikan pada 2001 ada 91 LPB yang dibentuk, namun kini berkembang hingga 423 LPB yang tercatat sebagai anggota Asosiasi LPB Indonesia. Jumlah ini belum termasuk LPB yang dibentuk oleh swasta atau tidak terikat kontrak dengan pemerintah. Harus diakui bentuk dukungan yang paling banyak diberikan pada UKM selama ini adalah dalam hal modal (finansial) meski pada akhirnya bantuan permodalan ini sering kali tidak terealisasi dan tak dirasakan oleh kelompok UKM. Masalah manajemen, seringkali menjadi poin yang dilupakan. Padahal UKM terutama mikro umumnya buta manajemen. Akibatnya, UKM sulit membuka akses pasar, memelihara kontinuitas produk, meningkatkan kualitas atau mengelola keuangan. Masing-masing UKM bergerak sendiri mengembangkan usahanya. Menurut Deputi Menteri Negara Koperasi dan UKM, Noer Sutrisno, UKM menghadapi masalah yang sangat mendasar dan sulit dihilangkan sampai sekarang, yakni keterbatasan penguasaan modal, rendahnya kemampuan SDM, konsentrasi pada sektor pertanian sehingga sulit melakukan diversifikasi usaha dan kelembagaan usaha belum berkembang secara optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat. Bahkan terhambat perkembangan UKM masih dibebani dengan masalah internal seperti biaya siluman dalam birokrasi, rendahnya nilai komoditi dan terbatasnya pengakuan terhadap UKM. âPersyaratan penting yang sering diabaikan dalam pengembangan UKM adalah fokus, strategi dan pendekatan kolektif,â ujar Noer. Pendekatan yang paling tepat dilakukan, menurutnya, adalah cluster of small business. Sistem ini dikatakan lebih efektif mengingat dalam suatu sentra memiliki keterkaitan yang kuat sebagai suatu sistem yang produktif. Dengan demikian antara UKM dan pendampingnya bisa menyatu. Cluster, ujarnya merupakan kecenderungan spontan dari usaha sejenis untuk melakukan kegiatan yang saling mendekati. Tidak Ada Platform Namun, dalam perjalanannya LPB justru dituding tidak mampu secara maksimal mencapai tujuannya. LPB-LPB yang lahir, terutama yang mendapat fasilitas dari pemerintah, justru menjadi LPB yang tidak layak dalam arti tidak mampu melakukan pendampingan terhadap UKM. Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menghasilkan 90 persen LPB yang berdiri tidak layak. Tidak layak dari segi sumber daya manusia, manajerial dan teknik. âLPB diberi uang Rp 50 juta tapi tidak tahu menggunakannya. Mereka melakukan konsultasi kepada UKM, tapi tidak tahu apa yang dikonsultasikan, melakukan pelatihan tapi tidak mengerti apa yang harus dilatih, menyediakan kantor dan peralatan seperti komputer tapi tidak bisa menggunakannya,â ujar Direktur CD SMEâs, Firman Subagyo. LPB yang dibentuk lewat program pemerintah, tegasnya tidak bisa mewakiliki profil LPB yang sebenarnya. LPB ini, jauh tertinggal bila dibandingkan dengan LPB swasta. âCD SMEâs yang saya pimpin juga melakukan pendekatan cluster lebih pesat perkembangannya daripada LPB yang melalui program pemerintah,â kata Firman. Dia menilai kendala ini berasal dari ketiadaan platform yang jelas mengenai LPB. Tidak ada standardisasi LPB, sehingga menghasilkan LPB yang layak. Berdasarkan konsep sebuah LPB harus mampu melakukan fungsi pendampingan dalam membuka akses pasar, mengembangkan industrinya sendiri dan meningkatkan kualitas produksi. Akibatnya fungsi tersebut tidak berjalan, karena sulit mendapatkan permodalan, manajemen SDM rendah, dibebani administrasi. âApabila konsep LPB jelas maka LPB yang dihasilkan juga akan profesional,â tegas Firman. Samsul Hadi tidak menampik rendahnya jumlah LPB dalam asosiasinya yang bisa bertindak secara profesional. LPB ini belum siap menjual jasa layanan pengembangan UKM dengan prinsip bisnis. Diakuinya, saat ini sangat ironis karena tidak jarang ada lembaga membentuk LPB hanya untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah tanpa adanya pengalaman bekerja sama dengan UKM. Lihatlah bagaimana mulai dari kalangan perguruan tinggi, LSM maupun koperasi berlomba membentuk LPB. Padahal, Kantor Mennegkop menetapkan syarat untuk membentuk UKM harus punya pengalaman dengan UKM dalam jangka waktu yang lama dan berbadan hukum. Menurutnya, indikator kelaikan sebuah LPB lebih dinilai dari kemampuannya menghasilkan revenue dari jasa yang dijual kepada UKM. Dengan kata lain, LPB bisa mandiri dari jasa yang disediakan. Tetapi, dalam soal revenue, LPB diungkapkannya banyak yang gagal dan masih harus disubsidi. Sebuah LPB yang berhasil ujarnya, mampu menjaga dinamika sentra dan mampu bertahan setelah kontrak tiga tahun selesai. Karena, dalam masa kontrak LPB itu dianggap sudah memperkuat UKM yang didampingi, sehingga mampu mengakses informasi secara luas dan permodalan. Ketua Umum Forum Nasional UKM, Ibih TG. Hasan menegaskan, seharusnya pemerintah bisa segera bertindak cepat melakukan pendataan terhadap keberadaan LPB ini. Mana LPB yang bisa melakukan pendampingan, sehingga UKM yang didampingi bisa berhasil dan modal yang dikeluarkan bisa kembali dalam dua tahun. âSupaya greget LPB lebih bagus sebaiknya diadakan rating. LPB yang bagus adalah modal kembali sedangkan UKM juga berkembang,â jelasnya. Bahkan Ibih mengimbau agar kalangan perguruan tinggi tidak ikut-ikutan dalam mengelola LPB. Akan lebih efektif apabila LPB ditangani praktisi dan fungsi perguruan tinggi pada pembuatan sistem pengawasan atau membangun konsep LPB yang tepat. Namun, Samsul Hadi meminta jangan hanya menilai LPB secara jelek. Sebagai profesi yang baru, LPB sebaiknya diberi kesempatan tumbuh dan berkembang sehingga produknya layak dijual. Asosiasi LPB Indonesia, ujar Samsul, tengah membuat aturan dan standar minum konsultan pendamping dan memberi pelatihan terhadap UKM. Dengan demikian adanya aturan dan standar itu, dapat diketahui kelayakan LPB dalam memberikan pendampingan, pelatihan atau jasa pengembangan usaha lain. âTunggu saja hasilnya,â ujar Samsul. (SH/naomi siagian) http://ariefbudi.wordpress.com <http://ariefbudi.wordpress.com/> http://jalanku.multiply.com <http://jalanku.multiply.com/> http://teknofood.blogspot.com <http://teknofood.blogspot.com/> "...Bila engkau penat menempuh jalan panjang, menanjak dan berliku.. dengan perlahan ataupun berlari, berhenti dan duduklah diam.. pandanglah ke atas.. 'Dia' sedang melukis pelangi untukmu.." Is demonstration and go to the street the right things to do? --- End forwarded message --- --- End forwarded message ---