Sindhu, Shintu, Hindu, Indies, Hindia & Yoga

“Ingatlah sejarah, atau kamu akan dilupakan oleh sejarah” — kita
telah mendengar kalimat seperti ini beribu kali, tapi kita tetap saja
melupakannya. Maka, kita dikutuk untuk mengulangi kesalahan yang sama
terus-menerus.

Penduduk Malaysia - para politisi dan juga pemuka agamanya — telah
melupakan sejarah mereka sendiri, dan akibatnya negara tersebut berada
di tepi jurang disintegrasi. Kita harus belajar dari mereka sehingga
tidak melakukan kesalahan yang sama.


Sepuluh tahun lalu, pemenang Nobel V.S Naipul memperingatkan kita
tentang apa yang bisa terjadi di negara-negara seperti kita, di mana
budaya asing masuk dan mendesak budaya lokal. Secara khusus, ia
menyebutkan 5 negara: Indonesia, Iran, Afganistan, Bangladesh dan
Pakistan. Uniknya, kelima negara tersebut merupakan bagian dari
peradaban besar di Lembah Sindhu.

Al Beruni, Sejarawan kondang Arab dari abad ke-10 SM, yang keliru
melafalkan Sindu menjadi Hindu. Kemudian secara kolektif para sejarawan
menyebut seluruh daerah dan kepulauan di balik lembah Sindhu dengan
nama “Hind”.

Ia bukan yang pertama keliru melafalkan kata tersebut. Jauh hari
sebelumnya, orang China menyebutnya Shintu. Ada indikasi bahwa penduduk
awal Arab mengetahui tentang peradaban ini dari para pedagang China dan
beberapa dari suku-suku tersebut menyingkatnya menjadi Shin.

Seribu tahun kemudian, magnus opus Al Beruni di India masih dicetak
dan tetap menjadi bacaan menarik. Sejarawan besar ini menulis tentang
peradaban tersebut dengan semangat yang luar biasa, menterjemahkan
beragam karya spiritual dan teks lainnya ke dalam bahasa Arab dan
memuliakan masyarakat di sana sebagai penyembah dari “Satu” Tuhan.

Hal ini tentu tak diterima oleh Sultan Mahmud, penguasa Ghazna, yang
menginginkan landasan agama untuk memporak-porandakan India. Sehingga
buku itu dipublikasikan setelah kematian Mahmud.

Kemudian, saat dinasti Mogul datang ke India dan menetap di sana,
mereka menyebut kerajaan mereka sebagai Hindustan. “Hindu” tak pernah
dipakai untuk mengidentifikasikan sebuah agama tertentu, tapi sebagai
sebuah peradaban sama seperti wilayah geografis. Orang Portugis
melakukan hal serupa ketika mereka mendistosri kata ini lebih lanjut
menjadi “Indies”. Lantas, orang Inggris melafalkannya menjadi India.

Kita — penduduk Nusantara lama dan Indonesia modern — berasal dari
peradaban yang sama seperti masyarakat Iran, Afganistan dan Bharat
(saat ini anak benua India). Seperti yang dikatakan Coedes, sejarawan
Prancis, penguasa anak benua tersebut tak pernah menjajah kita. Mereka
tidak memaksa kita untuk memeluk agama mereka ataupun kepercayaan
lainnya. Kita berbagi dengan mereka kepercayaan-kpercayaan tersebut.
Orang barat menyebut kita lesser India — sebuah penamaan yang keliru
karena faktanya kita berasal dari peradaban yang sama. Kita tidak lebih
buruk dalam hal apapun. Bahkan, kepulauan kita dikenal sebagai
SvarnaDvipa, pulau penghasil emas. Lautan hanya memisahkan kita.
Pemisahan geografis semacam ini tidak memisahkan kita secara budaya.
Kita tetap memiliki akar budaya yang sama.

Yoga sebagai sebuah ilmu pengetahuan berkembang dari akar budaya
semacam itu. Maka, kita dapat menemukan Yoga dalam pelbagai variasinya
di seluruh anak benua, dan bahkan di kepulauan kita sendiri. Yoga tak
ada hubungannya dengan “Hinduisme” sebagai agama, melainkan dengan
“Hindu” sebagai peradaban.

“Hinduisme” sebagai agama ialah sebuah fakta yang kita kenali saat
ini. Agama dari Hindus modern sebagian besar berasal dari peradaban
Sindhu, Shintu atau Hindu, seperti halnya yoga. Tapi itu tak mengurangi
yoga menjadi sekedar keyakinan agama atau sistem tertentu.

Memang, kata yoga telah dipakai beribu-ribu tahun sebelum kata
“Hindu” dipakai secara umum. Jika kita mengacu pada istilah Al beruni,
maka kita semua ialah Hindus. Peziarah India yang naik haji di Arabia
pun disebut Hindi.

Leluhur kita pada umumnya, peradaban Hindu pada masa silam,
mengembangkan yoga sebagai sebuah sistem untuk semua orang secara umum,
tapi saya ingatkan, kata “Hindu” di sini tak sama dengan penganut
Hinduisme sebagai sebuah agama. Kata Hindi di sini ialah Hindi-nya Al
Beruni, seseorang yang menjadi bagian dari peradaban lembah Sindhu.
Uniknya, jejak yang paling kentara dari peradaban ini justru ditemukan di 
Republik Islam modern Pakistan.

Mengatakan yoga itu Hindu sama halnya mengatakan bahwa hukum
gravitasi itu Kristen karena Newton yang menemukannya juga orang
Kristen. Atau, teori relativitas itu Yahudi karena Albert Einstein
memiliki darah Yahudi yang mengalir di pembuluh nadinya.
 Bagaimana
dengan angka “0″? Orang Arab awalnya mempelajarinya dari masyarakat
Sindhu dan kemudian membawanya ke Barat. Apakah aman untuk menggunakan
hal serupa?

Saya yakin tanpa ragu sedikitpun bahwa perkembangan terkini di
negara kita diatur secara sistematis oleh sekelompok orang yang ingin
mencerabut kita dari budaya asal. Motif mereka begitu jelas. Mereka
mencoba untuk menjajah kita tak hanya secara ekonomi, tapi juga secara
budaya. Malaysia telah jatuh ke dalam perangkap mereka. Malaysia boleh
membanggakan pembangunan fisik mereka, tapi tanpa jati diri sebagai
orang Melayu, mereka sedang dalam perjalanan menuju disintegrasi yang
tak terelakkan.

Kita hidup pada momentum yang begitu menentukan dalam rentang waktu
dan sejarah. Pilihannya begitu jelas. Tulisan di dinding bicara sangat
tegas. Pilihannya begitu terbatas, apakah kita menjadi lahan belakang
dari beberapa negara di luar sana, atau berdiri tegak dan berkata
“tidak” kepada setiap upaya untuk mem”biadab”kan kita, untuk mencerabut
kita secara budaya.


Anand Krishna,  Jakarta | Jumat, 12/12/2008 | Opini 


      Warnai pesan status dengan Emoticon. Sekarang bisa dengan Yahoo! 
Messenger baru http://id.messenger.yahoo.com

Kirim email ke